Ibrah dan Hikmah Musibah
Diantara contoh ayat yang menggunakan kata mushibah adalah QS. Al-Baqarah: 156.
ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوٓا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ
“(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).”
Dalam ayat tersebut, musibah menerangkan karakteristik orang yang sabar (shobirin) yaitu orang ketika ditimpa ujian atau cobaan senantiasa menyerahkannya kepada Allah. Kata kunci “mengembalikan” segala urusan kepada Allah. Karena sesungguhnya musibah yang ditimpakan kepada manusia, terjadi atas perkenan Allah SWT. Sebagaimana dijabarkan dalam Qs. At-Taghabun:11.
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Dalam konteks mengembalikan segala urusan kembali kepada Allah. Maka disinilah “pencarian” akan hikmah dan ibrah kita mulai.
Sebagai “madrasah”, musibah selalu mengandung rahasia (hikmah wa ibrah). Hikmah dan pengajaran kepada jiwa manusia. Apa yang menjadi esensi dari musibah, berikut penjelasannya.
Pertama, musibah dimaksudkan agar manusia memahami arti kebahagian dan kegembiraan yang sejati. Kepedihan dan kepahitan hidup harus ada pembandingnya, agar kita dapat menerangkan rasa pahit dan getir. Sehingga dengan pengalaman tersebut, akan menumbuhkan sikap simpati dan emphati manusia atas persoalan yang sama dihadapi orang lain.
Kepekaan hati (atau imajinasi atas penderitaan orang lain, istilah Hannah Arent) dalam menyerap penderitaan orang lain, membuat kita dapat menghayati arti penderitaan. Sehingga membuat manusia tidak membuat sesuatu yang dapat menyebabkan penderitaan bagi orang lain.
Kedua, melalui musibah Allah Subhanahu wata’ala menumbuhkan rasa cinta atas kemanusiaan. Karena dengan musibah manusia bisa mentransendensikan kepentingan parochialnya, termasuk benci dan dendam.
Manusia akan lebih mudah “belajar” tentang kehidupan dengan melalui krisis, ketimbang sesuatu yang nikmat. Kenikmatan sering kali membuat manusia lupa dan lalai. Tapi dalam krisis, manusia lebih mudah menimba pengajaran, dan lebih berkembang sisi-sisi humanisnya.
Pengalaman ini misalnya terjadi pada Victor E. Frankle, seorang dokter jiwa yang mengemukakan teori logoterapi. Beliau hidup di zaman Nazi Hitler. Ia mengalami langsung berbagai penindasan dan pembantaian yang dilakukan tentara Nazi di Auschwitz. Kemudian ia juga menyaksikan berbagai peristiwa pengorbanan, seorang berkorban demi keluarga, demi teman. Kemudian ada kesabaran luar biasa pada orang-orang yang mengalami krisis. Termasuk juga mereka yang tak kuat dalam krisis dan akhirnya frustrasi.
Dari aneka pengalaman krisis tersebut lahirlah teori logoterapi yang intinya berpusat pada kesadaran makna dan ruhani (neotic). Meskipun ruhani yang ia maksudkan bukan dalam pengertian agama. Intinya bahwa dari kegetiran hidup manusia kemudian menemukan makna hidup (meaning of life).
Makna hidup dicapai setelah manusia mendapatkan ruang mengekspresikan kebebasan berkehendak (freedom of will) dan kehendak untuk hidup bermakna (will of meaning). Dengan kata lain, krisis atau penderitaan membuat manusia memahami dan menghendaki makna kehidupannya.
Ketiga, musibah dan penderitaan dalam kacamata spiritual (tasawuf) pada dasar adalah jalan mencapai cahaya. Dalam bahasa Jalaludin Rumi, “luka-luka adalah jalan bagi cahaya memasuki diri anda”. Untuk mencapai pencerahan spiritual manusia mesti melewat berbagi lembah penderitaan, seperti tujuh lembah penderitaan rombongan burung (dalam Musyawarah Burung, Faridudin Attar) untuk menjumpai Simurg.
Artinya fase krisis atau penderitaan mutlak mesti dilalui para Salik yang ingin mencapai maqam yang lebih tinggi dalam pencaharian spiritualnya. Dengan demikian, penderitaan bukan lagi sesuatu yang buruk dan harus dihindari, tetapi sebaliknya harus dilalui dan dinikmati. Karena menurut Rumi, penderitaan adalah kasih sayang Tuhan yang sedang menyamar.
Keempat, diantara musibah ada yang terjadi sebagai kausalitas. Artinya musibah muncul sebagai akibat dari ulah tangan manusia, yang rakus dan sombong. Mengeksploitasi sumber daya alam semau-maunya (dengan dalih pembagunanisme) tanpa memperdulikan keseimbangan ekosistem. Akibatnya terjadilah tanah lonsor, banjir bandang hingga pencemaran air, tanah dan udara. Timbul berbagai penyakit dan problem sosial, hingga nyawa melayang.
Jared Diamond dalam bukunya Collapse (2005) menyatakan selain perang dan pandemi yang banyak membunuh manusia adalah bencana alam. Tuhan mengisyaratkan perihal ini di banyak tempat dalam Al-Quran. Oleh karenanya, manusia harus merubah mindsetnya dalam relasi dengan lingkungan dari “I belong to you” (aku memiliki atau menguasai) menjadi “there is belong to me” (aku bagian) dari lingkungan. Karena kita adalah bagian dari “rumah” alam ini, maka kita punya tanggung jawab melestarikan dan menjaga keseimbangannya. Kita harus dapat melawan sifat tamak (rakus) dan jumawa yang semena-mena.
Demikianlah sekelumit hikmah dan ibrah yang dapat kita renungkan dari “madrasah musibah”. Semoga dapat memperluas bentangan hati dan jiwa kita, menjadi seluas samudera. Kala kita mendapat kesulitan, kadang masalah sepele menjadi besar bagi jiwa yang sempit, sebaliknya masalah besar tidak akan terlalu membebani bagi jiwa yang lapang. Para bijak bestari berkata, “ketika menghadapi musibah, sejatinya bukan masalah yang besar, tetapi jiwa kita yang perlu diperluas”. Wallahu A’lam. */Eka Hendry Ar, Dosen IAIN Pontianak