SEORANG gadis dengan mimik serius memohon bantuan kepada sahabatnya, “Ta`ārufin gue donk sama laki-laki yang siap menikah!” ucap Sista kepada Manda.
“Lah, memangnya lo udah putus sama Riza?” Manda balik bertanya kepada Sista. Yang ditanya malah merengut sambil menggelengkan kepala. Manda mendelik, perempuan beranak satu itu bertanya-tanya.
“Cowok gue belum ada keberanian melamar padahal pacaran sudah 4 tahun tapi setiap kali ditanya kapan kawin jawabannya pasti ntar! Gue udah cape begini terus mau yang pasti-pasti saja deh.” Eluh Sista
“Lo mau ta`āruf tapi belum putus sama pacar lo, gak salah tuh?”
“Sejujurnya gue sih masih berharap sama cowok gue ini tapi doi gak jelas banget dan kalau ngeliat rumah tangga lo yang adem yang diawali dengan ta`āruf yang nggak perlu lama-lama pacaran ketemu sekali dua kali langsung nikah gue juga kepengen kan.”
“Nggak semudah itu juga kali Ta!” protes Manda
“Kalau lo mau ta`āruf, gue dukung kok insyaallah gue bantu tapi dilurusin dulu niat dan caranya atuh!”
Ta`āruf rasanya sudah tak asing lagi di telinga kita dan perlu kita sepakati bersama bahwa ta`āruf yang kita maksud disini adalah mempertemukan yang hendak dijodohkan dengan maksud saling mengenal dan berniat menikah. Di antara kita mungkin ada yang mulai berniat menjalani proses itu dan sebagian lainnya merasa sudah bosan dengan pacaran. Ta`āruf dinilai mampu memberikan solusi pasti dari hanya sekedar komitmen ‘jadian’ dan yang pasti ta`āruf bukanlah pacaran atau pacaran ‘islami’.
Terkait masalah ini, ada riwayat yang perlu diperhatikan. Ketika Fathimah binti Qais hendak menikah, ternyata ada dua orang yang tertarik dengannya yaitu: Abu Jahm dan Mu`wiyah. Untuk menepis keraguan, akhirnya dia berkonsultasi kepada Rasulullah mengenai profil keduanya. Belaiau pun menjawab, “Adapun Mu`awiyah adalah orang faqir. Ia tidak mempunyai harta. Sedangkan Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya[maksudnya adalah kasar suka memukul istri).”(HR. Bukhari, Muslim).
Rasulullah ternyata tidak merekomendasikan keduanya, tetapi justru mengajukan Usamah bin Zaid yang dianggap kompeten menjadi suaminya. Akhirnya benar, memang Usamahlah yang tepat dengan Fathimah binti Qais. Ini adalah salah satu bentuk kontribusi nabi dalam proses menentukan pasangan.
Kita sudah saling mengerti dengan istilah ini tapi banyak diantara kita yang tak cukup benar-benar mampu menjalaninya dengan sungguh-sungguh seperti pada contoh kisah di atas yang benar adanya atau seperti cerita berikut ini yang diambil dari kisah nyata.
“Gak lanjut!”
“Loh kenapa Ra?”
“Ternyata kita nggak cocok. Dev.” Jawab Ira. Devi melongo melihat temannya itu tiba-tiba memilih mundur dari ta`āruf yang sudah berjalan 1 bulan ini dengan 2 kali pertemuan sebelumnya.
“Mau bagaimana lagi, aku dan suamiku sudah berusaha semaksimal mungkin membantu kalian walau bagimana pun kan keputusan ada di tangan kalian berdua.Tapi perasaan waktu pertemuan pertama dan kedua cocok-cocok saja deh bahkan kalian berdua sama-sama memutuskan untuk ke jenjang berikutnya yaitu pertemuan 2 keluarga. Kalau boleh tahu nih ya Ra kenapa lo mundur?” Sesaat Ira terdiam nampaknya sedang mengatur kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaan Devi.
“Sebenarnya diam-diam gue menjalin komunikasi di luar kalian, awalnya dia yang add FB gue duluan terus singkat cerita kita chattingan gitu. Sampai akhirnya beberapa waktu yang lalu kita janjian ketemuan.,” Ira tak mampu melihat Devi yang ia yakini tengah menatapnya dengan tatapan membara, Ira hanya merasakan tiba-tiba hawa panas serasa mendekapnya. Sesaat sepi. Ira buru-buru mencairkan suasana agar lebih dingin
“Di tempat yang rame kok Dev, di mall daerah Jaksel di restoran Jepang yang kita suka makan barang itu.”
“Tapi berduakan?” Ira tersenyum kecut membuat Devi menahan pahit tapi Devi tetap meminta Ira meneruskan ceritanya.
“Awalnya gue rasa kayanya dia jodoh gue deh sampai gue tanya seputar poligami ke dia terus dia bilang kalau dalam waktu 5 tahun gue gak punya anak karena ada sesuatu di gue-nya maka dia berniat poligami gitu, alasannya sih karena dia itu kan anak tunggal dan orangtuanya sangat berharap nimang cucu.”
“Mmhh… seperti yang gue bilang tadi terserah kalian sih. Tapi sebelumnya kan gue udah pernah bilang kalau ada pertanyaan atau hal apa pun yang ingin disampaikan itu harus melalui gue atau suami gue jadi gak timbul fitnah. Seharusnya si cowok itu lebih paham tapi ya sudahlah sudah terjadi kaya gini. Dan soal jawaban dia soal poligami seharusnya kita hargai kejujurannya dulu,”
Tidak ada perlunya dilanjutkan lagi kisah itu karena memang sudah berakhir yang bisa kita petik bersama adalah ta`āruf bukan ajang coba-coba! Ada aturan mainnya di sini dan kita harus pahami betul seperti apa dan bagaimana tata caranya. Kalau pada prosesnya berjalan berdua tanpa ‘didampingi’ katakanlah moderator maka apa bedanya dengan pacaran yang sama-sama mengeksploitasi hawa nafsu?
Seharusnya kita sudah hampal betul perintah Allah Subhanahu Wata’ala dalam al-Qur’an وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ‘Jangan dekati zina’(QS. Al-Isrā[17]: 32). Rasanya kita sama-sama telah cukup dewasa untuk mengerti seruan ini bukan hanya zina yang berdosa besar, tapi juga “mendekatinya” seperti; pegangan tangan, saling memandang, saling memuja dan memuji untuk mendapatkan simpati, empati, hati dan lain sebagainya yang kesemuanya itu termaktub dalam perbuatan pacaran atau mendekati zina.
Ta`āruf misalnya saling tukaran CV/ biodata pribadi yang jujur adanya sehingga dapat dipertanggungjawabkan di dunia maupun di akhirat. Bisa juga lewat teman yang mempunyai sifat amanah, artinya di sini tidak asal menjadi mak comblang, atau bisa langsung ke orang tuanya, keluarga dekatnya, maupun sahabat karibnya.
Banyak yang bisa dilakukan asalkan niat karena Allah Subhanahu Wata’ala sekali lagi tidak ada embel-embel coba kali aja cocok! Tapi yakinlah bahwa jodoh terbaik akan didapatkan dengan niat, cara mau pun usaha lainnya yang juga baik bukan yang kali aja cocok!
Kita pasti pernah mendengar kisah Amirul Mu’minīn sayyidina Umar bin Khattāb RA saat menjodohkan putranya `Āshim dengan seorang wanita penjual susu yang jujur. Ketika gadis itu berkata kepada ibunya yang memaksa ia melakukan perbuatan yang dilarang Khalifah untuk tidak mencampur susu dengan air, sang gadis itu mengungkapkan “Amirul Mu’minin memang tidak akan tahu perbuatan curang tersebut tetapi Tuhannya Amīrul Mu’minin Allah Subhanahu Wata’ala adalah Maha Mengetahui atas segala yang diperbuat hambanya.”(Abdullah bin Abdul Hakam, Sīrah `Umar bin `Abdil `Āzīz, 23). Umar bin khatab yang secara diam-diam mendengar hal itu pun bergegas pulang dan meminta putranya yang bernama `Āshim untuk segera menikahi wanita shalehah yang takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala tersebut.
Sungguh indah bukan perjodohan mereka? dan kenapa tidak mungkin hal seperti itu dapat terjadi pula pada masa sekarang ini pada kisah hidup kita? Dengan alur cerita yang mungkin saja berbeda tapi anding yang sama yaitu seperti halnya sejarah mencatat pernikahan `Āshim dan putri yang shalehah tersebut melahirkan keturunan yang menjadi Khalifah Kelima, Umar bin Abdul Aziz yang berhasil membuat rakyatnya sejahtera dalam waktu 2 ½ tahun pemerintahannya.
Hakikatnya, sesuatu hal yang dimulai dengan kebaikan yang telah diperintahkan Allah Subhanahu Wata’ala dan disunahkan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassallam, maka akan berbuah kebaikan pula yang manisnya dapat kita rasakan sampai ke Surga.
Ada sebuah pertanyaan yang patutnya kita renungi untuk mendapatkan sebuah jawaban yang dapat kita yakini dalam hati kita masing-masing, “Bila kita mengawali pernikahan dengan jalan yang tidak halal atau tidak sesuai dengan koridor syar’i benarkah pasangan kita itu adalah jodoh kita yang sesungguhnya? Suami atau istri kita sampai di Surga ? atau jangan-jangan kita termasuk orang yang di dunia saling mencintai tapi kelak di akhirat menjadi orang yang saling membenci dan memusuhi?
Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala:
الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Orang-orang yang akrab saling mengasihi (teman-teman akrab), pada hari itu sebagian menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zuhruf[43]: 67).*/Mesti Farah