Hidayatullah.com | SEBELUM membahas lebih jauh mengenai tema bahasan, penulis ingin menjawab pertanyaan mendasar: mengapa kita perlu merawat optimisme di masa sulit? Ini sangat penting untuk dijawab agar rasa optimisme bisa senantiasa terawat khususnya pada masa-masa sulit baik itu menyangkut individu atau pada skala yang lebih besar.
Pertama, sebagai muslim, kita percaya kepada Allah yang salah satu namanya adalah al-Qābidh dan al-Bāsith yang artinya Maha Menyempitkan dan Melapangkan. Sesusah apapun kondisi kita, ingatlah bahwa Allah bisa melapangkannya kapan saja. Dengan percaya kepada Allah, maka rasa optimisme tetap terawat sesulit apapun kondisinya.
Kedua, Allah berfirman dalam surah Al-Insyirah [94] ayat 5 dan 6:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (5) إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (6)
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, [5] sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. [6]”
Syeikh As-Sa’di dalam “Taisiir al-Kariim ar-Rahmaan” (2000: 292) menafsirkan dengan sangat menarik ayat ini. Kata beliau, “Setiap kali (seseorang) mendapat kesulitan dan kesusahan, maka pada saat itu juga telah diiringi dan disertai dengan kemudahan. Hatta misalnya dia masuk kesulitan terperosok dalam lubang biawak, pasti akan mendapat kemudahan.”
Ini menunjukkan bahwa pada setiap kesulitan, pada dasarnya pada saat itu Allah sudah menyediakan solusi. Di sisi lain, dengan penyebutan kata al-‘usru (kesulitan) secara ma’rifah (memakai huruf al di depannya) dan kata yusran secara nakirah (tak tertentu), maka sebagian ulama menafsirkan bahwa pada tiap kesulitan, ada dua kemudahan yang telah disiapkan. Dengan ayat ini, tidak ada alasan untuk tidak optimis dalam kondisi sesulit apapun.
Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan sabda Nabi ﷺ:
وَأَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ، وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Bahwa pertolongan itu (datang) setelah kesabaran, dan kelapangan itu (datang) setelah kesempitan serta bahwa kemudahan itu (datang) setelah kesulitan.” Itu berarti kesempitan dan kesulitan tidak akan berlangsung selamanya, pasti nanti akan ada kelapangan dan kemudahan.
Ketiga, Rasulullah ﷺ selalu menanamkan rasa optimisme yang dalam bahasa Arab disebut tafā`ul atau fa`lu. Nabi pernah bersabda:
وَأُحِبُّ الْفَأْلَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْفَأْلُ قَالَ الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ
“Dan aku menyukai sikap optimis.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu optimis?” beliau menjawab: “Kalimat yang baik.” (HR. Tirmidzi)
Dalam kenyataan sejarah, ketiga hal itu ternyata benar-benar terbukti. Penulis mengangkat 3 kisah terkait mengenai:Nabi Ayub, Nabi Yusuf ‘Alaihimas salam dan Nabi Muhammad ﷺ. Yaitu terkait rasa optimisme mereka saat menghadapi kesulitan dalam kehidupannya.
Nabi Ayyub awalnya memiliki harta yang banyak, anak yang banyak, tempat tinggal yang nyaman, istri yang cantik dan badan yang sehat dan kuat. Kemudian beliau diuji Allah. Satu per satu apa yang dimilikanya diambil darinya. Hingga pada puncaknya –menurut catatan Ibnu Katsir– terkena penyakit kusta. Waktu itu yang sehat hanya hati dan lisannya yang digunakan untuk berzikir kepada Allah. Ia dijauhi oleh tetangga dan yang menemani hanya istrinya. Singkat cerita, istrinya pun juga tak kuat, dan akhirnya meninggalkannya.
Menariknya, kesulitan yang bertubi-tubi itu dihadapi Nabi Ayyub dengan sabar dan tidak pernah kehilangan optimisme kepada Allah Subhanahu wata’ala. Allah sendiri menceritakan kesabarannya:
إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِراً نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat ta’at (kepada Tuhan-nya).” (QS. Shad [38]: 44)
Beliau juga tidak pernah mengeluh, beliau hanya bermunajat:
أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (QS. Al-Anbiya [21]: 83)
Menurut catatan Badi’ud Zaman Sa’id Nursi dalam bukunya berjudu “al-Lama’aat” (Kilau Cahaya), ungkapan ini terucap bukan karena Nabi Ayyub mengeluhkan rasa sakitnya, akan tetapi ketika belatung-belatung itu sudah mau menggerogoti hati dan lisannya, maka segera Nabi Ayyub bermunajat kepada Allah, sebab beliau tidak menginginkan kelezatan untuk berzikir kepada Allah dengan lisan dan hatinya dicabut.
Akhir dari optimisme yang diperkuat dengan kesabaran dan harapan yang hanya ditujukan kepada Allah dalam menghadapi kesulitan yang beliau alami, berbuah manis. “Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” (QS. Al-Anbiya [21]: 84). Ini sebagai contoh bagaimana individu yang tetap optimis dalam menghadapi kesulitan sampai akhirnya bisa melewatinya dengan baik.
Kisah kedua adalah tentang Nabi Yusuf. Sejak beliau dibuang ke sumur oleh saudara-saudaranya yang dengki hingga nantinya Mesir diterpa krisis pangann, hidup beliau diliputi oleh kesulitan dan kesusahan yang bertubi-tubi. Bukan saja menimpa beliau secara individu, tapi juga keluarga bahkan puncaknya krisis yang menimpa negara.
Menariknya, semua itu bisa dilalui dengan rasa optimis dan kuncinya dijelaskan langsung oleh Nabi Yusuf di hadapan saudara-saudaranya:
إِنَّهُ مَنْ يَتَّقِ وَيَصْبِرْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ
“Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf [19]: 90).
Ketakwaan (kedekatan dengan Allah), kesabaran dan perbuatan ihsan (kebaikan yang juga bisa dirasakan manfaatnya secara sosial) menjadi kata kunci optimismenya. Sehingga seberat apapun kesulitan yang dihadapinya baik menyangkut individu hingga sosial, akhirnya bisa dihadapi dengan baik.
Penulis juga teringat bagaimana Nabi Muhammad dalam perang Ahzab (5 H) yang akan dikepung oleh koalisi pasukan kafir yang jumlahnya saat itu berlipat-lipat yang secara logika mustahil untuk mengelahkan mereka. Namun, dengan sabar beliau tetap menanamkan optimisme yang dilakukan saat penggalian parit.
Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan saat penggalian parit, ada batu besar yang sulit dipecahkan oleh para sahabat. Kemudian mereka memanggil Rasulullah ﷺ. Beliau pun mengambil palu dan mengucapkan basmalah. Pada pukulan pertama, sepertiga batu itu pecah dan beliau bertakbir karena kunci Syam akan diberikan Allah kepada umat Islam. Pada pukulan kedua, sepertiga batu itu juga pecah, dan beliau melihat kunci-kunci Persia seolah ada di tempat Nabi saat itu. Dan pada pukulan ketiga, sepertiganya juga hancur dan beliau diperlihatkan kunci Yaman di tempatnya.
Mungkin saat itu para sahabat agak bingung, di tengah kesulitan seperti itu, beliau masih sempat mengatakan bahwa kelak Syam, Persia bahkan Yaman akan tunduk kepada Islam, namun kelak, tak lama pasca wafatnya Nabi, negara-negara besar itu benar-benar berada dalam pangkuan Islam. Perhatikan bagaimana Nabi Muhammad ﷺ menumbuhkan rasa optimis di tengah kesulitan yang dihadapi.
Dari cerita-cerita tersebut, menunjukkan bahwa kesulitan apapun yang kita hadapi baik dalam tataran individu –sebagaimana yang dialami Nabi Ayyub– hingga global (seperti Covid-19) saat ini, maka kita tetap harus mewawat optimisme. Karena, tidak ada kesulitan yang tidak akan pernah sirna. Sedangkan kunci untuk menjaga optimesme itu adalah dengan menguatkan hubungan dengan Allah (bertakwa kepadanya), meningkatkan kesabaran, dan berkerjasama untuk saling membantu sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Yusuf dan Nabi Muhammad.*/Mahmud Budi Setiawan