Hidayatullah.com–“Wah, kalau soal pendidikan anak jangan saya orangnya. Saya ini tak pernah mendidik anak-anak.” Begitu kata Ustadz Anwari Hambali (53) ketika media ini minta waktu untuk wawancara. Ustad Anwari, begitu biasa dipanggil, adalah seorang dai senior di Hidayatullah.
Pernyataan Anwari itu bisa dibaca sebagai ungkapan rendah hati. Nyatanya, ia dikaruniai 9 anak. Sebagai orangtua yang mempunyai anak sebanyak itu, mana mungkin tak pernah mendidik putra-putrinya. Hanya, dai kelahiran Probalingga, Jawa Tengah ini memang punya cara tersendiri yang mungkin berbeda dengan orangtua lainnya.
Dan cara itu, sejauh ini lumayan berhasil. “Cukup menyejukan hati,” begitu ujar anggota Dewan Syura Hidayatullah ini.
Anwari menikah pada l985 dengan Umi Latifah, teman sepengajian di Probalinggo. Dari 9 anah buah pernikahan mereka, kini tinggal 5. Empat anaknya sudah dipanggil pulang ke rahmatullah. Lima anak tersisa itu adalah Faiz Ghufron Muhammad (24), Nafis Mahfudz Muthohar (20), Iffah Nurfathi (17), Luthfia Nur Rokhani (16), dan Tsabit Amin Fuadi (14).
Dari lima anak Anwari yang tersisa, 4 di antaranya kini sedang menghafal al-Qur`an di beberapa pesantren di Jawa. Bahkan Nafis sudah khatam 30 Juz. Sedangkan Faiz memilih menjadi guru di sebuah pesantren di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Terhadap anak-anaknya yang menghafal al-Qur`an, Anwari mengaku bukan hasil arahannya. “Itu kemauan anak-anak sendiri,” tambah pria yang rajin olahraga bulutangkis dan tenis meja ini. “Saya hanya mendoakan saja.”
Bagaimana resep Anwari mendidik putra-putrinya, mengapa ia menaruh anak-anak di pesantren dan bagaimana pula sejarah berhidayatullahnya? Untuk menjawab pertanyaan itu, hidayatullah.com menemui Anwari di rumahnya yang sederhana di pinggir danau Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan, Kalimantan Timur.
Rumah itu berdinding dan berlantai kayu, sama dengan rumah lain di Kampus Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak. Kami diterima di ruang tamu yang benar-benar minimalis. Tak ada sehelai pun barang berharga di situ, selain beberapa buku.
Ditemani sepiring pisang goreng, kami ngobrol dengan pria yang pernah kuliah tafsir di IAIN Sunan Kalijaja, Yogyakarta ini. Ikkuti hasil wawancara dengan Anwari pada artikel berikutnya. >>>> (BERSAMBUNG)