KETIKA orang-orang Suriah mulai bangkit melawan pendudukan Prancis, Syeikh Izzudin al-Qassam berada di garis depan revolusi. Aktivitasnya ini menimbulkan perhatian dari otoritas pendudukan.
Pada awalnya, Prancis mencoba melakukan “pendekatan kerjasama” dengan dia. Tapi Sheikh menolak semua pendekatan yang dilakukan Prancis dan segala bentuk kerjasama dengan pemerintah kolonial.
Atas sikapnya yang tanpa kompromi itu, pasukan Prancis mencoba membunuhnya. Sheikh lantas berbulan-bulan bersembunyi dan berjuang.
Saat posisinya hampir diketahui, Syeikh memutuskan pindah ke Damaskus untuk mengambil bagian dalam pertempuran yang dikenal dengan “Maysalun –pertempuran antara Kerajaan Suriah melawan pasukan Prancis di kota Maysalun, berjarak 17 km dari Damaskus”, di mana sejumlah kecil pasukan Suriah dengan persenjataan apa adanya bertempur mati-matian untuk memukul mundur penjajah Prancis, tetapi tidak berhasil.
Di Palestina
Pada saat Prancis memburu Syeikh dan para pemimpin Suriah lainnya, Izzuddin al-Qassam memutuskan pindah ke wilayah selatan di Haifa, Palestina, pada tahun 1922.
Di Palestina, Syeikh diterima dengan senang hati oleh masyarakat, dan ia menjadi Imam dan pengkhotbah di Masjid al-Istiqlal, di kota Haifa.
Dalam khotbahnya, Syeikh menyampaikan bahwa umat Islam harus menolak dan secara aktif menentang penjajah asing, seperti Prancis di Suriah dan Inggris di Palestina. Ia mengatakan, setiap Muslim yang mati melawan penjajah akan menjadi syuhada, tinggal bersama para nabi dan orang-orang kudus.
Selain perannya dalam mendorong pembelajaran agama dan kesadaran Muslim, Syeikh melakukan perjalanan di seluruh Palestina, mendesak masyarakat untuk mempersiapkan jihad di jalan Allah terhadap otoritas mandat Inggris, yang memungkinkan sejumlah besar imigran Yahudi menetap di Palestina dan melaksanakan Deklarasi Balfour.
Deklarasi Balfour pada 2 November 1917 merupakan surat dari Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour kepada Baron Rothschild (Walter Rothschild), seorang pemimpin komunitas Yahudi di Inggris, untuk pemindahan Federasi Zionis di Inggris dan Irlandia ke Palestina.
Sheikh sangat percaya dengan manfaat dari pemberdayaan Muslim. Pada tahun 1929, beredar kabar para imigran Yahudi berencana membakar Masjid al-Istiklal di Haifa. Beberapa pengikut Syeikh menyarankan mereka menghubungi pemerintah Inggris untuk menggagalkan rencana Yahudi. Namun, Syeikh dengan tegas menolak usulan tersebut. Ia mengatakan bahwa umat Islam harus mempertahankan masjid mereka dengan darah mereka sendiri.
“Masjid yang dilindungi oleh musuh tidak layak dipertahankan,” katanya.
Dia mendesak rakyat Palestina untuk menjual, bahkan termasuk perhiasan istri-istri mereka, guna membeli senjata untuk mempertahankan tanah, kehormatan, dan martabat mereka.
Suatu hari, saat sedang berkhotbah, ia menunjukkan pistol yang simpan di bawah jubahnya. Ia mengatakan kepada jamaahnya, “Kalian yang benar-benar percaya pada Allah dan hari kiamat harus memiliki satu seperti ini.”
Syeikh tidak suka dekorasi masjid yang berlebihan. Ia mengatakan, uang seharusnya dihabiskan untuk pengadaan senjata untuk melawan penjajah.
Syeikh tahu bahwa Zionis berencana mengambil alih Palestina, serta memusnahkan atau mengusir rakyatnya. Perkiraan Syeikh akhirnya benar adanya.
Al-Qassam adalah pendorong hebat, dengan mempersiapkan perjuangan panjang melawan otoritas Inggris di Palestina. Untuk ini ia menyadari, sumber daya yang dibutuhkan sangat besar, termasuk persatuan nasional, dan ketahanan.
“Jika kita tidak membantu diri kita sendiri, tidak ada yang akan membantu Anda,” begitu dia selalu memperingatkan para pejuang perlawanan.
Pada tahun 1934 sampai 1935, operasi perlawanan yang dilakukan mulai membuat satu langkah sukses setelah operasi yang dipimpin Syeikh menyebar di Tulkarem, Nablus, dan Jenin. Para Mujahidin pun memburu sejumlah perwira Inggris, menyerang garnisun tentara Inggris, dan menyikirkan para kolaborator yang membocorkan perlawanan mereka.
Kematian Al-Qassam
Keberhasilan perlawanan menghasilkan banyak antusiasme di antara masyarakat, mendorong banyak orang muda untuk bergabung dengan barisan Mujahidin. Pemerintah Inggris kemudian bereaksi dengan meluncurkan kampanye perburuan terhadapnya.
Dalam persembunyian, Syeikh secara resmi menyatakan revolusi di hutan kota Ya’abud dekat Jenin. Namun pasukan Inggris kemudian dapat menjejaki Syeikh dan rekan-rekan pejuangnya. Kekuatan besar pun dikirim dalam upaya mendapatkan dia, hidup atau mati.
Tetapi Sheikh menolak untuk menyerah dan terus melakukan pertempuran sengit yang menewaskan tentara Inggris.
Pada tanggal 20 November 1935, tubuh Sheikh dan beberapa sahabat pejuangnya ditemukan di medan perang.
Kemartirannya mengejutkan Palestina. Puluhan ribu orang ambil bagian dalam prosesi pemakamannya di Haifa.*/Khalid Amayreh, jurnalis. Tulisan ini dimuat di OnIslam