Oleh: Musthafa Luthfi
TUNTUTAN perubahan di Libya, salah satu negeri kaya minyak Arab di wilayah Afrika Utara tidak mudah atau tidak semudah yang dibayangkan sebelumnya, bahkan indikasi di lapangan mengarah kepada revolusi berdarah. Hingga sekitar dua pekan sudah sejak unjuk rasa anti rejim meletus pada 17 Februari lalu, tanda-tanda penguasa Libya, Kolonel Muammar Qadhafi bakal mundur masih jauh.
Unjuk rasa di negeri yang telah dipimpin Qadhafi selama 42 tahun ini memang sejak awal terkesan berdarah, tidak seperti dua negara jirannya, Tunisia di sebelah barat dan Mesir di sebelah timur yang berjalan damai (baca: dengan korban jiwa relatif sedikit) yang sukses menjatuhkan rejim. Jumlah korban yang tewas di Libya masih simpang siur, oposisi mengklaim 4 ribu orang tewas, pihak independen menyebutkan 1-2 ribu tewas dan pemerintah mengklaim 300-an tewas termasuk 111 orang tentara.
Terlepas dari mana angka yang benar, yang jelas protes anti rejim di negeri leluhur pahlawan terkenal Omar Mukhtar itu memang membukukan korban jiwa baik yang tewas maupun luka-luka sangat mengerikan dibandingkan dengan negara-negara Arab lain yang juga sedang bergolak pasca kejatuhan rejim Zeinal Abidin Ben Ali (Tunisia) dan Hosni Mubarak (Mesir), seperti Aljazair, Bahrain, Oman, Yordania dan Yaman.
Melihat jumlah korban yang membuat bulu kuduk tegak berdiri itu, sang penguasa yang dikenal dengan sebutan malik al-muluk (raja diraja karena melebihi kekuasaan raja), nampaknya menutup mata dan kuping terhadap tuntutan perubahan dari mayoritas rakyat. Kenyataan ini membuat penulis teringat salah satu bait syair Imam Al-Shafi`i yang maksudnya “orang yang paling bodoh adalah orang yang bodoh namun tidak mengetahui dirinya bodoh”.
Sangat ironis bila tidak mengerti tuntutan perubahan dari rakyat yang tidak ragu-ragu untuk mempersembahkan darahnya demi mencapai tujuan menjatuhkan rejim diktator. Lebih ironis lagi, bila rakyat yang menginginkan perubahan disebut sebagai tikus atau anjing sesat, dan berbagai sebutan penghinaan lainnya bahkan menyatakan tidak berhak hidup dan mengancamnya dengan perang saudara.
“Sebelumnya Qadhafi pernah memutuskan hubungan dengan Swiss dan memboikotnya secara ekonomis gara-gara pemerintah Swiss menahan salah seorang anaknya yang melanggar perundangan-undangan di negeri itu. Apakah penahanan anaknya yang hanya beberapa hari lebih membekas dalam hatinya ketimbang ribuan rakyat yang menjadi korban,” komentar Jamil Salhout, seorang analis Arab.
Berdasarkan laporan terakhir para saksi mata di lapangan, hampir semua wilayah telah dikuasai para pemrotes anti rejim. Sedangkan rejim dan para pengikutnya yang masih setia hanya menguasai paling tidak tiga distrik termasuk diantaranya sebagian dari ibu kota Tripoli ditambah lagi makin banyak petinggi militer dan sipil yang mengundurkan diri dan mendukung rakyat yang menuntut perubahan.
Di lain pihak, legitimasi rejim di luar negeri semakin berkurang termasuk dari sekutu-sekutu dekatnya di Eropa yang selama ini selalu bersikap terhadap para sekutu mereka di dunia ketiga ibarat kata pepatah “habis manis sepah dibuang” alias habis kepentingan, sekutu pun ditendang. Berbagai perkembangan tidak menguntungkan itu seharusnya menjadi salah satu pertimbangan rejim untuk menyerahkan kekuasaan bukan bersikeras bertahan yang dapat mengarah kepada pertumpahan darah lebih besar.
Sebenarnya, bukan saja jumlah korban di negeri yang luasnya sekitar 1,7 juta km2 dengan penduduk hanya 6,5 juta jiwa itu yang menjadi kekhawatiran besar, sebagai harga mahal yang harus dibayar untuk mewujudkan perubahan status quo. Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah intervensi dunia Barat (AS dan sekutu-sekutunya di Eropa) untuk secara langsung menggulingkan rejim dengan dalih menyelamatkan warga sipil dari pembantaian pendukung Qadhafi.
Indikasi ke arah itu mulai mencuat sejak resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB, Ahad (27/2) lalu, yang membuka lebar intervensi negara-negara besar di Libya termasuk lewat kekuatan militer guna menjatuhkan rejim yang selama ini sejatinya sekutu Barat terutama sejak blok timur ambruk. Paling tidak dua negara yakni AS dan Inggris demikian bersemangat melakukan penyelesaian militer, yang kebetulan kedua negara ini juga motor invasi di Iraq pada April 2003.
Resolusi bernomor 1970/2011 itu berisi sanksi berupa embargo perdagangan senjata dengan Libya, pembekuan aset kekayaan Kaddafi yang ditaksir 30 milyar dolar, larangan bepergian baginya, keluarga dan sejumlah kroninya. PBB juga mengutip Mahkamah Kriminal Internasional untuk sanksi tersebut. Dengan menggunakan pasal 7 Piagam PBB (sanksi hukum terberat), membuka pintu bagi penyelesaian militer.
Pakar militer Arab, Dr. Mohammad Qadri Saeed seperti dikutip harian al-Sharq al-Awsat, Selasa (1/3) menilai bahwa resolusi PBB nomor 1970 itu tak lebih sebagai langkah awal menuju intervensi militer di Libya. “Apabila situasi di Libya masih diwarnai pembunuhan dan penindasan maka resolusi berikutnya (terkait intervensi militer) sangat beralasan apalagi sebelumnya ada seruan internasional untuk segera campur tangan melindungi warga sipil,” tegasnya.
AS, Senin (28/2) telah menginstrusikan pasukannya di Eropa untuk mendekat ke Libya guna mengantisipasi segala kemungkinan aksi berikutnya menghadapi perkembangan di negeri itu. Menurut data, negeri Paman Sam itu siap menyebarkan 40 kapal perangnya, tiga kapal induk yang membawa sekitar 140 pesawat tempur dan sejumlah kapal selam apabila intervensi militer (invasi) menjadi opsi mengatasi gejolak revolusi di negeri Qadhafi tersebut.
Menhan AS, Robert Gates yang didampingi oleh Kastaf Gabungan Angkatan Bersenjata, Laksama Michael Mullen, Selasa (1/3) menegaskan kembali kesediaan negaranya untuk melakukan intervensi (termasuk militer) bila dibutuhkan guna memaksa rejim Qadhafi melepas kekuasaan. Bahkan sejumlah kapal perang negeri itu telah mulai bergerak menuju pantai Libya.
Inggris juga tidak ketinggalan menyerukan segera diberlakukannya zona larangan terbang bagi pesawat tempur rejim Libya, yang biasanya disusul dengan invasi militer. DK PBB yang dikuasai negara-negara besar, diprediksikan memuluskan rencana kedua negara anggota tetapnya itu yang berarti sekanrio Iraq siap diterapkan di Libya sehingga negeri ini akan semakin berdarah-darah dan akan luluh lantah.
Bila legitimasi internasional lewat payung PBB tidak mulus, kedua negara tersebut seperti kebiasaan selama ini, tidak akan sungkan untuk melakukan aksi sendiri-sendiri dengan berbagai dalih. Karena tujuannya satu, segera menjatuhkan rejim yang sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi dan selanjutnya berusaha mengukuhkan rejim baru yang pro kepentingan mereka atau paling tidak rejim yang dapat diajak kompromi.
Mayoritas menolak
Sebenarnya sejumlah pakar militer melihat bahwa zona larangan terbang pesawat tempur Libya yang direncanakan diberlakukan di kantong-kantong yang dikuasai oleh penentang Qadhafi tidak efektif sebab pasukan Qadhafi dapat menggunakan cara lain seperti serangan lewat darat menggunakan tank dan senjata berat lainnya. Usul larangan terbang ini disampaikan Deputi Wakil Tetap (Watap) Libya di PBB, Ibrahim al-Dabbashi guna mengantisipasi serangan udara atas warga yang anti rejim.
Sebagian pakar militer memprediksikan kemungkinan intervensi militer terbatas yang bertujuan terutama untuk melumpuhkan radar dan pertahanan udara Libya agar zona larangan terbang dapat berjalan efektif. Terlepas dari berbagai opsi intervensi yang sekarang sedang digodok oleh negara-negara Barat yang paling berkepentingan di salah satu negeri terluas di Afrika itu, yang jelas mayoritas rakyat Libya menolak intervensi (baca: invasi) asing.
Berbagai pendapat yang dihimpun penulis dari kalangan oposan dan warga negeri itu baik yang tinggal di dalam Libya maupun luar negeri menolak tegas intervensi langsung berupa operasi militer negara-negara Barat dan NATO dalam bentuk apapun. Mereka sepertinya serentak menyuarakan penolakan sebab keinginan menjatuhkan rejim bukan menjadi alasan untuk mengundang pasukan asing.
“Saya ingin menegaskan, rencana intervensi militer Barat di Libya bukan keinginan seluruh rakyat Libya, namun skenario yang diatur dari luar yang dinilai sebagai opsi menyelamatkan warga sipil dari pembunuhan rejim. Bila hal ini terjadi maka rejim yang bertanggungjawab memancing intervensi,” kata salah seorang aktivis Libya di Inggris. Banyak alasan mengapa mereka menolaknya diantaranya adalah perang saudara dipastikan tak terhindarkan sebab para pendukung Qadhafi akan menyebut intervensi tersebut sebagai penjajahan dengan dalih membantu para penentang rejim.
Sebenarnya para penentang rejim, secara militer pun siap menghadapi segala kemungkinan seandainya Qadhafi nekat melakukan petualangan militer guna menguasai kembali wilayah-wilayah yang telah jatuh ke tangan penentangnya. Kota kedua terbesar, Benghazi misalnya telah membentuk Dewan Militer dan sebelumnya pemerintahan sementara, begitu pula dengan wilayah lainnya sehingga intervensi asing sangat tidak dibutuhkan.
Rejim yang sudah berada di ujung tanduk ibaratnya mendapat suntikan semangat untuk melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan melawan intervensi tersebut termasuk tentunya melawan para penentang rejim yang dianggap sebagai antek asing. Para tokoh yang menentang Qadhafi tidak ingin tragedi berdarah ini terjadi yang dapat mengarah kepada kondisi seperti di Iraq atau lebih parah lagi seperti di Somalia mengingat wilayah negeri itu yang sangat luas dengan penduduk yang sangat sedikit.
Saleh Al-Majbari, salah seorang pejabat kedutaan besar Libya di AS berpangkat Counsellor yang pekan lama ini mengundurkan diri dan bergabung dengan penentang Qadhafi, diantaranya yang paling khawatir terhadap intervensi militer Barat tersebut. “Intervensi sama saja sebagai skoci penyelamat rejim dan situasi dapat mengarah seperti di Somalia,” paparnya seperti dikutip aljazeera.net, Rabu (2/3).
Bukan hanya itu, intervensi militer tersebut juga membahayakan keamanan regional Arab terutama negara-negara sekitar yang sekarang ibaratnya seperti seorang ibu lemah yang masih dalam masa persalinan pasca perubahan atau yang masih dalam tuntutan perubahan.
“Intervensi asing adalah bencana dan ancaman bagi keamanan Mesir sebab wilayah Libya sangat luas dengan penduduk sangat sedikit sehingga mudah menempatkan pasukan dan basis militer bagi siapapun,” ujar Mayjen Jamal Mazhlum, analis militer Mesir seperti dikutip harian al-Sharq al-Awsath, Selasa (1/3).
Tapi bila Barat tetap memaksakan untuk menjaga kepentingannya di kawasan Arab yang dalam kondisi lemah tidak bisa menolak, seandainya menolak juga sebatas penolakan tak bergigi seperti penolakan yang disampaikan Liga Arab, Selasa (1/3). Menyangkut kemungkinan tersebut, Mazhlum mengatakan kemungkinan pengepungan terbatas di kota Tripoli dari berbagai penujuru lewat laut dan udara yang diperkirakan dapat memaksa rejim menyerah.
Minyak
Tapi yang masih mencurigakan dari skenario Barat tersebut adalah apakah intervensi tersebut hanya sebatas menjatuhkan rejim setelah itu selesai dan melimpahkan pengaturan negara kepada para pemimpin revolusi? Melihat gelagat intervensi saat ini, hampir tidak mungkin hanya sebatas menjatuhkan rejim tapi ada kepentingan lain diantaranya adalah menguasai sumber minyak negeri itu.
Saat ini, Libya menghasilkan minyak sekitar 1,8 juta barrel per hari belum lagi hasil gas yang dengan penduduk yang hanya 6,5 juta masuk daftar negara-negara dengan penghasilan menengah ke atas. Diperkirakan pendapatan nasional kotornya (GDP) yang hampir seluruhnya dari sektor migas tidak kurang dari 98 milyar dolar per tahun sehingga pendapatan perkepala (income per capita) bisa mencapai 15 ribu dolar per tahun.
Sebagian pengamat menyebutkan kemungkinan tujuan intervensi tersebut yang ujung-ujungnya minyak mengingat sampai saat ini diketahui bahwa Libya memiliki cadangan minyak terbesar di Afrika yang menggiurkan. Diantara perusahan besar Barat yang beroperasi di negeri itu adalah British Petroleum (BP) dari Inggris, Shell (Belanda), Eni (Italia) dan sejumlah perusahan dari AS dan negara lainnya.
Intervensi ini juga dapat menjadi sarana untuk menancapkan kuku pengaruh Barat pasca rejim lama dengan mengupayakan pembentukan pemerintahan yang pro Barat. Juga dapat dengan leluasa menghalangi kemungkinan berperannya para tokoh gerakan-gerakan Islam negeri itu dalam mengatur negara setelah masa perubahan mendatang.
Paling tidak masih banyak skenario yang tersembunyi yang telah digodok bila intervensi akhirnya terjadi. Karena itu banyak pula yang berharap terutama rakyat Libya sendiri dan bangsa Arab pada umunnya agar rejim segera mundur demi menghindar dari skenario yang dapat mengakibatkan bencana berkepanjangan menimpa rakyat Libya.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa Barat selalu diuntungkan lebih dahulu dalam setiap perubahan di umumnya negara-negara yang disebut dunia ketiga. Contoh kecil saja, aset penguasa misalnya dibekukan dan dimanfaatkan oleh negara yang membekukannya paling tidak bunganya, seperti aset Shah Iran pada 1979 diperkirakan 25 milyar dolar di AS yang sampai saat ini tidak bisa dimanfaatkan rakyat Iran. Aset-aset dari negara-negara yang mengalami perubahan saat ini kemungkinan besar mengalami nasib serupa. *
Penulis adalah pengamat dunia Islam, tinggal di Yaman