BAGAIMANA pun Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam itu sangat pengasih dan penyayang kepada orang-orang Islam. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dengan sanad dari Abu Hurairah ra, dari Nabi, bahwa beliau bersabda, “Tak ada seorang mukmin pun kecuali aku adalah manusia yang paling pantas (bertanggung-jawab) di dunia dan akhirat. Hendaklah kalian membaca, ‘Nabi itu wakil bagi orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri’. Maka, orang beriman mana pun (jika wafat), dan meninggalkan harta, maka yang berhak hendaklah mewarisinya, dan jika meninggalkan utang, atau suatu pekerjaan, maka datanglah kepadaku, aku yang paling pantas menjadi wakilnya.”
Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad dari Jabir bin Abdullah ra, Nabi telah bersabda,
“Bagi setiap orang yang beriman, saya lebih pantas mewakili daripada dirinya sendiri. Maka lelaki mana pun yang meninggal dunia, dan meninggalkan utang, maka kepadakulah (untuk menagihnya), dan jika meninggalkan harta, maka bagi pewarisnya.”
Dari uraian itu kita bisa mengetahui bahwa Rasulullah, setelah Allah Ta’ala memberinya kemenangan kepada beliau dan kaum Muslimin, beliau menanggung banyak utang dari orang yang meninggal dunia, dan ia masih punya tanggung jawab yang belum dilunasi. Benar firman Allah,
“Nabi itu wakil bagi orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri.”
Allah pun memberikan penjelasan dalam firman yang lain,
“Telah datang kepada kalian seorang Rasul dari diri kalian, orangyang mulia, yang begitu bersemangat meringankan beban kalian, dan kepada orang-orang yang beriman, ia sangat baik serta pemurah.”
Bagaimana pun utang adalah masalah pelik, dan tidak boleh dianggap hal ringan, apalagi meremehkannya. Seorang Muslim harus memberikan perhatian serius terhadap masalah utang ini, karena dalam hadist sampai dinyatakan,
“Bagi seorang syahid, setiap dosanya diampuni, kecuali utang.”
Semua itu tak lain untuk menjaga harta benda dan hak kepemilikannya, sehingga aman. Dan manakala seorang Muslim keluar dari dunia (meninggal dunia) ia sudah bebas dari utang, bersih, suci. Tak ada seorang pun yang masih menuntut haknya.
Islam telah memberikan batasan yang tegas, jelas dan kuat, dalam masalah utang ini. Namun di sisi lain, Islam juga membuka pintu kasih sayang, di mana Rasulullah telah memberikan contoh dalam pelunasan utang bagi seseorang yang meninggal dunia, dan punya utang.
Di sisi lain, Islam telah membuka kelonggaran dan kemurahan bagi orang yang berutang. Yaitu, jika ia dalam kesempitan, hendaklah yang punya hak mau memberi kelonggaran, atau mengikhlaskannya jika yang berutang sudah tak punya apa-apa. Jika ia tak menagihnya lagi, karena menganggap utang menjadi hibah, maka baginya pahala yang sangat tinggi dan kemuliaan yang tiada tara di sisi Allah. Seperti tersirat dalam ucapan beliau kepada Ali ketika dia menyatakan sebagai penanggung-jawab atas utang orang lain. Kata beliau,
“Semoga Allah memberi pahala kepadamu, dan membukakan apa yang engkau gadaikan.”
Inilah yang menunjukkan, siapa yang mengasihi saudaranya sesama Muslim, ia akan mendapatkan pahala besar dari Allah. Satu hadist diriwayatkan Aisyah ra mengatakan, “Nabi mendengarkan suara seseorang yang (berselisih) di depan pintu. Suara mereka meninggi. Salah seorang mengatakan tuduhan kepada lainnya. Namun yang lain menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak melakukan.’ Rasulullah keluar untuk menemui keduanya. Ucap beliau, “Siapa tadi yang bersumpah dengan nama Allah bahwa ia tidak melakukan sesuatu?” Kata seseorang, “Saya, wahai Rasulullah.” Sabda beliau, “Dia itulah yang kucintai.” */Dr. Ahmad Umar Hasyim, dari bukunya Menjadi Muslim Kaffah.