Hidayatullah.com | DALAM sejarah Islam, kebiasaan musyawarah melahirkan kebijakan dengan penuh kebijaksanaan. Siapa pun yang jadi khalifah (baca pemimpin) Islam tunduk dan patuh apa yang telah menjadi keputusan dalam musyawarah. Hasil musyarah pastilah tidak mendholimi atau menjadi tidak adil.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS: Ali ‘Imran: 159)
Jelaslah bahwa kaum muslimin selalu mendahulukan musyawarah dalam menyelesaikan masalah apa saja. Maknanya apabila keputusan hasil musyawarah telah disepakati dengan ketetapan hati dijalankan dan diterima dengan tawakal kepada Allah. Sejarah telah menjelaskan bahwa Rasulullah ﷺ bermusyawarah dalam perkara-perkara, diantaranya:
Pertama, ketika hendak perang dan mengatur strategi perang, Rasulullah ﷺ selalu mengajak rembugkan atau musyawarah saat hendak Perang Badar, Perang Uhud, maupun persoalan lainnya.
Kedua, ketika mengadakan perjanjian, Rasulullah ﷺ selalu mendahului musyawarah untuk dijadikan keputusan dan dilaksanakan bersama secara adil. Hal ini bisa dicatat dalam musyawarah Perjanjian Hudaibiyah dan perjanjian lainnya.
Meski dianggap kalah dalam diplomasi, Rasulullah ﷺ tetap kukuh dengan hasil musyawarah yang menghasilkan sebuah perjanjian itu. Malah musuh yang kemudian berkhianat atas hasil perjanjian tersebut.
Ketiga, ketika menghadapi fitnah dan berita bohong yang melanda istri tercintanya Aisyah Radhiallahu Anha. Nabi ﷺ pun tidak serta merta menjustifikasi yang berbuat dholim padanya. Tetapi justru Rasulullah ﷺ mendengar banyak soal hal tersebut sebelum mengambil keputusan dan akhirnya turun wahyu sebagai keputusan mutlak.
وَٱلَّذِينَ ٱسْتَجَابُوا۟ لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS: Asy-Syura Ayat 38).
Jika kita menjalankan musyawarah, apa saja keutamaan jika perkara itu di musyawarahkan bersama? Ada 7 hal yang bisa dipetik.
Pertama, hasil keputusan musyawarah nilainya lebih kuat dan meyakinkan dan tidak sepihak.
Kedua, tidak akan menimbulkan penyesalan; karena sudah menjadi keputusan bersama.
Ketiga, penyelesaian masalah dengan musyawarah akan menghasilkan keadilan.
Keempat, musyawarah menjunjung tinggi ide dan pendapat setiap orang dengan prasangka kebaikan dan kejujuran. Karena tidak mungkin musyawarah justru menghasilkan kejerumusan dalam ketidakadilan.
Kelima, musyawarah menyatukan perbedaan, menghindari m enang sepihak.
Keenam, dengan musyawarah menghindari konflik berkepanjangan.
Ketujuh, musyawarah selalu mengambil keputusan yang benar.*/Akbar Muzakki