DALAM urusan qiyamul lail, Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam berbagi kemuliaan kepada istri-istri dan putra-putranya. Kalau di dalam qiyamul lail tidak tersimpan hikmah yang sangat besar, Rasulullah tidak sampai demikian dalam menanamkan kedisiplinan terhadap amalan menghidupkan malam.
Ketika malam hening, udara di luar sangat menyengat tulang, Rasulullah bangun dari tidur. Seringkali ia membangunkan istrinya agar ikut mengamalkan amalan mulia ini. Istri-istri mereka yang patuh dengan senang hati mengikuti bimbingan beliau. Karenanya, setiap malam rumah Rasulullah selalu dihiasi dengan qiyamul lail. Setiap malam rumah mereka diselimuti kemuliaan.
Riwayat dari Ummu Salamah ra. menerangkan bahwa suatu malam Rasulullah bangun dan bersabda:
Maha suci Allah. Cobaan dan kesedihan apakah yang diturunkan oleh malam? Siapakah yang membangunkan para penghuni kamar. Sesungguhnya bisa jadi orang yang berpakaian di dunia, tetapi akan telanjang kelak di akhirat. (HR. Bukhari, Ahmad, dan at-Turmidzi).
Dalam hadist tersebut terdapat kalimat, ‘Siapakah yang membangunkan para penghuni kamar?’ Maksudnya ialah membangunkan istri-istri di malam hari ketika tidur pulas. Membangunkan tidak bisa dipahami membangunkan dari tidur saja, melainkan menyuruh agar berqiyamul lail. Jadi yang dimaksudkan ialah agar suami membangunkan istri-istrinya di malam hari untuk diajak bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah juga membimbing putri-putrinya terbiasa menghidupkan malam. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra. bahwa Rasulullah pernah membangunkan Ali bin Abi Thalib ra. dan Fatimah pada suatu malam. Rasulullah bertanya kepada mereka, “Apakah kalian tidak mengerjakan shalat?” Ali menjawab dengan mengemukakan alasan, “Wahai Rasulullah, jika kami berada dalam kekuasaan Allah. Bila Dia menghendaki kami bangun, pasti kami dibangunkan.”
Rasulullah berpaling ketika Ali mengucapkan demikian. Ia tidak berkata-kata, tetapi membelakangi menantunya itu sambil memukul-mukul pahanya. Rasulullah, jika hatinya tidak suka senantiasa memukul pahanya. Dia tidak bisa menerima alasan Ali yang dianggap malas melakukan amalan baik dengan cara menyandarkan kepada takdir. Rasulullah kemudian membaca ayat:
Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah. (Al Kahfi: 54).
Riwayat tersebut merupakan bukti bahwa Rasulullah sangat peduli terhadap keluarganya, terutama kepada putrinya, Fatimah, dan menantunya, Ali bin Abi Thalib untuk berqiyamul lail. Hal ini sesuai dengan pendapat Ibnu Battal ra., “Hadis tersebut menjelaskan tentang keutamaan shalat malam, dan keluarga atau kerabat yang tertidur dibangunkannya. ”
Al Qurtubi berkata, “Seandainya Rasulullah tidak mengetahui betapa besar keutamaan shalat pada malam hari, tak mungkin beliau mengganggu putri dan anak pamannya, ketika manusia sedang tidur pulas. Sikap Rasulullah yang demikian itu semata-mata karena memilihkan yang terbaik bagi keduanya (Fatimah dan Ali) untuk mendapatkan kemuliaan di sisi Allah. Kemuliaan yang disebabkan karena qiyamul lail akan memberikan ketenangan hati serta pahala yang luar biasa.”
Sesungguhnya sikap Rasulullah dalam mengajarkan dan membiasakan keluarganya dalam berqiyamul lail juga bertumpu pada firman Allah:
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. (Thaha: 132).
Kebiasaan qiyamul lail telah berurat berakar bagi orang-orang saleh di zaman dahulu. Para wanita muslimah dikenal rajin mengerjakan shalat malam. Karena wanita sebagai ibu rumah tangga harus bisa menghiasi rumahnya dengan keberkahan dari Allah melalui qiyamul lail.
Jadi jangan mengira qiyamul lail itu hanya didominasi kaum lelaki. Misalnya keterangan yang didapatkan dari Urwah bin Zubair ra, “Suatu ketika (malam hari) aku menemui Aisyah ra. Karena saat itu aku ingin masuk Islam. Aku melihat ia sedang mengerjakan dan membaca ayat “Famannallaahu alainaa wa waqaanaa adzaabas samuum (Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari adzab neraka.” (Ath Thur: 27).
Lanjut Urwah bin Zubair, “Aisyah mengulang-ulanginya sambil menangis. Aku menunggunya lama sekali. Ketika aku merasa telah lelah menunggu, aku pun meninggalkannya dan pergi ke pasar untuk belanja. Aku kembali menemui Aisyah dan ia masih tetap melakukan seperti itu, mengulang-ulang ayat tersebut dalam shalatnya sambil menangis.”*/Abu Fajar Al Qalami, dalam bukunya Misteri Qiyamul Lail dan Shalat Subuh. [Tulisan berikutnya]