SUDAH jamak diketahui bahwa perbedaan adalah sunnatullah dan itu memang yang dikehendakiNya (QS. Hud [11]: 118). Ini berarti, perbedaan akan senantiasa ada baik di dalam maupun di luar tubuh umat Islam. Lalu, bagaimana jika terjadi perbedaan dalam internal umat Islam, khususnya jika perbedaan terjadi antara penguasa dan ulama?
Sebelum lebih jauh menjelaskan sikap Muslim dalam menghadapi perbedaan antara penguasa dan ulama, maka perlu bercermin terlebih dahulu pada sejarah umat Islam mengenai perbedaan yang terjadi antara penguasa dan ulama yang berulang kali terjadi sepangjang zaman.
Saat Sa`id bin al-Musayyib menolak baiat kepada putra Abdul Malik (al-Walid dan Sulaiman) sebagai ganti dari Abdul Aziz bin Marwan, akhirnya Hisyam bin Ismail [selaku Gubernur Madinah] memberi sanksi 60 cambukan kepadanya, dan dipenjara. [Siyaru A`lâm an-Nubalâ, 5/130]. Pada riwayat lain bahkan Sa`id diboikot, tidak diajak bicara [al-Thabâqatu al-Kubra, 5/128], bahkan dicambuk. [Siyaru A`lâm An-Nubalâ, 4/232].
Lebih parah dari itu peristiwa itu, Sa`id bin Jubair seorang Tabi`in dipenggal kepalanya oleh Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi, yang merupakan panglima ‘bertangan besi’ dari Kekhilafaan Umawi, gara-gara menentang Khilafah Umawi bersama Ibnu al-Asy`ats. [Wafayâtul A`yân, 2/373]
Pada zaman Khilafah Abbasiyah, Imam Abu Hanifah dicambuk [Târîkh Baghdâd, 13/327] dipenjara oleh Khalifah al-Manshur gara-gara menolak dijadikan Qadhi. [Siyaru A`lam An-Nubalâ, 6/401].
Senada dengan kisah tersebut, Imam Sufyan Ats-Tsauri pun pernah berselisih dengan al-Mahdi lantaran tidak mau dijadikan Qadhi, sampai akhirnya ia lari ke Bashrah. [Hilyatul Auliyâ, 40/7-41]
Nasib Imam Malik bin Anas juga tak jauh lebih indah, beliau dicambuk karena membangkang pada perintah Abu Ja`far al-Manshur, lantaran tetap meriwayatkan hadits, “Tidak ada talak bagi orang yang dipaksa.” [Wafayâtul A`yân, 4/137].
Murid beliau, juga mengalami hal yang susah bersama penguasa. Imam Syafi`i dituduh sebagai pendukung Syi`ah oleh pendengkinya, Mutharrif bin Mâzin. Bahkan dia memprovokasi Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk menangkap Imam Syafi`i dan orang-orang Alawiyin. Diutuslah Hammad al-Barbari untuk menangkap Imam Syafi`i dan orang-orang Alawiyin. Ia dirantai dengan besi bersama orang Alawiyin dari Yaman hingga Raqqah, kediaman Harun Ar-Rasyid. [Siyaru A`lâm al-Nubalâ, 8/273].
Bayangkan, betapa sengsaranya dirantai dengan besi dari Yaman hingga Baghdad. Murid beliau pun, Imam Ahmad bin Hanbal juga pernah mengalami nasib yang lebih menyakitkan dengan penguasa. Ia dicambuk, dipenjara selama 30 bulan oleh Al Ma`mun gara-gara tidak mengakui kemakhlukan al-Qur`an sebagaimana yang diyakini kaum Mu`tazilah. [al-Kâmil fi at-Târîkh, 3/180].
Imam Bukhari bahkan akhirnya pergi dari negerinya karena “berusaha disingkirkan” oleh Penguasa Dhahiriyah di Bukhara saat itu, Khalid bin Ahmad al-Dzuhali.
Penyebabnya, Imam Bukhari menolak permintaan Khalid untuk mengajar kita “al-Jâmi`” dan “al-Târîkh” di rumahnya. Bukhari beralasan, seharusnya yang butuh ilmulah yang mendatanginya, bukan ulama yang mendatangi yang butuh. Pada akhirnya, Bukhari meninggalkan negerinya. [Târîkh Baghdâd, 2/33].
Nasib ulama lain yang tidak kalah susah adalah seperti yang dialami Imam Ibnu Taimiyah saat diadukan kepada Emir Humsh al-Afram, oleh orang-orang Shufi karena suka membid`ahkan amalan mereka. Sampai pada akhirnya karena dianggap membuat keresahan [oleh para pembencinya], ia pun dipenjara, dan mati di dalam penjara. [dalam al-Bidâyah wa al-Nihâyah, 14/41].
Di dalam negeri misalnya, kisah perbedaan pandangan antara Buya Hamka dengan Presiden Soekarno, mengenai demokrasi terpimpin pasca Dekrit Presiden 1959.
Melalui mimbar Al-Azhar, beliau mengkritik dengan tajam pandangan Soekarno. Sampai akhirnya beliau dipenjara oleh Soekarno pada tahun 1964 dan baru dibebaskan setelah Soekarno tumbang, tepatnya di masa awal Orde Baru 1967.Kisah ini merupakan gambaran riil adanya perbedaan antara penguasa dan ulama.
Setelah berkaca pada sejarah, setidaknya ada beberapa sikap yang bisa ditawarkan bagi umat Islam –mengingat sekarang sedang ramai di media tentang perbedaan antara Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan dengan Fethullah Gulen (yang oleh dianggap sebagai tokoh agama)- sehingga kita bisa terhindar dari fitnah antar sesama Muslim.
Bijak dalam informasi
Pertama, tidak gampang percaya sebelum mengklarifikasi berita. Allah Subhanahu Wata’ala mengingatkan dalam Surah al-Hujurat:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ ٦
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS: Al-Hujurat[49]: 6).
Di tengah arus media dan informasi yang begitu gencar, tentu saja sikap kita tidak boleh asal percaya sebelum memeriksa kebenarannya. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam pernah mengingatkan:
بِئْسَ مَطِيَّةُ الرَّجُلِ زَعَمُوا
“Seburuk-buruk ucapan yang digunakan oleh seseorang sebagai kendaraan adalah ungkapan ‘menurut sangkaan mereka’ (maksudnya; seseorang menyampaikan berita kepada orang lain hanya berdasarkan dari berita yang tidak jelas, atau sangkaan-sangkaan orang saja).” [HR: Abu Daud].
Kedua, sikap adil harus senantiasa dipancangkan dalam benak kita. Jika ada perbedaan antara penguasa dan ulama, kita harus adil menilainya. Tidak ada penguasa yang sepenuhnya salah, dan tidak sepenuhnya benar. Maka keadilan adalah sikap yang utama.
Bukankah Allah memerintahkan kita berbuat adil, hingga pada musuh, atau orang yang tidak kita senangi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنََٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ ٨
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS: Al-Maidah[5]: 8).
Al-Qur`an pun dengan sangat baik tetap mengakui kebaikan suatu kaum meski kaum itu sangat durhaka. Sebagai contoh Bani Israil:
فَبِمَا نَقۡضِهِم مِّيثَٰقَهُمۡ لَعَنَّٰهُمۡ وَجَعَلۡنَا قُلُوبَهُمۡ قَٰسِيَةٗۖ يُحَرِّفُونَ ٱلۡكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِۦ وَنَسُواْ حَظّٗا مِّمَّا ذُكِّرُواْ بِهِۦۚ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَىٰ خَآئِنَةٖ مِّنۡهُمۡ إِلَّا قَلِيلٗا مِّنۡهُمۡۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱصۡفَحۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٣
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”(QS. Al-Maidah[5]: 13).
Di sini al-Qur`an tidak mengeneralisir buruk mereka, tapi secara adil memberikan keadilan dalam menilai dengan ungkapan illa qalilan minhum (kecuali sedikit di antara mereka.
Ketiga, bila pun kita tahu bahwa di antara mereka ada yang salah atau pun yang benar. Tetap saja kita tidak boleh menjelek-jelakkan yang salah. Sebagai Muslim memang berkewajiban untuk mengingatkan, tapi lebih jauh dari itu adalah bagaimana kita tetap mengokohkan persatuan dan kesatuan di internal umat Islam. Jangan hanya karena fanatisme terhadap penguasa misalnya, membutakan kita terhadap kebenaran ulama. Demikian juga sebaliknya.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam saat di Kota Madinah ketika tahu gembong munafik, Abdullah bin Ubay bersengkongkol dengan Qurays. Beliau tidak serta merta mengeksekusi, mencaci-maki, tapi justru yang beliau ajarkan adalah meredam konflik internal agar persatuan umat Islam tidak terkoyak. Apa yang dilakukan Rasulullah ketika ada konflik internal adalah ishlah (mendamaikan). [QS. Al-Hujurat[49]: 9, 10).
Dalam haditsnya pun beliau bersabda:
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّيَامِ وَالصَّلَاةِ وَالصَّدَقَةِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِصْلَاحُ ذَاتِ الْبَيْنِ وَفَسَادُ ذَاتِ الْبَيْنِ الْحَالِقَةُ
‘Maukah jika aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih utama dari derajat puasa, shalat dan sedekah?’ para sahabat berkata, ‘Tentu ya Rasulullah.” Beliau bersabda: “Mendamaikan orang yang sedang berselisih. Dan rusaknya orang yang berselisih adalah pencukur (mencukur amal kebaikan yang telah dikerjakan).” (HR. Abu Daud).
Dari sini, mestinya umat Islam, ketika ada perselisihan, semangat yang ditanamkan adalah berusaha mendamaikan, bukan memperkeruh keadaan.
Keempat, berusaha mencari solusi, kalau tidak bisa lebih baik diam, supaya tidak menambah masalah. Sabda nabi berikut ini tentunya sudah banyak yang mengerti, “Berkatalah yang baik, atau kalau tidak bisa maka diamlah.”(Bukhari, Muslim). Ini sangat mengena utamanya ketika kita berselancar di Medsos.
Kelima, selain keempat hal itu, hal yang tidak kalah penting adalah mendoakan persatuan umat. Jangan sampai mereka terpecah belah gara-gara kedengkian di antara mereka. Sebab, pecah belah hanya merugikan internal umat dan menggembirakan musuh Islam. Di antara doa yang dianjurkan ialah:
«اللَّهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِنَا وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلَامِ وَنَجِّنَا مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَجَنِّبْنَا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَبَارِكْ لَنَا فِي أَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُلُوبِنَا وَأَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُوَاجْعَلْنَا شَاكِرِينَ لِنِعْمَتِكَ مُثْنِينَ بِهَا قَابِلِيهَا وَأَتِمَّهَا عَلَيْنَا»
“Ya Allah, satukanlah hati-hati kami, perbaikilah hubungan di antara sesama kami, tunjukkanlah kami kepada jalan-jalan keselamatan, selamatkanlah kami dari kegelapan menuju cahaya, jauhkanlah kami dari perbuatan-perbuatan keji yang nampak maupun yang tersembunyi. Ya Allah, berkahilah untuk kami pendengaran-pendengaran kami, penglihatan-penglihatan kami, hati-hati kami, istri-istri kami, dan anak keturunan kami! Ampunilah kami karena sesungguhnya Engkau Maha Menerima Taubat lagi Maha Penyayang! Jadikanlah kami orang-orang yang bersyukur atas nikmat-Mu, memujinya, menerimanya, dan sempurnakanlah nikmat-Mu tersebut untuk kami.”
Jadi, sebagai kesimpulan, ada lima sikap yang seyogyanya dimiliki jika menghadapi penguasa dan ulama berbeda pendapat: tidak gampang menerima berita sebelum mengklarifikasi, menerapkan keadilan dalam menilai keduanya, berusaha mendamaikan, mencari solusi tapi kalau tidak bisa lebih baik diam, dan terakhir adalah mendoakan persatuan dan kesatuan umat.
Sebagai penutup, sikap bijaksana Buya Hamka dalam kasus ini perlu dicontoh. Meski dia telah dipenjarakan Soekarno, dia tidak dendam, tetap produktif menulis di dalam penjara sampai merampungkan Tafsir Al-Azhar-nya. Bahkan ketika Soekarno meninggal-pun, beliau tetap menshalatinya dan memaafkan kesalahannya. Beliau tetap berhusnudzan bahwa Soekarno adalah seorang Muslim. Ini adalah sebuah contoh kecil tentang kedewasaan ulama dalam menyikapi perbedaan dengan penguasa (detail bisa dibaca di buku “Ayah”, Irfan Hamka, 229-266). Wallahu a’lam.*/Mahmud Budi Setiawan