Oleh: Muhammad Cheng Ho
SABEN hari, Jakarta terasa makin panas saja. Bukan karena matahari terus meludahi pijarnya, bukan karena hujan deras tak kunjung mengguyur, bukan karena angin shubuh tak membelai lembut, bukan itu, melainkan lantaran berbagai pernyataan dan kebijakan gubernurnya yang terus menuai kontroversi dan meresahkan warga ibukota, khususnya umat Islam. Betapa tidak, setelah menggusur masjid, lalu menyeru petugas untukmembunuh demonstran yang anarkis, mendukung legalisasi Miras, lokalisasi prostitusi, dan diskotik, melarang takbir keliling dan penyembelihan hewan kurban di sekolah, kini, ia melarang tabligh akbar di Monas. [Baca: Komnas HAM Hanya Tegur Bima Arya, Tapi Tak Tegur Ahok yang Larang Umat Islam Tabligh Akbar].
Berbeda dengan Gubernur Jakarta tempo dulu. Dulu kota ini pernah dipimpin oleh seorang Muslim negarawan. Namanya Sjamsuridjal. Pria kelahiran Karanganyar 11 Oktober 1903 ini memiliki segudang pengalaman. Semasa mudanya, ia adalah seorang ketua Jong Islamieten Bond (JIB), sebuah organisasi pemuda Islam yang kebanyakan anggotanya didikan Barat, tapi hidup sebagai pejuang Islam. Kecintaan Sjamsuridjal pada Islam membuatnya tergerak untuk mengadakan pelajaran Islam di Jong Java ketika itu. Namun sayang upayanya kandas. Ditengah kekecewaan, Sjamsuridjal bertemu dengan H. Agus Salim.
Sebagaimana yang dikisahkan oleh H. Agus Salim:
“Pimpinan kelompok pemuda beragama Islam ini, Sjamsuridjal, sangat sedih dan ketika pulang malam dari kongres itu aku mencoba menghiburnya dan berkata ; jangan sedih, mari kita segera bentuk persatuan pemuda Islam dan kita akan menerbitkan surat kabar Islam berjudul Het Licht (Sinar). Orang-orang itu telah mencoba mematikan sinar Ilahi tetapi Tuhan tak akan membiarkannya! Maka disudut jalan itu, pada malam tahun baru jam 24.00, 1 Januari 1925 dibentuklah Jong Islamieten Bond (JIB).” (Beggy Rizkiansyah, http://jejakislam.net/?p=309 diakses pada Senin, 2 November 2015)
JIB kemudian memang menjadi organisasi yang berpengaruh luas. Selain menerbitkan majalah Het Licht, JIB berperan sebagai poros dari pergerakan siswa Muslim didikan Belanda yang memiliki ghirah (semangat) luar biasa terhadap Islam. Mulai dari membentuk forum-forum diskusi, membangun sekolah di berbagai wilayah Indonesia, hingga turut serta dalam penolakan zionisme.
Selain JIB, Sjamsuridjal juga pernah aktif sebagai anggota Pengurus Besar Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) tahun 1929, dan menjadi anggota Dewan Pimpinan Masyumi tahun 1950.
Dalam pemerintahan, Sjamsuridjal pernah mengemban amanah sebagai Wali Kota Bandung dan Surakarta. Ia dipilih sebagai Wali Kota Bandung karena keberhasilannya mengalahkan penjajah Jepang. Kala itu, sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) Bandung, Sjamsuridjal ikut berjuang bersama pemuda-pemuda Bandung melawan penjajah Jepang. Amanahnya tak ringan, ia bertugas mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang. Terlebih saat itu ia harus menghadapi para pemuda yang radikal dan pemerintah yang diplomatis. Namun ia berhasil menggerakkan rakyat untuk menggertak Jepang sampai akhirnya Jepang ketakutan dan menyerah tanpa ada pertumpahan darah.
Keberhasilan inilah yang menarik hati pemerintah dan meyakinkan rakyat akan kepemimpinannya. Hingga pada bulan September 1945, Sjamsuridjal dipilih oleh rakyat dan diangkat oleh pemerintah sebagai Wali Kota Bandung yang pertama, sejak berdirinya Republik Indonesia.
Amanah yang diembannya kian berat manakala menjadi Wali Kota bandung. Sebab tentara sekutu yang diboncengi tentara Belanda berhasil menduduki wilayah Bandung Utara. Akibatnya, berkobarlah perlawanan pemuda terhadap markas-markas sekutu. Tindakan pemuda ini tentu membuat sekutu naik darah. Dibomlah Bandung Selatan oleh sekutu. Akibatnya, korban jiwa berjatuhan, mayat-mayat bergelimpangan, dan bau busuk menusuk hidung.
Menyaksikan kebiadaban sekutu, Sjamsuridjal melawan. Melalui corong Radio Republik Indonesia Bandung, ia sampaikan protes kepada pihak sekutu. Namun pihak sekutu menjawab protes tersebut dengan mengultimatum akan membom kembali kota Bandung Selatan bila para pemuda tidak mengosongkan kota itu.
Mendengar ultimatum itu, Sjamsuridjal bersama Komandan TRI, Divisi III, dan Kolonel A.H. Nasution mengadakan pertemuan. Hasilnya sepakat untuk mengadakan pengungsian rakyat ke luar kota dan Bandung akan dibumihanguskan. Maka tepat pukul 20.01 WIB, tanggal 24 Maret 1946, terdengarlah ledakan pertama yang disusul ledakan-ledakan selanjutnya di segala penjuru kota.
Langit Bandung memerah dan menjadi lautan api.
Setelah memimpin Bandung, Sjamsuridjal memimpin Surakarta pada awal tahun 1947. Suasana Surakarta ketika itu penuh gejolak akibat konfrontasi dengan PKI. Ia bahkan pernah ditempatkan di dalam penjara oleh Belanda. Enam bulan lamanya ia meringkuk dalam penjara Belanda. Baru setelah terjadi perjanjian Roem-Royen dan berkat bantuan delegasi Republik Indonesia di Jakarta, ia bisa menghirup udara segar dan dipindahkan ke Jakarta.
Kiprahnya terus berlanjut di Jakarta. Sjamsuridjal dipilih oleh Dewan Perwakilan Kota Sementara menjadi calon Wali Kota Jakarta Raya –jabatan setingkat Gubernur– bersama calon lainnya seperti Mr. Mohamad Roem, Jahja Malik, dan Dr.Buntaran. Dalam pemilihan di Dewan Perwakilan Kota Sementara, sebenarnya Mr. Mohamad Roem yang memperoleh suara terbanyak, namun Pemerintah Pusat menetapkan Sjamsuridjal sebagai Wali Kota Jakarta Raya karena dipercaya akan mampu menghadapi tantangan dalam mengemudikan Pemerintahan Daerah Ibukota Negara berdasarkan pengalamannya di Bandung dan Surakarta. Dan pada 27 Juni 1951, ia resmi menjadi Wali Kota Jakarta Raya ke-2 berdasarkan surat keputusan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 27 Juni 1951.
Berbagai pengalaman Sjamsuridjal kala ditempa di, JIB, PSII, Masyumi, Bandung dan Surakarta inilah yang nantinya menjadi modal dalam memikul amanah sebagai pemimpin Jakarta rentang 27 Juni 1951 – 1 November 1953.
Meski singkat menjabat, namun aksinya padat di berbagai bidang. Di bidang pendidikan, Sjamsuridjal membangun 53 ruang belajar, menyelenggarakan Kursus Pegawai Administrasi (KPA) dengan tujuan untuk memberi pengetahuan dan kecakapan tentang urusan administrasi kantor, mendirikan Sekolah Kepandaian Puteri (SKP) dan Sekolah Guru Kepandaian Puteri (SGKP), meningkatkan pengetahuan guru-guru dan mutu pengajaran sekolah rakyat serta pengetahuan umum warga negara lewat kursus-kursus, melakukan pemberantasan buta huruf di kalangan orang-orang dewasa dan Jawatan (Dinas) Pendidikan Masyarakat, dan membangun komplek pelajar yang bernama “Komplek Taman Setia Budi” yang terdiri atas komplek SD, SMP, dan SMA yang dilengkapi perkampungan pelajar dan ruang olah raga.
Di bidang kesehatan, Sjamsuridjal membangun dua rumah sakit rakyat di Jalan Balikpapan dan Tanjung Priok pada tahun 1953, mendirikan 10 rumah sakit di tiap-tiap kewedanaan (kabupaten) dan beberapa klinik bersalin di sebagian tempat di Jakarta, melayani masyarakat yang tinggal jauh dari pusat-pusat kesehatan, seperti di pelosok kampung dan desa, dengan menyediakan mobil balai pengobatan keliling, mendirikan Yayasan Putra Bangsa untuk mendidik dan merawat anak-anak sekolah dasar yang sakit dan kurang mampu, serta melaksanakan program pemeberantasan penyakit menular.
Di bidang ekonomi, Sjamsuridjal menyokong usaha rakyat dalam mendirikan koperasi dan perusahaan, mendirikan koperasi perikanan pulau seribu untuk memberi pinjaman alat-alat penangkapan ikan, dan menentukan tempat pelelangan ikan agar nelayan tidak menjual kepada rentenir.
Di bidang sosial, Sjamsuridjal merawat dan mendidik anak-anak yatim, membangun asrama untuk anak-anak yang terlantar, memberikan perawatan, pakaian, bahan makanan, pekerjaan bercocok tanam dan pendidikan kerajinan tangan kepada fakir dan miskin, mengucurkan subsidi kepada yayasan anak yatim seperti RP Muslimin, RP Rukun Istri, dan RJP Muhammadiyah, menyantuni dan merawat bekas Romusha yang cacat, menolong golongan kecil seperti tukang beca, tukang jual makanan, dan lain sebagainya dengan membangun beberapa perumahan darurat yang disewakan dengan harga yang ringan (Supangkat, Karya Jaya Kenang-kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945-1966, PT Pangeran Djajakarta:Jakarta, 1977, hlm. 53-79), serta memberikan Masjid Agung Al-Azhar yang terletak di Jalan Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada tahun 1952 (Humas DKI Jakarta melalui akun resmi twitter @jakartagoid 27 Juli 2012).
Aksi sosial Sjamsuridjal dalam mengatasi masalah gelandangan dinilai oleh sejarawan Susan Blackburn sebagai tindakan yang lebih manusiawi dari tindakan lainnya (Susan Blackburn, Jakarta Sejarah 400 Tahun, Masup Jakarta: Jakarta, 2011, hlm. 268)
Usaha-usaha Sjamsuridjal dalam membangun Jakarta memang terbentur singkatnya periode jabatan yang ia emban. Inisiatif Sjamsuridjal yang agresif tetap tidak bisa mengimbangi pesatnya pertumbuhan penduduk serta permasalahannya.
Christhoper Silver, professor dari University of Florida yang pernah meneliti pembangunan kota Jakarta, mengungkapkan “…None of these initiatives kept pace with the growing housing demand and, despite Sjamsuridal’s aggressive clearance programme, slum areas expanded faster than the government could remove them.” (Dikutip oleh Christopher Silver, Planning the Megacity: Jakarta in the Twentieth Century, Routledge: London&New York, 2008, hlm. 92-93 dari Nas and Malo (2000, 230–231) dan PDKIJ (1977, 69–70)).
Ledakan penduduk Jakarta yang hebat setidaknya telah membuat permasalahan semakin berat. Pada tahun 1948 Jakarta diperkirakan dihuni sebanyak 1. 174. 252 jiwa. Namun pada tahun 1953, penduduk Jakarta sudah mencapai 1,8 juta jiwa (Christopher Silver, Ibid, hlm.81). Membanjirnya penduduk daerah menuju Jakarta, terang tak bisa diatasi oleh seorang Sjamsuridjal semata. Persoalan urbanisasi menjadi persoalan nasional. Meskipun begitu, Christopher Silver mengakui, dalam periode yang singkat, Sjamsuridjal telah melakukan upaya yang agresif. Kesan positif juga dikemukakan oleh Mr. Supangkat yang mengenalnya sejak zaman pergerakan nasional. Menurutnya, Sjamsuridjal memiliki bakat memimpin dalam organisasi politik, sosial, maupun agama, ramah tamah dalam pergaulan, dan rapi dalam berbusana. (Supangkat, Ibid, hlm.51)
Demikian perjalanan seorang Sjamsuridjal memimpin Jakarta. Seorang tokoh Islam yang nyata telah berjuang dan berkorban demi negaranya. Walau singkat menjabat, akan tetapi torehan kontribusinya berpihak dan bermanfaat untuk rakyat Jakarta, terutama pada rakyat kecil.
Jakarta memang tidak membutuhkan pemimpin yang sering umbar janji, tebar pesona, sensasi dan arogansi, serta menciderai toleransi, namun tak banyak aksi, sehingga membuat masyarakat tak merasakan perannya yang berarti. Sebaliknya, Jakarta, setidaknya membutuhkan pemimpin yang mampu mengikuti jejak yang telah dicontohkan oleh Sjamsuridjal.*
Penulis adalah Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)