Oleh: Muhammad Cheng Ho
SETELAH hampir lebih 30 tahun kasus peraturan jilbab di sekolah menjadi momok para siswi bergama Islam, kini, kasus serupa masih juga terjadi.
Belum lama ini para siswi Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 1 Grogol, Kabupaten Kediri dikabarkan tertekan terkait ketentuan pengambilan foto untuk ijazah yang harus melepaskan jilbab yang diterapkan pihak sekolah.
Masukan, Plt Kepala Sekolah SMKN 1 Grogol, Kediri, Jawa Timur, saat ditanya ihwal perbutan memaksa pasa siswi agar melepaskan jilbab dalam sesi pemotretan foto ijazah mengatakan, “Tidak jarang bayak perusahaan mensyaratkan, jika bekerja di tempat mereka, foto siswi harus terlihat telinganya. Karena itu, jika suatu saat nanti perusahaan menginginkan pasfoto yang tidak mengenakan jilbab, pihak sekolah tidak disalahkan.” [Baca: Orang Tua Siswi SMKN 1 Grogol Protes Ketentuan Lepas Jilbab untuk Foto Ijazah]
Sungguh mengherankan sikap Masukan. Ia tak tampak seperti kepala sekolah, tapi bagaikan kepala “robot” perusahaan.
Larangan jilbab ini sesungguhnya adalah barang bekas yang didaur ulang. Dulu di zaman orde baru, lebih parah lagi. Siswi-siswi yang memakai jilbab ditentang keras oleh pemerintah, khususnya pejabat dinas pendidikan dan militer.
Militer, dalam hal ini angkatan darat, muncul sebagai kekuatan yang sangat dominan dalam panggung politik orde baru. Militer mendominasi posisi-posisi strategis baik eksekutif, legislatif, maupun birokrasi. Pada tahun 1972, 22 dari 26 gubernur adalah bekas perwira militer, demikian juga 67 % dari bupati dan camat serta 40% dari kepala desa. Selama dua dekade pemerintahan orde baru, terhitung 71,4 % posisi-posisi strategis dalam birokrasi pusat yang tertinggi diduduki militer. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sendiri untuk tahun 1982 terdiri dari 44 % militer. (Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti,Revolusi Jilbab Kasus Pelarangan Jilbab di SMA Negeri se-Jabodetabek, 1982-1991, Al-I’TISHOM:Jakarta, 2001)
Sejarawan Alwi Alatas menilai salah satu tujan utama dominasi militer ini adalah untuk mengawal tercapainya tujuan orde baru. Pemerintah orde baru mencita-citakan suksesnya program pembangunan yang mereka canangkan dan untuk itu dibutuhkan kestabilan politik dan ekonomi yang ditopang kuat oleh kestabilan pertahanan dan keamanan. (Ibid)
Hal senada juga diungkapkan oleh sejarawan Tiar Anwar Bachtiar. Menurutnya, dalam membangun stabilitas politik dan keamanan serta pemulihan ekonomi negara, Soehato dikelilingi tentara dan teknokrat. Tentara digunakan sebagai kekuatan untuk pemulihan keamanan nasional, sedangkan teknokrat dimanfaatkan untuk mewujudkan target ekonomi pemerintah orde baru (Tiar Anwar Bachtiar, Lajur-lajur Pemikiran Islam Kilasan Pergulatan Intelektual Islam Indonesia, Komunitas NuuN:Depok, 2011).
Dominasi militer ini sangat dirasakan oleh para ulama. Ruang gerak mereka untuk menyiarkan nilai-nilai agama sering kali harus berbenturan dengan pihak militer yang kerap dirasakan sebagai anti Islam. Sifat birokrasi militer yang kaku telah membuat kalangan Islam menemui kesulitan untuk memperjuangkan aspirasinya agar diterima oleh pemerintah, termasuk dalam masalah jilbab di kalangan siswi.
Salah satu hal yang menggelitik untuk dikaji lebih jauh adalah masuknya watak militerisme dalam kebijakan-kebijakan Depdikbud. Kebijakan wajibnya seragam sekolah dalam SK Dirjen Dikdasmen No.052 tahun 1982 tampaknya mengindikasikan hal itu.
Di dalam SK itu, sebenarnya tidak dilarang penggunaan jilbab oleh siswi-siswi di SMA-SMA Negeri, hanya saja, bila mereka ingin memakai jilbab di sekolah, maka harus secara keseluruhan siswi di sekolah memakai jilbab.
Dengan kata lain hanya ada satu paket seragam saja di sekolah. Dan pilihan untuk siswi-siswi: pakai jilbab seluruhnya atau tidak sama sekali? Tentu tidak aneh bila hal ini menimbulkan tanda tanya, terutama di kalangan yang mendukung jilbab. Apakah ini sebuah bentuk penerapan budaya militer di sekolah-sekolah menengah negeri atau hanya sekadar keinginan mengenakan jilbab menjadi mustahil bagi kebanyakan siswi?
Upaya yang dilakukan pemerintah lewat pihak sekolah dalam menyelesaikan masalah larangan jilbab juga memperlihatkan pendekatan militer di dalamnya. Contohnya, ketika Ratu, salah seorang siswi yang berusaha memakai jilbab maka hal ini menjadi bermasalah dengan pihak sekolah. Muttaqien, salah seorang anggota keluarga Ratu menganggap bahwa pemerintah pada saat itu menghadapi munculnya jilbab di SMA-SMA Negeri dengan security approach (pendekatan keamanan).
Ketika datang ke SMAN 68 Jakarta untuk membicarakan masalah adiknya, ia menemui Kepala Sekolah, Subandio. Namun pada saat itu Subandio didampingi oleh seorang Kolonel Ass. Intel Kodam Jaya. Ketika itu ia diancam akan ditangkap kalau “macam-macam.” SMAN 68 sendiri pada saat ia datang, dijaga oleh mobil militer. Tetapi Muttaqien mengakui juga bahwa keadaan itu terjadi karena anak buahnya di PII-di luar pengetahuannya- telah menteror Subandio, bahkan dengan ancaman “Bapak besok akan mati!”
Selain itu, rumah para siswi berjilbab atau orang-orang yang dianggap memengaruhi siswi-siswi berjilbab, didatangi oleh intelijen. Ketua RT mereka ditanyai dan diberi peringatan untuk berhati-hati terhadap mereka. Pihak keluarga didatangi dan diberi ancaman.
Awal tahun 1980-an memang merupakan periode konflik antara Islam dan Pemerintah. Kedua pihak saling berlawanan dan kerap bersitegang. Politik Pemerintah Orde Baru yang represif terhadap umat Islam turut memperkeruh persoalan ini.
Pada kasus jilbab ini, Depdikbud rupaya tidak bisa menutupi sikap curiganya terhadap siswi berjilbab. Sebagaimana pada kasus Tri Wulandari di Jember. Pihak Kodim 0824 Jember sempat memanggilnya karena dicurigai sebagai anggota Jamaah Imron. Jilbab pada saat itu dianggap sebagai perwujudan gerakan politik yang mengancam pihak pemerintah.
Maret 1984, pihak Depdikbud mengeluarkan penjelasan tentang pakaian seragam sekolah (bagi keperluan intern jajaran Depdikbud). Di dalamnya secara jelas menguraikan sudut pandang Depdikbud terhadap bermunculannya jilbab di sekolah-sekolah negeri serta protes-protes sekelompok masyarakat terhadap SK 052.
Sikap sekelompok masyarakat tersebut dimanfaatkan oleh golongan tertentu untuk menentang pemerintah, antara lain memperalat siswi di beberapa sekolah pada beberapa kota besar untuk mengenakan sejenis pakaian yang menyimpang/tidak sesuai dengan ketentuan pakaian seragam sekolah. Terutama sekali perlu ditegaskan, bahwa pakaian seragam sekolah tidak menentang ajaran Islam. Dan sebaliknya bahwa “aksi jilbab” yang dilancarkan oknum-oknum tertentu, bukan suatu gerakan agama, melainkan merupakan gerakan politik.
Cara pandang seperti ini tampaknya menurun pada sebagian guru, sehingga sikap mereka tidak ramah atau bahkan membenci siswi-siswi yang memakai jilbab. Seorang guru SMAN 31 Jakarta pernah menuding siswi berjilbab di sekolah itu bahwa cara berpakaian mereka “mewakili gerakan tertentu.” Namun ketika ditanya gerakan apa yang dimaksud, sang guru diam, tidak bisa menjawab.
Salah satu siswi berjilbab di SMAN 68 Jakarta, di dalam catatan hariannya, menuliskan perkataan salah seorang guru agamanya;
“Kalau kalian berjilbab karena Allah, maka Bapak tidak dapat melarang kalian, tapi kalau kalian berjilbab karena ada unsur-unsur politik dan sebagainya, maka hal ini kami serahkan pada pihak sekolah.”
Berangkat dari kenyataan-kenyataan itu, maka tidak mengherankan bila SK ini segera memakan korban. Siswi-siswi berjilbab sampai ada yang dikeluarkan dan dipindahkan dari sekolah, diskors, dicap seperti gerakan laten PKI, diinterogasi di ruang BP, dikejar-kejar kepala “robot” sekolah yang selalu berlindung di balik kalimat, “Saya hanya melaksanakan perintah atasan.”, kemudian dimaki-maki, diusir, dimasukkan ke kandang ayam, dan dibotakki oleh orang tua sendiri, serta difitnah menyebar racun.* (BERSAMBUNG)
Penulis adalah Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)