MENGGAPAI kebahagiaan dalam hidup adalah naluri fitrah yang mengalir dalam diri manusia. Jika boleh disederhanakan, apapun aktifitas yang dilakukan orang tersebut niscaya bermuara pada keinginan untuk sukses dan bahagia dalam hidupnya.
Namun rupanya persoalan itu berubah menjadi “tidak sederhana” lagi sekarang. Penyebabnya adalah terjadi perbedaan persepsi dalam memaknai kebahagiaan dan kegemilangan hidup itu sendiri.
Di sisi lain, pemikiran materialisme dan budaya hedonisme juga kian mengarus kuat dalam keseharian manusia saat ini. Gemerlap dunia dengan segala pesonanya seolah mampu menyihir pandangan manusia. Akibatnya, ia hanya mampu menakar segala sesuatu dengan ukuran kebendaan. Matanya silau dan melihat setiap urusan dengan kacamata untung rugi semata. Alih-alih melibatkan keimanan dalam kehidupannya, Akhiratpun nyaris terlupakan olehnya.
Inilah potret buram dari kehidupan manusia yang begitu memuja kedigdayaan ilmu dan capaian teknologi di dalamnya. Tanpa ragu, mereka seolah ingin mencampakkan agama dari kehidupan manusia di dunia. Satu hal yang pasti, ketika kondisi itu terjadi, maka orientasi hidup manusia jadi bergeser. Mereka mengejar kebahagiaan tapi malah tersesat di jalan tak berujung. Puncaknya, orang tersebut kian terlalaikan dari mengingat hari Akhirat.
Pilar bahagia
Allah berfirman;
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرّاً وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (QS: Surah Fathir [35]: 29).
Ayat di atas memberi penjelasan cara mudah meraih kebahagiaan. Di saat orang lain masih sibuk merenda mimpi tentang makna dan cara menggapai kebahagiaan. Orang beriman ternyata hanya ditawari melakukan tiga hal sederhana untuk mewujudkan bahagia tersebut. Perniagaan yang tak akan merugi (tijaratan lan tabura), demikian tawaran yang Allah berikan.
Pilar bahagia pertama, membaca al-Qur’an
Qatadah mengingatkan, meski membaca al-Qur’an sudah beroleh pahala dan kemuliaan, namun sejatinya hal tersebut tak cukup bagi orang beriman. Sebab proses selanjutnya adalah menerapkan nilai-nilai al-Qur’an itu dalam kehidupan dunia. Al-Qur’an bukanlah ilmu yang dipelajari dan dinilai secara kognitif semata. Ia adalah implemetasi ilmu dan adab setiap orang beriman. Akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an, demikian jawaban Aisyah, Ummu al-Mukminin ketika ditanya tentang keseharian Nabi Shallallahu alaihi wasallam.
Syeikh Abdurrahman as-Sa’di menerangkan pola interaksi yang benar dengan al-Qur’an. Hendaknya manusia berupaya mengikuti segala perintah yang datang dari al-Qur’an dan menjauhi semaksimal mungkin larangannya. Menurut as-Sa’di, termasuk cara berinteraksi dengan al-Qur’an ketika seseorang membaca ayat demi ayat secara rutin dan mempelajarinya. Sebab mengetahui makna dan kandungan al-Qur’an akan memudahkan seseorang untuk mengamalkan dalam kesehariannya (Tafsir Taisir Karim ar-Rahman, Penerbit Muassasah ar-Risalah, Beirut: 2000).
Pilar bahagia kedua ibadah shalat
Shalat merupakan ibadah utama dari seluruh rangkaian penghambaan kepada Allah. Shalat adalah tiang agama sekaligus wasilah utama dalam meraih kemenangan hidup dalam panggilannya “hayya ala al-falah”. Setali tiga uang, shalat juga sarana terbaik dalam mengatasi ragam persoalan hidup manusia.
وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu…” (QS Al-Baqarah [2]: 45).
Terakhir, pilar ketiga yaitu komitmen berinfak dalam segala keadaan yang dihadapi
Sebab infak atau sedekah adalah bukti kejujuran iman dalam hati. Ia sebagai media terbaik dalam mengikis kecintaan yang berlebihan terhadap harta serta sarana untuk memperat ikatan ukhuwah di tengah masyarakat. Menurut asy-Syaukani, tak ada perbedaan dalam berinfak, baik secara sembunyi (sirran) ataupun terang-terangan (‘alan). Semuanya baik pada situasi dan keadaannya. Tak lupa pastikan ibadah itu lahir dari panggilan keimanan kepada Allah semata (Tafsir Fath al-Qadir, Penerbit Dar Ibn Katsir, Beirut: 1993).
Untuk pilar yang disebut terakhir, satu hal yang menjadi pembeda antara ajaran Islam dan selainnya adalah konsep memberi manfaat. Nilai itu tak diukur dengan manfaat yang dibagi. Semakin banyak ia memberi manfaat niscaya bibit kebahagiaan itu kian subur dalam jiwa seseorang. Manusia yang terbaik di antara kalian adalah yang terbanyak membagi manfaat kepada sesamanya. Demikian Rasulullah memberi motivasi.*