Sambungan artikel KEDUA
Kembali kepada rumah sakit, tidak ada diskriminasi dalam penerimaan pasien. Rumah sakit menerima pasien Muslim dan non-Muslim, warga setempat maupun orang asing. Di Rumah Sakit Qalāwūn, tidak ada pasien yang ditolak dan lamanya masa pengobatan tidak dibatasi.
Di Rumah Sakit al-Nūrī, para dokter berkeliling mengunjungi para pasien yang dirawat, memberikan resep bagi pasien. Kadang dokter juga pergi mengunjungi pasien di luar rumah sakit, sebelum kembali untuk mengajar ilmu ke dokteran di rumah sakit (Dunlop, 1986, I/1224).
Hal yang sama juga kurang lebih berlaku di rumah sakit yang dibangun oleh Yaᶜqūb al-Manṣūr di Marakesh. Ada empat kolam yang terbuat dari marmer di tengah-tengah rumah sakit tersebut, serta saluran-saluran air menuju ke seluruh bagian rumah sakit. Para dokter di rumah sakit itu juga mengunjungi dan merawat pasien setiap harinya. Ada pula pakar apoteker (ṣayādilah) yang bertugas untuk meracik obat bagi para pasien (Hamarneh, 1962,376).
Banyak rumah sakit yang dilengkapi dengan perpustakaan dan ruang kuliah bagi kegiatan belajar mengajar ilmu kedokteran, mirip dengan fakultas kedokteran pada hari ini yang biasanya berdampingan dengan rumah sakit sebagai tempat praktek bagi para mahasiswa kedokteran. Rumah Sakit Ibn Ṭūlūn di Kairo pada abad ke-14, misalnya, memiliki 100.000 buku dari berbagai cabang ilmu kedokteran.
Praktek kedokteran sangat memperhatikan etika dan standar pengobatan. Jika ada pasien yang meninggal dunia saat dirawat, keluarga pasien dapat mendatangi dokter kepala untuk meminta pandangannya. Jika didapati dokter yang menangani pasien itu sudah menjalankan pengobatan sebagaimana mestinya, maka dokter kepala akan menyampaikan bahwa pasien itu meninggal dunia secara natural. Tetapi jika didapati kesalahan dalam prosedur medis, maka dokter kepala akan memberitahukannya kepada keluarga pasien dan mempersilahkan mereka jika ingin menuntut uang darah (diyat) kepada dokter yang bertanggung jawab (Tschanz, Maret-April 2017, 27).
Rumah sakit yang ada pada masa itu melayani pasien secara gratis. Bukan hanya gratis, pasien kadang diberi uang saku saat pulang ke rumah masing-masing. Ini berbeda dengan praktek banyak rumah sakit pada hari ini yang seringkali bersifat kapitalistik.
Rumah sakit swasta seperti yang kita fahami pada hari ini kelihatannya belum ada. Tetapi ada beberapa dokter yang sangat sukses dan memiliki penghasilan besar bukan hanya dari rumah sakit tempat mereka bekerja, tetapi juga dari praktek pengobatan swasta yang mereka lakukan di rumah-rumah pasien yang kaya.
Sebagian dari dokter ini kemudian memberikan pelayanan gratis kepada para pasien yang tidak mampu. Muḥammad ibn Zakariyya al-Rāzī dikatakan sangat dermawan kepada para pasiennya dan tidak memungut biaya apapun bagi pasiennya yang kurang mampu (Anjum, 2015, 61).
Seorang dokter di Mesir yang bernama al-Qātiᶜī memiliki penghasilan yang besar dari pelayanan privatnya kepada para emir. Ia kemudian menggunakan sebagian besar dari penghasilannya dan memfungsikan bagian tertentu dari rumah pribadinya menjadi semacam rumah sakit untuk merawat pasien-pasien yang miskin tanpa dikenakan biaya (Dols, 1987, 370).
Banyak sumbangan penting yang telah diberikan oleh peradaban Islam di masa lalu, termasuk dalam bidang kedokteran dan dalam praktek rumah sakit, yang terus berkembang hingga ke hari ini. Para dokter serta para pemimpin Muslim pada hari ini perlu mengambil pelajaran dari dunia kedokteran dan bīmāristān yang berkembang pada masa itu, sehingga dapat memperkuat aspek-aspek tertentu pada bidang kesehatan yang sudah ada sekarang ini. (Kuala Lumpur, 6 Sha’ban 1443/ 9 Maret 2022)
Penulis adalah staf pengajar di bidang sejarah dan peradaban pada International Islamic University Malaysia (IIUM)
Daftar Pustaka
Anjum, Saba. 2015. “Al-Razi: A Distinguished Physician of the Medieval History: A Review of His Method and Influence.” Revelation and Science, Vol. 5 No. 2, hlm. 59-66. https://journals.iium.edu.my/revival/index.php/revival/article/view/161/149
Colin, G.S. 1986. “Bīmāristān: ii. Muslim West.” Dalam H.A.R. Gibb, J.H. Kramers, E. Levi-Provencal, J. Schacht, The Encyclopaedia of Islam, New Edition, Vol. I. Leiden: E.J. Brill.
Dols, 1987. “The Origins of the Islamic Hospital: Myth and Reality.” Bulletin of the History of Medicine, Vol. 61, No 3, pp. 367-390. https://www.jstor.org/stable/44442098?seq=1#metadata_info_tab_contents
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Dunlop, D.M. 1986. “Bīmāristān: i. Early period and Muslim East.” Dalam H.A.R. Gibb, J.H. Kramers, E. Levi-Provencal, J. Schacht, The Encyclopaedia of Islam, New Edition, Vol. I. Leiden: E.J. Brill.
Hamarneh, Sami. 1962. “Development of Hospitals in Islam.” Journal of the History of Medicine and Allied Sciences, Vol. XII No. 3, pp. 366-384. https://doi.org/10.1093/jhmas/XVII.3.366
Ibn Abī Uṣaybiᶜah. t.t. ᶜUyūn al-Anbā’ fī Ṭabaqāt al-Aṭbā’. Beirut: Manshūrāt Dār Maktabah al-Ḥayāh.
Sehsuvaroglu, Bedi N. 1986. “Bīmāristān: ii. Turkey.” Dalam H.A.R. Gibb, J.H. Kramers, E. Levi-Provencal, J. Schacht, The Encyclopaedia of Islam, New Edition, Vol. I. Leiden: E.J. Brill.
Shaikh, Ibrahim. 22 Desember 2001. “Abu al-Qasim al-Zahrawi the Great Surgeon.” https://muslimheritage.com/abu-al-qasim-al-zahrawi-the-great-surgeon/
Tschanz, David W. Maret-April 2017. “The Islamic Roots of the Modern Hospital.” AramcoWorld. Pp. 22-27.