Hidayatullah.com | DAKWAH merupakan perintah yang berlaku bagi setiap Muslim. Hal ini ditegaskan dalam QS Fushilat [41]: 33, QS at-Taubah [9]: 71, QS an-Nahl [16]: 125, dan QS Ali Imran [3]: 104.
Dalam hadis Nabi ﷺ;
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat.” (HR: Bukhari).
Dalam hadis lain, Nabi ﷺ bersabda;
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mencegahnya dengan tangannya, apabila ia tidak mampu maka hendaklah ia mencegahnya dengan lisannya, apabila ia tidak mampu maka hendaklah ia mengingkari dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman.”(HR: Muslim).
Dakwah merupakan tugas para nabi dan rasul (QS: Yusuf [12]: 108), karena itu dakwah menjadi aktifitas mulia di hadapan-Nya. Karenanya, apapun profesi kita, dakwah tidak boleh hilang dari diri seorang muslim. Profesi itu menjadi sarana dalam dakwah.
Dalam menunaikan tugas dakwah, seorang dai hendaknya meneladani Nabi ﷺ. Dan, akhlak menjadi pilar utama dalam dakwah. Hal itu pula yang menjadi keberhasilan Nabi ﷺ dalam dakwah.
Dalam QS al-Qalam [68] ayat 4 dan HR Muslim dan Ahmad disebutkan, Nabi Muhammad ﷺ berakhlak Al-Quran. Nabi ﷺ sebagai teladan mulia dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dakwah.
Dan, akhlak mulia itu menjadi modal utama Nabi ﷺ dalam dakwah. Untuk itu, seorang dai hendaknya meneladani akhlak mulia yang diteladankan Nabi Muhammad ﷺ dalam berdakwah. Di bawah ini adalah tiga modal penting para dai dan juru dakwah
Baca: Kuliah Perdana Sekolah Dai di Jakarta
Pertama, akhlak terhadap Rabb-nya
Dalam urusan ibadah Nabi ﷺ senantiasa melaksanakan dengan sebaik-baiknya, kuat dalam ibadah, dzikir, tidak membiarkan waktunya berlalu tanpa manfaat, dan tidak pernah berhenti dalam istighfar. Selalu melewati malam-malamnya dengan shalat malam, berdoa, dan bertasbih dengan khusyuk hingga terdengar dari dadanya suara seperti suara bejana yang mendidih karena menangis. Semua itu menunjukkan keluhuran akhlak Nabi ﷺ terhadap Rabbnya.
Karena itu, yang pertama bagi seorang dai dalam menjalankan amanah dakwah adalah meningkatkan hubungan baik (akhlak) terhadap Rabbnya (hablum minallah). Bangun di sepertiga malam menjelang untuk shalat tahajud; minta ampunan, petunjuk dan bimbingan-Nya agar dapat berdakwah dengan penuh ketulusan; berwudhu sebelum dakwah dan luruskan niat untuk beribadah. Sebab, Dialah yang membolak-balikkan hati manusia (umat).
Kedua, akhlak terhadap keluarga
Yaitu, membangun keluarga yang harmoni yang bersinergi dengan dakwah. Nabi Muhammad ﷺ adalah sebaik-baik manusia, terbaik bagi keluarganya. Jika di rumah, Nabi ﷺ terbiasa membantu urusan keluarga (HR: Bukhari); menjahit baju dan menambal sandal sendiri (HR: Ahmad dan Ibnu Hibban); dan lebih pengasih kepada keluarganya (HR: Muslim).
Jadi sebelum keluar, seharusnya kita mempraktikkan kebaikan di dalam rumah dulu. Karena itu, setelah membangun hablum minallah, seorang dai harus dapat membangun hubungan baik terhadap keluarganya (hablum minal usrah).
Keluarga sebagai laboratorium bagi dai dalam membentuk umat agar menerima dakwahnya. Jika tidak mampu mendakwahi keluarga untuk bersinergi dengan dakwah, apalagi mendakwahi umat, sehingga hal itu akan dapat mempengaruhi psikologi dalam dakwah.
Ketiga, akhlak terhadap sesama manusia
Nabi Muhammad ﷺ sebagai sosok yang pandai bergaul dengan sesama, seperti jujur, amanah, tawadhu, pemalu, sabar, kasih sayang, lemah lembut, pemaaf, adil, memenuhi janji, dermawan, pemberani, berwibawa, dan masih banyak sifat mulia lainnya.
Maka, sifat-sifat itu pula yang hendaknya dimiliki oleh seorang juru dakwah dan dai dalam upaya membangun hubungan yang harmoni dengan umat (hablum minannas) yang menjadi obyek dakwah. Dengan sifat-sifat yang mulia (akhlakul karimah) tersebut seorang dai akan mudah diterima oleh umatnya.
Jika sudah menerima dan percaya terhadap seorang dai, maka umat akan dengan mudah untuk diarahkan dan didakwahi.
Baca: Tugas Dai Dan Juru Dakwah “Menjaga Hadits”
Keteguhan Dai
Ustadz Rahmat Abdullah (alm) pernah memompa semangat para kadernya dengan ungkapan yang populer: “Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu. Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu. Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu. Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu. Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.”
Di kalangan para juru dakwah dikenal dengan istilah tsabat (ketegaran, keteguhan). Tsabat sering dikaitkan dengan sikap teguh pendirian dan tegar dalam menghadapi ujian dalam berdakwah. Begitu pentingnya, pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna bahkan menempatkan tsabat dalam urutan ke tujuh ‘rukun komitmen berdakwah’.
Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman;
مِنَ الۡمُؤۡمِنِيۡنَ رِجَالٌ صَدَقُوۡا مَا عَاهَدُوا اللّٰهَ عَلَيۡهِۚ فَمِنۡهُمۡ مَّنۡ قَضٰى نَحۡبَهٗ وَمِنۡهُمۡ مَّنۡ يَّنۡتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوۡا تَبۡدِيۡلًا
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya).” (QS: al-Ahzab [33]: 23).
Setiap sarana dalam dakwah membutuhkan kesiapan yang matang, penetapan waktu yang tepat, dan pelaksanaan yang cermat. Semua itu sangat dipengaruhi oleh waktu. Semoga Allah mengokohkan langkah para juru dakwah dan dai dalam menjalankan amanah dakwah dan meraih hasil yang terbaik. Amin.*/ Imam Nur Suharno, Pengurus Korps Mubaligh Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat