Hidayatullah.com | JUM’AT, 10 April 2020. Sekitar pukul 12.20. Biasanya, pada pukul ini masjid-masjid di wilayah Balikpapan, Kaltim sudah dimulai jum’atan. Suara azan bertalu-talu. Dari segala penjuru. Disusul suara khatib yang semangat berceramah. Terdengar menggebu-gebu dari toa masjid.
Tak terkecuali juga di masjid tak jauh dari perumahan saya tinggal. Meski masjid baru dan baru sekali diadakan shalat jumat, tapi jamaahnya cukup banyak. Jamaah ramai. Masjid hampir penuh. Orangtua, remaja, dan anak anak. Campur. Kendaraan penuh terparkir.
Sayang, kini tak ada lagi kemeriahan shalat jum’at. Hampir seluruh masjid tempat shalat jumat tutup. Penutupan itu bahkan bukan pekan ini saja. Tapi sudah tiga pekan lalu. Ditutupnya masjid dan tak ada shalat jumat bukan karena diboikot, atau pun direnovasi. Bukan.
Ini dilakukan karena menyusul adanya wabah pandemi yang sudah sangat mengkhawatirkan. Untung saja, di sela sela tak ada jum’atan di masjid tempat saya, masih sayup sayup terdengar suara azan dan ceramah.
Entah dari mana sumber suara itu. Yang jelas agak jauh. Mungkin saja masih ada masjid yang bersikukuh mengadakan jum’atan. Yang pasti jamaahnya tak sebanyak biasanya. Tempat duduknya atau shalat pastinya berjarak. Physical distancing.
Karena tiga kali tidak jum’atan saya rindu. Rindu sekali. Sebenarnya ingin sekali mendatangi sumber suara itu dan ingin ikut jum’atan. Tapi yang lebih memilih hati hati.
Apalagi, daerah saya termasuk zona merah (red zone). Bahkan, penularannya sudah masuk lokal transmisi. Berhati hati dengan shalat zuhur di rumah jadi pilihan terbaik. Rindu jum’atan sudah sampai ubun ubun.
Saya pun sampai membuka pintu rumah dan sejenak berasa di teras untuk mendengarkan azan dan khotbah. Sayangnya tak hanya waktu jum’atan masjid masjid tutup. Tapi juga shalat lima waktu wajib yang lain.
Masjid kini sepi. Tak ada shalat jamaah. Tak ada taklim. Tak ada tansin. Dan, tak ada keriuhan dan keramaian di masjid. Tak seperti biasanya. Tak hanya masjid di kota kecil kaya minyak Balikpapan, kabarnya Mekkah sampai sekarang ditutup. Tak ada umroh. Haji saja sampai sekarang belum ada keputusan pasti.
Sekarang semua kembali ke rumah: back to home dan stay home. Itulah protokol kesehatan yang harus dipatuhi. Karena itu, mau tidak mau, meski hati terbelit rindu kepada rumah Allah, harus ditahan lebih dulu. Semuanya harus di rumah, termasuk ibadah. Baik yang wajib maupun sunnah.
Masjid secara etimologi sebenarnya tempat sujud- makanus sujud. Isim makan dari fi’i atau kata kerja sajada-yasjudu. Gara gara wabah ini, bukan berarti kita tidak ke masjid lantas di rumah tidak melakukan ibadah apa pun. Bukan. Itu salah. Di rumah harus tetap beribadah, dan bersujud kepada Allah. Sebab kita tetap menyembah Allah dan menghadap ke arah kiblat; Mekkah.
Justru di tengah wabah dan musibah ini, kita harus lebih giat dan banyak beribadah. Shalat, zikir, tilawah, taubat, sedekah, dan amal shaleh lainnya. Sebab, meski untuk sementara masjid tutup-demi kemaslahatan- tapi sesungguhnya ibadah dan peluang amal shaleh masih sama. Terbentang luas.* Syaiful Anshor