Di masa ketika partai politik dilarang penjajah Belanda, majalah-majalah Islam (media Islam) mengambil alih peran penting untuk memimpin, mengarahkan masyarakat dan alat merebut kemerdekaan
Hidayatullah.com | PERS ISLAM (baca media dakwah atau media Islam) memiliki peran yang sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, tidak hanya sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai penggerak opini publik dan pembangkit semangat nasionalisme.
Melalui media cetak seperti majalah dan surat kabar, para tokoh Islam seperti H. Zainal Abidin Ahmad dan Prof. Hamka menggunakan tulisan mereka untuk menyuarakan perjuangan, membela hak-hak umat, dan memobilisasi masyarakat untuk melawan kolonialisme.
Pers Islam tidak hanya menjadi saksi sejarah tetapi juga bagian integral dari proses yang membawa bangsa Indonesia menuju kebebasan.
Dengan memanfaatkan kekuatan kata-kata, pers Islam menjadi alat dakwah sekaligus perjuangan, mengukuhkan posisinya sebagai pengawal dalam perjalanan menuju kemerdekaan.
Haji Zainal Abidin Ahmad (1911-1983), lebih dikenal sebagai Z.A. Ahmad, adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah pers Islam di Indonesia. Ia lahir di Minangkabau, Sumatera Barat, dan dikenal sebagai ulama sekaligus cendekiawan yang aktif dalam berbagai bidang, mulai dari pendidikan, keagamaan, hingga jurnalistik.
Z.A. Ahmad merupakan salah satu pelopor yang memanfaatkan media massa untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Kiprahnya tidak hanya berhenti di ranah akademik atau keagamaan, tetapi juga di dalam melahirkan narasi kebangkitan umat melalui media cetak. Ia adalah pemimpin redaksi majalah Islam Pandji Islam yang terkenal sebagai salah satu alat perjuangan kemerdekaan.
Tak hanya itu, Z.A. Ahmad juga dikenal sebagai penggerak pendidikan Islam di Sumatera Barat melalui perguruan Thawalib. Dengan karya-karyanya di bidang jurnalistik, Z.A. Ahmad berhasil membangun opini publik yang mendorong semangat nasionalisme di kalangan umat Islam.
Komitmennya terhadap perjuangan terlihat dalam upayanya mendirikan media yang menjadi wadah bagi suara Islam sekaligus sebagai alat perjuangan melawan kolonialisme Belanda.
Terkait betapa vitalnya peran pers Islam dalam mengawal kemerdekaan Indonesia, maka Z.A. Ahmad sebagai pelaku sejarah pernah menuangkannya dalam artikel bersambung yang dimuat dalam majalah Panjimas No. 234-236 (1977) dengan judul “Peranan Mas Media Islam dalam Kemerdekaan”.
Dalam catatan beliau, pada masa perjuangan kemerdekaan, sejumlah majalah Islam menjadi alat komunikasi yang sangat strategis dalam mengobarkan semangat nasionalisme dan memberikan pendidikan politik kepada umat.
Gerakan mass media dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia lahir sebagai respons terhadap pengaruh gerakan Islam internasional seperti Al-Urwatul Wutsqa dari Paris dan Al-Manar dari Mesir.
Kesadaran baru akan pentingnya organisasi dan media massa untuk menentang penjajah akhirnya melahirkan gerakan-gerakan besar di tanah air, seperti Muhammadiyah yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tahun 1912, serta Serikat Islam yang dipimpin oleh H.O.S. Cokroaminoto dan H. Agus Salim di Solo, kemudian Surabaya.
Di Sumatera Barat, peran mass media juga diperkuat dengan kepulangan H. Abdul Karim Amrullah dari Makkah pada tahun 1901. Perubahan besar dalam perjuangan Islam di Sumatera Barat diawali dengan pendekatan tradisional, seperti dakwah lisan, kemudian dilanjutkan dengan pendirian institusi pendidikan.
Perguruan Thawalib di Padang Panjang (1911), Diniyah School (1916), dan Diniyah Putri (1923) menjadi tonggak penting bagi sistem pendidikan Islam di wilayah ini.
Dengan pengaruh majalah Islam internasional seperti Al-Urwatul Wutsqa, majalah Al-Imam terbit di Singapura pada tahun 1910 di bawah kepemimpinan Syekh Thaher Jalaluddin, memberikan semangat baru bagi peran media massa di Sumatera Barat.
Majalah Al-Munir di Padang Panjang (1911-1916), dipimpin oleh Dr. H. Abdullah Ahmad, Zainuddin Labay el Yunusi, dan Tuanku Muda Abdul Hamid Hakim, menjadi bagian penting dalam melahirkan semangat kewartawanan Islam.
Meski berumur pendek, majalah ini dikenang sebagai simbol perjuangan media Islam. Dr. H. Abdullah Ahmad bahkan disebut sebagai “Bapak Wartawan Islam di Sumatera”.
Semangat ini kemudian diteruskan dalam gerakan politik melalui partai PERMI (Persatuan Muslim Indonesia) yang aktif menggunakan media massa sebagai alat perjuangan, termasuk penerbitan majalah Medan Rakyat.
Namun, perjuangan menghadapi penindasan berat dari penjajah Belanda melalui berbagai regulasi seperti Guru Ordonantie, Wilde Scholen Ordonantie, dan Huwelijk Ordonantie, yang melarang banyak ulama berpengaruh seperti Dr. H. Abdul Karim Amrullah untuk mengajar.
Pada tahun 1934, sejumlah tokoh Islam terkemuka ditangkap dan dibuang ke Boven Digul, termasuk pemimpin Islam dari Sumatera Barat.
Meski menghadapi tekanan, media Islam tetap menjadi alat perjuangan yang ampuh. Majalah-majalah seperti Pandji Islam, Pedoman Masjarakat, dan lainnya terus menyuarakan semangat perjuangan hingga menjadi bagian penting dalam pengawalan kemerdekaan Indonesia.
Semangat ini menjadi warisan yang menginspirasi generasi berikutnya untuk melanjutkan perjuangan melalui media massa.
Berikut adalah di antara daftar majalah-majalah tersebut beserta para pemimpin redaksinya:
Pertama, Pandji Islam
Majalah yang dipimpin oleh Z.A. Ahmad. Majalah ini menjadi wadah penting bagi perjuangan Islam. Z.A. Ahmad menggunakan Pandji Islam untuk membangun opini publik yang kuat melawan kolonialisme, memobilisasi umat Islam, dan menyebarkan gagasan kemerdekaan.
Kedua, Pedoman Masjarakat
Majalah ini dipimpin oleh Prof. Hamka, yang juga dikenal sebagai ulama besar dan sastrawan. Pedoman Masjarakat memainkan peran penting dalam menyuarakan aspirasi umat Islam dan melawan penjajahan melalui tulisan yang penuh semangat.
Ketiga, Suluh Islam
Dipimpin oleh Abdul Wahid Er., majalah ini turut memberikan kontribusi dalam memperjuangkan kemerdekaan dengan menanamkan nilai-nilai keislaman yang kuat.
Keempat, Menara Puteri
Majalah ini dipimpin oleh Rasunah Sa’id dan menjadi suara perempuan Muslim dalam perjuangan nasional. Kelima, Sinar. Dipimpin oleh H. Bakri Sulaiman bersama Agus Hamid, majalah ini berperan sebagai media penyebar semangat perjuangan di kalangan umat Islam. Keenam, Dewan Islam. Dipimpin oleh M. Arsyad Thalib Lubis, Dewan Islam menjadi platform yang mengangkat isu-isu penting terkait perjuangan umat dan bangsa.
Ketujuh, Medan Islam
Dipimpin oleh H. Abdul Kadir, majalah ini memberikan pendidikan politik dan keagamaan kepada umat Islam, khususnya di Sumatera Utara. Dan lain sebagainya; belum termasuk yang terbit di Jawa seperti majalah terbitan Al-Irsyad, Muhammadiyah, Persis, NU dan lain sebagainya yang juga berperan penting dalam mengawal kemerdekaan.
Peran Media dalam Perjuangan Kemerdekaan Majalah-majalah Islam ini tidak hanya memberikan informasi tetapi juga menjadi alat penggerak opini publik yang strategis.
Di masa kolonial, ketika banyak partai politik dilarang oleh pemerintah Belanda, majalah-majalah Islam mengambil alih peran penting ini.
Mereka menjadi wadah aspirasi rakyat dan memimpin perjuangan dalam membangun kesadaran nasional. Peran media Islam sangat signifikan dalam membangun semangat kebangsaan, memperjuangkan hak-hak umat Islam, dan mempersiapkan bangsa menuju kemerdekaan.
***

Z.A. Ahmad sendiri pernah merasakan pahitnya perjuangan melalui media. Sebagai pemimpin redaksi Pandji Islam, ia dijebloskan ke penjara Suka Mulia di Medan selama enam bulan pada tahun 1934 akibat tuduhan pelanggaran pers oleh kolonial Belanda.
Peristiwa ini menunjukkan bagaimana pers Islam telah menjadi pengawal perjuangan yang tidak gentar menghadapi risiko besar demi mencapai kemerdekaan bangsa.
Majalah Pandji Islam dan Pedoman Masjarakat juga menjadi media yang paling luas jangkauannya di Indonesia pada masa itu. Dengan pembaca dari seluruh pelosok negeri hingga dukungan dari luar negeri.
Kedua majalah ini menjadi ujung tombak dalam membangun opini rakyat untuk mencapai Indonesia merdeka.
Tak hanya itu, Para tokoh besar yang kelak menjadi pemimpin bangsa turut aktif menulis di media-media tersebut sebagai bentuk kontribusi mereka dalam menggerakkan opini publik dan membangkitkan semangat rakyat untuk melawan penjajah.
Nama-nama besar seperti Ir. Sukarno yang kemudian menjadi Presiden RI, Dr. Muhammad Hatta sebagai Wakil Presiden, Muhammad Natsir sebagai Perdana Menteri, serta Z.A. Ahmad, HAMKA, dan M. Yunan Nasution sebagai pemimpin dan pendukung majalah-majalah tersebut, menunjukkan bagaimana pers Islam menjadi wadah perjuangan intelektual sekaligus alat perjuangan kemerdekaan.
Selain itu, beberapa penulis yang aktif di media Islam kemudian menjabat posisi penting dalam pemerintahan dan diplomasi, seperti A. Hasymi, M. Zein Hassan, Mahmud Lacuba, dan Dr. Abu Hanifah.
Kontribusi mereka melalui tulisan di masa penjajahan berhasil membangun opini publik yang mendukung semangat perjuangan.
Di masa ketika partai politik dilarang oleh penjajah Belanda, majalah-majalah Islam mengambil alih peran penting untuk memimpin dan mengarahkan masyarakat, membuktikan bahwa media Islam adalah alat yang ampuh dalam upaya merebut kemerdekaan.
Pengorbanan para penulis ini, baik dalam bentuk kerja keras maupun risiko besar, turut membangun landasan perjuangan menuju Indonesia yang bebas dari kolonialisme.
Pers Islam pada masa perjuangan kemerdekaan menunjukkan bahwa media memiliki kekuatan yang luar biasa dalam membentuk opini publik, menggerakkan perjuangan, dan menjadi penghubung antara rakyat dan pemimpin.
Tokoh-tokoh seperti Z.A. Ahmad, Prof. Hamka, dan para pemimpin redaksi lainnya telah menorehkan sejarah melalui kontribusi mereka dalam pers Islam.
Majalah-majalah seperti Pandji Islam, Pedoman Masjarakat, dan lainnya telah menjadi bukti nyata bagaimana media dapat menjadi pengawal kemerdekaan, mendidik umat, dan membangun semangat nasionalisme.
Dengan keberanian, dedikasi, dan komitmen mereka, pers Islam telah memberikan sumbangan besar dalam mengantarkan bangsa Indonesia menuju pintu gerbang kemerdekaan.
Pada tanggal 3 Rabi’ul Akhir 1400 H bersama dengan 20 Februari 1980 M, Himpunan Penulis Islam (HPI) merumuskan satu Deklarasi:
Bismillahirrahmanirrahim, “Bahwa sesungguhnya, sejak zaman penjajahan hingga zaman kemerdekaan ini, para penulis dan pers Islam di Indonesia telah menunjukkan peranannya yang besar di dalam melaksanakan da’wah Islamiyah, memperjuangkan Indonesia merdeka dan mencerdaskan kehidupan bangsa di dalam membangun masyarakat Indonesia, di bidang rohani maupun jasmani. Peranan tersebut antara lain ditunjukkan dengan tampilnya Organisasi Wartawan Muslimin Indonesia (WARMUSI) di tahun 1937 dan Himpunan Pengarang Indonesia.
“Dan sesungguhnya Umat Islam menyadari, bahwa perkembangan dunia pers masa media Islam sekarang ini masih berada dalam taraf pertumbuhan; sementara itu kesadaran umat Islam – terutama angkatan mudanya – semakin meningkat.”
“Didorong oleh niat luhur serta rasa tanggung jawab terhadap agama Islam dan bangsa Indonesia, maka untuk meningkatkan pengabdian serta peranan penulis dan pers Islam dalam pembangunan agama dan pembangunan bangsa, perlu adanya suatu forum silaturahmi dan kekeluargaan bagi para penulis, pers, dan pustaka Islam.” (Ramlan Mardjoned, Kebangkitan Pers Islam dari Abad ke Abad, Majalah Al-Muslimun, 133/XII/1981).*/Mahmud Budi Setiawan