DIRIWAYATKAN dalam hadist dari Anas ra. bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam pernah bersabda, “Jibril alaihis salam telah mengatakan kepadaku, “Rujuklah Hafshah, karena dia adalah wanita yang suka berpuasa dan suka shalat malam.” (HR. Al Hakim).
Hadist ini menunjukkan bahwa Hafshah adalah seorang wanita yang sangat taat dan gemar beribadah. Ia juga gemar berqiyamul lail pada malam-malam yang dilaluinya. Sampai-sampai Jibril menyarankan agar Rasulullah merujuk (menikahi) Hafshah.
Diterangkan pula dalam satu riwayat bahwa suatu ketika Rasulullah masuk ke masjid. Ia melihat ada tali memanjang yang diikat antara dua tiang. Rasulullah melihatnya dengan heran. Lalu bertanya kepada para sahabat yang kebetulan ada di sana, “Tali apakah kiranya ini?” Orang-orang menjawab, “Milik Zainab binti Jahsy ra.”
Rasulullah saw. bertanya, “Untuk apakah dia merentangkan tali seperti itu?” Orang-orang menjawab, “Jika ia merasa lelah dalam mengerjakan shalat, maka dia menggantung pada tali itu. ” Rasulullah kemudian menyuruh untuk melepaskan tali itu. “Jangan, lepaskan tali itu. Hendaknya di antara kalian shalat sesuai dengan kemampuan saja. Jika lelah dan tidak mampu berdiri, bisa shalat dengan duduk.” (HR. Bukhari).
Dari hadist tersebut dapat dipetik nilainya bahwa wanita di zaman Rasulullah benar-benar mempunyai gairah sangat tinggi dalam berqiyamul lail. Sampai-sampai jika tidak kuat berdiri karena lelah, tetap shalat dengan cara menyandarkan tubuhnya pada tali yang direntangkan. Di sisi lain, kita dapat pula mengambil pelajaran dari kebijaksanaan Rasulullah yang luar biasa. Rasulullah tidak menghendaki seseorang beribadah secara berlebihan, melainkan sesuai dengan kemampuannya.
Sungguh luar biasa kesungguhan mereka dalam bermunajat dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal itu dilakukan lantaran telah merasakan kenikmatan dalam merapatkan diri ke sisi Allah ketika malam telah sunyi.
Selain yang telah disebutkan di atas, ada pula nama-nama wanita muslimah yang tekun menjalankan ibadahnya di malam hari, misalnya Mu’adzah al-Adawwiyah ra. Diterangkan dalam satu riwayat, bahwa dalam malam pesta pernikahannya, dia bersama suami masih menyempatkan bangun malam untuk berqiyamul lail. Hal itu dilakukan hingga datangnya fajar.
Dalam pernikahannya, ia dikaruniai seorang putra. Ketika putranya telah dewasa, ikut dalam berjihad dan mati syahid di medan peperangan. Suaminya pun mengalami nasib yang sama. Semenjak itu, ia selalu menghidupkan malam-malamnya untuk bermunajat kepada Allah. Ketika saat melakukan shalat dan berdzikir terasa mengantuk, maka ia berkata kepada dirinya sendiri, “Wahai jiwaku, tidur panjang (kematian) berada di depanmu.” (dalam Shifah ash-Shafwah – Ibnu Jauzi).
Wanita shalihah lainnya yang patut diteladani dalam mendorong semangat berqiyamul lail adalah Hafshah binti Sirin ra. Di dalam riwayat diterangkan, di rumah perempuan itu terdapat bilik (mushalla) yang digunakan untuk shalat dan bermunajat. Setiap sebagian malam yang dilewatinya, Hafshah hampir selalu menyalakan lampu. Namun terkadang lampu telah mati sehingga suasana di dalam mushalla gelap, hanya mendapat cahaya dari ruangan lain.
Selama tiga puluh tahun, wanita ini tidak keluar dari mushalla kecuali untuk keperluan dan untuk tidur sebentar. Jika memasuki separo malam, ia bangun dan langsung masuk ke tempat sujudnya (mushalla) untuk berqiyamul lail. Dia selalu membaca separo Al Quran pada setiap malamnya. Siang hari berpuasa, kecuali pada dua hari raya dan hari Tasyriq.
Begitu pula istri Abu Darda’ bernama Hujaimah al-Aushabiyyah. Ia adalah istri shalihah. Setiap malam selalu mengerjakan shalat dan diikuti pula oleh wanita lainnya. Mereka mengerjakan qiyamul lail bersama-sama hingga kaki mereka bengkak karena lamanya berdiri.
Nama yang tidak begitu asing di telinga kita ialah Rabi’ah Al-Adawiyah. Wanita ini dikenal sebagai muslimah sufi. Gemar sekali mengerjakan qiyamul lail. Bahkan menurut riwayat, Rabi’ah selalu mengerjakan shalat semalam suntuk. Jika terbit fajar, ia berbaring di tempat shalatnya untuk sekedar melepaskan lelah. Kemudian dia bangun dari pembaringannya dan duduk, seraya berkata, “Wahai jiwaku berapa lama engkau tidur? Sampai kapan engkau akan bangun? Hampir saja engkau tertidur dan tidak bangun sampai mendengar teriakan hari kebangkitan yang mengejutkanmu.”
Sementara itu dalam riwayat diterangkan pula, Habibah al-Adawiyyah ra. jika mengerjakan shalat isya’, maka ia berdiri pada teras rumahnya dan mengencangkan baju tebal dan tutup kepalanya. Ia, lalu berucap, “Tuhanku, bintang-bintang terbenam dan semua mata telah tertidur. Para raja telah menutup pintunya, sedangkan pintu-Mu tetap terbuka. Orang-orang yang bercinta telah menyendiri bersama kekasihnya, sedangkan aku menyendiri berada di hadapan-Mu.”
Habibah al-Adawiyyah kemudian terus mengerjakan shalat dan bermunajat kepada Tuhannya hingga menjelang fajar. Jika fajar telah hampir tiba, ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Wahai Allah, malam semakin sempit dan siang semakin bercahaya. Hatiku bertanya-tanya, apakah Engkau menerima malamku sehingga aku merasa senang? Atau Engkau menolak malamku sehingga aku merasa bersedih? Demi kemuliaan-Mu, inilah ketekunanku, ketekunan-Mu bersifat abadi dan Engkau tidak menetapkannya untukku. Demi kemuliaan-Mu, andaikan Engkau menghardikku maka aku tidak akan beringsut dari depan pintu-Mu. Dalam hatiku tidak ada sesuatu selain kemurahan-Mu dan kemuliaan-Mu.”
Dia juga mengatakan demikian, “Ya Allah, ampunilah aku, ampunilah tata kramaku yang tidak baik dalam shalatku.”
Begitu pula Ajradah al-Ammiyah ra. jika malam telah gelap, ia mengenakan pakaian dan bercadar, lalu berdiri di tempat shalatnya (berupa mihrab). Secara terus-menerus mengerjakan shalat dan membaca ayat-ayat Al Quran hingga menjelang fajar. Jika waktu telah mendekati fajar, ia duduk dan berdoa serta bermunajat kepada-Nya sampai fajar benar-benar terbit.
Dalam bermunajat, ia seringkali mengucapkan, “Orang-orang yang telah beribadah telah memotong kegelapan malamnya untuk-Mu, dengan segera beribadah sampai menjelang fajar. Mereka berlomba-lomba mendapatkan rahmat-Mu dan karunia ampunan-Mu. Aku hanya memohon kepada-Mu, bukan kepada yang lainnya, agar Engkau menjadikan aku termasuk dalam kelompok pertama yang berlomba-lomba mendapat ampunan-Mu, agar Engkau mengangkatku menjadi orang yang sangat dekat dengan-Mu, agar Engkau memasukkan aku ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh. Engkaulah Dzat Yang Paling Mulia di antara yang mulia, Yang Paling Penyayang di antara penyayang, dan Yang Paling Agung di antara yang agung, wahai Dzat Yang Maha Mulia.”*/Abu Fajar Al Qalami, dalam bukunya Misteri Qiyamul Lail dan Shalat Subuh.