DIRIWAYATKAN dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu Anhu bahwa ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bertakwa, kaya dan tidak terlihat.”
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu Anhu bahwa ada seseorang laki-laki bertanya kepada Nabi, “Ya Rasulullah, siapakah manusia yang paling utama?” “Seorang muslim yang berjihad dijalan Allah dengan diri dan hartanya,” jawab Rasul.
Laki-laki itu bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi ya Rasul?” “Laki-laki yang beruzlah dari masyarakatnya untuk beribadah kepada Tuhannya,” jawab Rasul. (HR Muslim).
Dikisahkan oleh Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Bisa jadi sebaik-baik harta yang dimiliki seorang muslim adalah harta ghanimah yang dibawa ke puncak gunung-gunung dan ke lembah-lembah sahara karena lari menyelamatkan agamanya dari fitnah.” (HR Muslim).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda, “Di antara sebaik-baik kehidupan manusia adalah seseorang yang memegang erat tali kendali kudanya dan melakukan penyerangan di atas kudanya. Setiap kali ia mendengar suara datangnya musuh atau bangkitnya musuh untuk menyerang, maka ia segera menghampirinya dengan gerakan yang cepat dan tangkas dengan harapan membunuh musuh atau mendapatkan mati syahid, atau seseorang yang mendapatkan harta ghanimah dan membawanya ke puncak gunung ini atau ke dalam jurang ini dengan mendirikan shalat, mengeluarkan zakat dan menyembah Tuhannya sampai datang padanya keyakinan, demikianlah manusia yang selalu berada dalam kebaikan.” (HR Bukhari).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash bahwa ia berkata, “Ketika kami bersama Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam, tiba-tiba Nabi menyebut sebuah bencana atau disebutkanlah suatu bencana. Maka Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam berkata, `Jika kamu melihat manusia telah merusak janji janji mereka dan sudah sedikit amanat mereka, serta mereka seperti ini,” (Nabi menyatukan jari-jari kedua tangannya) kemudian aku menghadap kepadanya seraya berkata, “Apa yang harus aku lakukan jika keadaannya sudah seperti itu?” Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Menetaplah di rumahmu, tahanlah lisanmu, ambillah yang makruf, tinggalkanlah yang mungkar, perhatikanlah urusan pribadimu dan tinggalkanlah urusan umum.” (HR Muslim)
Al-Khathabi meriwayatkan bahwa Abu Ad-Darda’ Radhiyallahu Anhu berkata, “Memang, tempat beribadah seseorang (ketika kemungkaran merajalela) adalah rumahnya. Di situ, ia menjaga pendengaran, penglihatan, agama dan kehormatannya. Menjauhlah kalian dari duduk-duduk di pasar (mall, cafe, dan sejenisnya) karena pasar-pasar adalah tempat yang melalaikan.”
Imam Al-Khathabi berkata, “Ketika Imam Thawus berada di rumahnya, maka kami berbicara kepadanya tentang hal itu, lalu ia berkata, “Kemungkaran yaitu kerusakan manusia dan kezhaliman para penguasa.”
Lebih lanjut Al-Khathabi Rahimahullah mengatakan, “Manusia merasa tidak suka menyendiri hanyalah karena jati dirinya yang kosong atau kemuliaan yang tidak terpancar dari dalam dirinya. Oleh sebab itulah, ia suka bertemu dengan manusia dan mengusir kesepian dirinya dengan berkumpul bersama mereka. Apabila jati dirinya adalah jati diri yang mulia, maka ia akan lebih suka menyendiri agar kesendirian itu dapat membantunya dalam kontemplasi dan perenungan untuk menghasilkan hikmah.”
Sebagian ulama berkata, “Merasa senang berkumpul dengan manusia adalah tanda kebangkrutan dirinya (tidak ada kebaikan di dalam jiwanya).” (HR An-Nasa’i, Abu Dawud, dan Ahmad).*/Syaikh Khalid Sayyid Rusyah, dari bukunya Nikmatnya Beribadah.