Tidak ada amar makruf nahi munkar yang lebih ideal daripada yang dilakukan para nabi, mereka tetap memberikan keteladanan dan menggunakan strategi dakwah luar biasa
Hidayatullah.com | ORANG yang hendak terjun ke dalam nahi munkar (mencegah orang berbuat jahat, red), pesan beliau, sebaiknya berada di bawah bimbingan seorang syekh yang mumpuni, agar masyarakat bisa patuh terhadap tindakan dan ucapannya. “Nahi munkar itu butuh strategi,” pesan Imam asy-Sya’rani dalam Lawaqihul-Anwar al-Qudsiyah.
Dengan begitu, ia bisa menangkap ikannya, tanpa mengeruhkan airnya. Tanpa strategi yang matang, boleh jadi nahi munkar hanya menyebabkan timbulnya kemunkaran yang lebih besar.
Imam asy-Sya’rani sendiri memiliki pengalaman nyata mengenai hal itu. Di sebuah pemandian, beliau melihat seorang ulama fiqih melakukan nahi munkar terhadap lelaki yang membuka pahanya.
Dia langsung mendorong orang itu dengan kaki, dan menegornya dengan kata-kata kasar. “Haram!” katanya.
Lalu apa yang terjadi? Bukannya menutup aurat, orang itu malah telanjang bulat, melepas sarung dan melemparkannya ke arah ulama tersebut. “Aku menantangmu!” katanya dengan nada geram.
Seandainya si ulama itu tahu strateginya, kata Imam asy-Sya’rani, dia akan menghampiri orang tersebut, lalu membisiki, “Tuan, Anda orang terhormat di sini. Saya khawatir ada orang melihat, lalu menegor Anda…”.
Jika itu yang ia lakukan, mungkin ceritanya akan lain.
Pada dasarnya, prinsip pokok nahi munkar memang keteladanan. Namun, keteladanan saja belum cukup, masih diperlukan teknik dan strategi yang tepat.
Hal ini bersifat kondisional dan bermacam-macam. “Orang yang melakukan nahi munkar itu hatinya harus kokoh tapi penampilannya lembut. Dia harus seperti dokter ketika menangani orang sakit, dan seperti orang bijak ketika menangani orang gila,” demikian pesan Syekh Abdul Qadir al-Jilani.
Oleh karena itu, sangat diperlukan kehati-hatian sebelum mengambil tindakan. Jika ceroboh, bukannya kebaikan yang dia peroleh, justru keburukan yang dia cegah akan semakin membesar.
Namun demikian, kekhawatiran terhadap efek negative tersebut tidak boleh dijadikan sebagai alas an untuk lepas tangan. Setiap Muslim dituntut melakukan nahi munkar dengan cara yang baik, tanpa harus dihantui oleh bayang-bayang kekhawatiran lahirnya kemunkaran yang lebih besar.
Orang yang takut melakukan nahi munkar karena khawatir obyeknya memberontak dan melakukan kemunkaran yang lebih besar, sama halnya dengan orang yang melakukan kebaikan sambil berniat di dalam hati, bahwa dia tidak akan memerintahkan kebaikan tersebut kepada orang lain. Menurut Imam asy-Sya’rani, dua orang ini sama-sama salah.
Menurut beliau, kalau dicermati secara teliti, boleh jadi mudarat akhirat yang diperoleh oleh obyek nahi munkar memang lebih besar daripada manfaatnya. Tapi, hal itu tidak boleh dijadikan alasan.
Sebab, tugas seorang dai adalah menyampaikan misi dakwahnya dengan cara yang benar. Mengenai hasil dan reaksi dari obyek dakwah, hal itu sudah di luar konteks tugas dari si dai, asalkan dia sudah menjalankan tugas tersebut sesuai dengan aturan.
Ambil contoh, kaum Nabi Nuh alaihissalam, hanya 40 orang di antara mereka yang beriman. Selebihnya menjadi penentang seruan beliau.
Di akhirat kelak, kerasulan Nabi Nuh ini akan menjadi dakwaan yang memberatkan mereka. Hukuman yang mereka terima semakin berat karena membangkang setelah mendapat penjelasan dari Sang Nabi.
Namun demikian, kita tidak diperkenankan memiliki anggapan bahwa kerasulan Nabi Nuh menjadi penyebab bagi hampir seluruh kaumnya. Anggapan ini sangat tidak benar, karena sudah menyalahi konteks dakwah itu sendiri.
Memang ada sebagian dai yang menganggap ketidakpatuhan obyek dakwah sebagai kesalahan dan kerugian bagi dirinya. Namun, anggapan ini lebih disebabkan karena kesempurnaan iman dan kerendahan dai tersebut, bukan karena dia berdosa gara-gara ada kaumnya yang membangkang.
Maqam keimanan yang tinggi membuat dia melihat apa yang dimilikinya untuk bersyukur, dan melihat apa kekurangan dirinya untuk beristighfar.
Inilah barangkali yang terjadi pada Imam asy-Syadzali. Suatu ketika ada seseorang mendatangi beliau.
Dia mengungkapkan kekagumannya. “Jumlah pengikut Anda begitu besar. Mereka membawa banyak manfaat dan kebaikan bagi umat ini,” katanya.
Mendengar sanjungan itu, Imam asy-Syadzali justru menimpali dengan kalimat penyesalan, “Sebenarnya mudarat yang kami bawa masih lebih besar daripada manfaatnya. Yang celaka dari kalangan pengikut kami jauh lebih banyak daripada yang selamat. Kami sudah memberikan penjelasan, tapi mereka melanggarnya. Padahal, hukuman untuk pelanggaran yang dilakukan setelah mendapat penjelasan jauh lebih berat daripada pelanggaran yang dilakukan sebelum mendapat penjelasan.”
Seorang dai yang bijak memang cenderung mengembalikan pembangkangan obyek dakwah kepada dirinya sendiri. Ia merasa bahwa ketidakpatuhan obyek dakwah lebih disebabkan oleh kekurangan dirinya.
Perasaan ini tentu saja hanya untuk mengukur pribadi dirinya, bukan untuk mengukur orang lain. Sebab, meskipun keteladanan dai sangat berpengaruh terhadap kepatuhan orang yang diajak, akan tetapi hal itu hanyalah sebagian besar, tidak bersifat menyeluruh. Demikian kata Imam asy-Sya’rani.
Oleh karena itu, lanjut beliau, jika orang yang diajak tidak patuh, bukan berarti yang mengajak belum mengamalkan ilmunya, atau belum memberikan teladan yang baik. Belum tentu…
Tidak ada amar makruf nahi munkar yang lebih ideal daripada yang dilakukan para nabi. Mereka maksum dari dosa dan keburukan lahir-batin.
Mereka telah memberikan keteladanan yang benar-benar sempurna. Mereka menggunakan strategi dakwah yang luar biasa.
Mereka tidak pernah sekalipun berkhianat, atau melanggar apa yang mereka sampaikan kepada umatnya. Tapi ternyata, umat mereka masih banyak yang membangkang, bahkan sebagian besar.
Maka,ketika melakukan amar makruf nahi munkar, harus senantiasa ditanamkan di dalam hati bahwa apa yang ia lakukan hanyalah perantara untuk mendapat hidayat Allah. Sehingga, apapun reaksi dari obyek dakwah tidak akan mempengaruhi semangat dakwah yang sedang mereka jalankan.
Itulah rahasia yang menyebabkan Nabi Nuh bertahan sampai 900 tahun menerima penganiayaan kaumnya, Sampai Allah sendiri yang menyatakan bahwa waktu mereka sudah berakhir.*/Ahmad Dairobi, Sidogiri, 1433