Oleh: Alwi Alatas
Penaklukkan Tabriz menandai awal berdirinya kerajaan Safawi. Ismail menjadikan kota ini sebagai ibukota pemerintahannya. Saat menguasai kota itu pada tahun 1501, Ismail mengumumkan Syiah itsna asyariyah sebagai keyakinan resmi pemerintahannya. Para penasihatnya pada awalnya merasa keberatan dengan hal ini karena khawatir dengan reaksi penduduk Tabriz yang mayoritas Sunni. Tapi Ismail tetap kukuh dengan pendiriannya, dan ia berhasil mendesakkan keinginannya (Jackson et.al., 1986: 194). Saat itu dua pertiga penduduk kota Tabriz berpaham ahlus sunnah (Nasr, 1974: 273). Ketika Ismail berusaha mendapatkan kitab Syiah yang menjelaskan prinsip-prinsip dasar Syiah itsna asyari di kota itu, ia hanya berhasil mendapatkan satu buah manuskrip saja di sebuah perpustakaan pribadi yang terpencil. Hal ini menggambarkan masih terbatasnya pengaruh Syiah di Iran pada masa itu. (Turner, 2000: 50).
Sepanjang masa pemerintahannya, Ismail bersikap sangat keras terhadap masyarakat Sunni. Pemerintahannya diwarnai oleh pemujaan terhadap Ali dan dua belas imam Syiah serta penistaan terhadap tiga khalifah sebelum Ali ra., yaitu Abu Bakar ra., Umar ra., dan Utsman ra., dan juga upaya untuk menghapuskan ahlus sunnah (Jackson et.al., 1986: 193-4). Sepanjang proses penaklukkan, pasukan qizilbash menebar teror pada penduduk Sunni dan memaksa mereka untuk mengutuk secara terbuka tiga khalifah sebelum Ali ra. (Matthee, 2008). Kebijakan anti-Sunni ini kelak dilanjutkan oleh para penguasa Safawi berikutnya.
Tidak ada sumber yang pasti berkenaan dengan awal pengaruh Syiah pada diri Ismail. Ia tidak pernah dikader oleh ayahnya yang telah gugur saat ia masih kecil. Bahwa ayahnya serta kakeknya merupakan seorang penganut Syiah tulen, dan bukannya hanya sekedar memanfaatkan fanatisisme Syiah pengikutnya untuk kepentingan politik, juga sebenarnya sulit untuk dipastikan oleh sejarah. Ismail kemungkinan banyak menerima ide-ide Syiah saat diasuh di kota Lahijan oleh seorang pembesar bepaham Syiah zaidiyah. Selain itu, kecenderungan pada Syiah serta fanatisisme para pengikut Turkinya mungkin juga banyak mempengaruhi sikap dan pilihan Ismail. Walaupun menetapkan Syiah itsna asyariyah sebagai keyakinan resmi kerajaannya, Ismail sendiri, dan juga para pengikutnya, dalam prakteknya lebih dekat kepada keyakinan Syiah ghulat (ghuluw) yang cenderung menuhankan Ali ra., bahkan menuhankan dirinya sendiri. Dalam kumpulan puisi yang ia buat, ia menempatkan Ali ra. mendahului Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam. dan menempatkannya pada level tuhan (Jackson et.al., 1986: 196-8).
Antara tahun 1503 dan 1510, Ismail berhasil menguasai Iran bagian tengah, Khurasan, Azerbaijan, Diyar Bakr di Mesopotamia, hingga Baghdad di Iraq (Newman, 2009: 11-2). Ekspansi Safawi dan penetapan Syiah sebagai ideologi kerajaan pada akhirnya memprovokasi tetangganya yang Sunni, khususnya Turki Utsmani. Kegeraman Turki Utsmani terhadap Safawi terutama disebabkan jaringan pengikutnya di Anatolia, yang menjadi sumber bagi pasukan qizilbash, berpotensi memberontak terhadap Turki Utsmani. Dan ini benar-benar terjadi pada akhir masa pemerintahan Sultan Bayazid II pada tahun 1511. Pemberontakan ini berhasil ditumpas dan pada tahun berikutnya Sultan Bayazid digantikan oleh anaknya, Sultan Salim, yang segera mengambil tindakan keras terhadap pemerintah Safawi (Bosworth et.al., 1995: 767-8).
Pada bulan Agustus tahun 1514, Sultan Salim membawa 200.000 tentara Turki Utsmani, melewati Anatolia dan Azerbaijan, sehingga akhirnya berhadapan dengan pasukan Safawi di Chalderan, Barat Laut Iran. Pasukan Safawi kalah telak dalam pertempuran itu, antara lain disebabkan jumlah pasukan Turki Utsmani yang lebih banyak dan juga karena teknologi persenjataan Turki yang lebih maju. Pasukan Turki Utsmani memasuki Tabriz setelah pertempuran ini, tetapi Sultan Salim tidak berhasil mendesak pasukannya untuk melewati musim dingin di Tabriz serta meneruskan serangan terhadap kerajaan Safawi. Mereka akhirnya meninggalkan tempat itu beberapa hari kemudian. Tabriz pun kembali ke tangan Ismail, tetapi wilayah Erzinjan, Diyar Bakr, dan juga Irak kini berada di bawah kendali Turki Utsmani.
Kekalahan tersebut menjadi pukulan yang hebat terhadap Dinasti Safawi dan Ismail secara pribadi. Sifat ketuhanan Ismail dan keyakinan bahwa ia tak terkalahkan menjadi luntur. Sejak kekalahan itu, Ismail lebih banyak tinggal di pusat pemerintahan dan tidak pernah memimpin pasukannya secara langsung lagi (Bosworth et.al., 1995: 768; Allouche, 1983: 100-1; Jackson et.al., 1986: 224-5).
Dinasti Safawi terus bertahan selepas Ismail. Pemimpin Safawi setelahnya pada umumnya juga menerapkan kebijakan anti-Sunni. Selain itu, kerajaan ini mengundang para theolog Syiah itsna asyari, khususnya dari kawasan Jabal Amil di Libanon, untuk datang ke Iran (Abisaab, 2004), yang menjadikan wilayah ini semakin menyerap keyakinan dan ajaran Syiah Itsna Asyari.
Konversi Iran menjadi Syiah di bawah Dinasti Safawi berlangsung secara gradual, tapi pasti. Para penguasa Safawi terus melakukan tekanan dan pemaksaan terhadap para ulama dan masyarakat Sunni agar mereka mengubah keyakinannya kepada Syiah. Pada awal masa pemerintahan Safawi, ulama Sunni di Iran sebenarnya masih memiliki peranan cukup penting, bahkan mampu mempengaruhi sultan ketiga Dinasti Safawi yang memerintah pada tahun 1576, Ismail II, hingga cenderung kepada Sunni. Tetapi pemerintahan Ismail II tidak berlangsung lama, hanya sekitar empat belas bulan. Ia meninggal dunia secara misterius (Johnson, 1994: 124). Ulama-ulama Sunni yang masih ada pun lama kelamaan berkurang pengaruhnya. Walaupun pada awalnya ada yang diam-diam tetap berpegang pada keyakinan Sunninya, tetapi pada akhirnya ulama yang memegang jabatan di pemerintahan Safawi didominasi oleh kalangan Syiah (Arjomand, 1985: 178-179). Apa yang berlaku pada masa Dinasti Safawi menjadi titik tolak penting terbentuknya masyarakat Iran seperti yang kita dapati pada hari ini.*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, kini sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia
baca juga:
Dinasti Safawi dan Konversi Syiah di Iran (2)
Dinasti Safawi dan Konversi Syiah di Iran (1)
Daftar Pustaka
Abisaab, Rula Jurdi. Converting Persia: Religion and Power in the Safavid Empire. London: I.B. Tauris. 2004.
Allouche, Adel. The Origins and Development of the Ottoman-Safavid Conflict (906-962/ 1500-1555). Berlin: Klaus Schwarz Verlag. 1983.
Arjomand, Said Amir. “The Clerical Estate and the Emergence of a Shi’ite Hierocracy in Safavid Iran: A Study in Historical Sociology” dalam Jurnal of the Economic and Social History of the Orient, vol. 28, No. 2. 1985. Hlm. 169-219.
Bosworth, C.E. et.al. The Encyclopaedia of Islam, vol. 8. Leiden: Brill. 1995.
Jackson, Peter dan Laurence Lockhart. The Cambridge History of Iran, vol. 6, The Timurid and Safavid Period. London: Cambridge University Press. 1986.
Johnson, Rosemary Stanfield. “Sunni Survival in Safavid Iran: Anti-Sunni Activities during the Reighn of Tahmasp I”, dalam Iranian Studies, vol. 27, No. 1/4, Religion and Society in Islamic Iran during the Pre-Modern Era. 1994. Hlm. 123- 133.
Matthee, Rudy. “Safavid Dynasty” dalam http://www.iranicaonline.org/articles/safavids. 2008.
Nasr, Hosssein. “Religion in Safavid Persia” dalam Iranian Studies, vol. 7, No. 1/2, Studies on Isfahan: Proceedings of the Isfahan Coloquium, part I. 1974. Hlm. 271-286.
Newman, Andrew J. Safavid Iran: Rebirth of a Persian Empire. London: I.B. Tauris. 2009.
Turner, Colin. Islam without Allah? The Rise of Religious Externalism in Safavid Iran. Richmond: Curzon. 2000.