Oleh: Musthafa Luthfi
KOMANDAN lapangan milisi pemberontak Al-Hautsi (media asing menyebut Al-Houthi) kelompok Syiah minoritas yang pro Iran di Yaman, Abdul Malik al-Houthi dengan suara lantang mengumumkan kemenangannya pada Selasa (23/9/2014) di ibu kota Sana`a setelah pasukannya berhasil menguasai hampir seluruh ibu kota negara tersebut. Ia mengklaim bahwa kemenangannya sebagai “kemenangan” bagi seluruh rakyat Yaman.
Di hadapan para pendukungnya tokoh yang disejajarkan dengan pemimpin milisi Syiah Hizbullah Libanon, Hassan Nasrullah itu menegaskan “kami ucapkan selamat kepada rakyat Yaman atas kemenangan revolusinya yang akan menjadi fondasi bagi fase baru yang didasari kerjasama dan kemitraan semua elemen bangsa.” Ia menilai kesepakatan yang dicapai dengan pemerintah sebagai format politik baru.
Kesepakatan yang dicapai dengan pemerintah yang telah membuka peluang seluas-luasnya bagi al-Houthi untuk memperkuat pengaruh dan mengatur masa depan negeri Saba itu disaksikan oleh Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Yaman, Jamal Benomar. Al- Hautsi tidak lupa menyampaikan penghargaan kepada tentara Yaman yang dianggapnya mendukung revolusi.
Pendudukan ibu kota Sana`a yang demikian mengejutkan dan tak terduga itu memang tanpa menghadapi perlawanan dari angkatan bersenjata pemerintah sehingga milisi al-Hautsi dengan mudah menguasai ibu kota negara pada Ahad (21/9/2014). Tidak adanya perlawanan tentara dianggap al- Hautsi sebagai persetujuan tentara atas aksi pendudukan sehingga memaksa pemerintahan transisi pimpinan Presiden Abdo Rabbu Mansour Hadi menandatangani kesepakatan sesuai kepentingan kelompok Syiah itu.
Kelompok milisi Syiah Yaman yang selama ini menguasai wilayah utara yang berbatasan dengan Arab Saudi dikenal sebagai milisi militan terlatih yang memiliki pengalaman tempur sejak 2004 melawan pasukan pemerintah di era mantan Presiden Ali Abdullah Saleh. Fase baru Arab Spring (Musim Semi Arab) benar-benar berhasil dimanfaatkan al- Hautsi untuk menyusun kekuatan guna memperkuat pengaruh dan kekuasaan di negeri Ratu Bilquis itu.
Bahkan kelompok yang menggunakan nama baru “Ansharullah” (Pembela agama Allah) pasca revolusi musim semi Arab itu berhasil rujuk dengan musuh lamanya mantan Presiden Saleh yang masih puluhan ribu pasukan dari tentara Yaman yang masih loyal. Meskipun secara struktural seluruh pasukan Yaman berada dibawah Menteri Pertahanan namun ditengarai separo dari mereka masih loyal terhadap Saleh.
Karena itu banyak pihak yang mencurigai bahwa “kemenangan” mudah Ansharullah dalam menguasai ibu kota Sana`a tanpa perlawanan tentara pemerintah sebagai bukti nyata adanya konspirasi antara al-Hautsi dengan mantan Presiden lewat para petinggi militer yang masih loyal untuk melumpuhkan pemerintahan transisi sekaligus revolusi “Arab Spring” di Yaman sehingga mengalami nasib yang sama seperti Mesir.
Mereka (Al-Hautsi dan Saleh) meskipun sebenanrnya berbeda platform politik dan idiologi namun memiliki kepentingan yang sama yakni menghalangi partai Al-Islah (cabang Al Ikhwan al Muslimun di Yaman) berkuasa di negeri itu. Hal itu dapat dilihat dari sejak pendudukan Provinsi Amran yang merupakan pembuka jalan menuju ibu kota Sana`a dimana sebagian besar target yang diserang adalah milisi Al-Islah dan sejumlah petinggi militer yang pro partai ini.
Sebagaimana diketahui Al-Islah yang sebelumnya berkoalisi dengan mantan Presiden Saleh akhirnya pecah kongsi saat Al-Islah mendukung revolusi damai rakyat yang merupakan bagian dari revolusi musim semi Arab untuk menuntut perubahan. Revolusi damai itu akhirnya memaksa Saleh turun dari singgasana kekuasaan setelah lebih dari tiga dekade berkuasa di negeri itu.
Meskipun Saleh akhirnya bersedia menandatangani pemindahan kekuasaan ke pemerintahan transisi yang disponsori oleh PBB dan enam negara Teluk kaya minyak, namun di lapangan kelihatannya masih belum menerima perubahan status quo itu yang dapat mengorbitkan Al-Islah. Di lain pihak, al-Hautsi yang mendukung revolusi juga tidak ingin terpinggirkan dari kekuasaan di era baru sehingga terus melakukan eskalasi yang puncaknya mengusai ibu kota dan berhasil melumpuhkan Al-Islah.
Al-Islah yang dipimpin oleh keluarga Al-Ahmar juga memiliki pengaruh besar dan milisi cukup kuat meskipun tidak terlatih seperti al-Houthi serta sebagian tentara Yaman yang masih loyal kepadanya, dipastikan tidak tinggal diam dengan kekalahan telak dan mengejutkan tersebut. Ibu kota Sana`a dan daerah lainnya dipastikan akan menyusun kekuatan untuk melakukan serangan balik.
Kelompok Syiah al-Hautsi untuk pertama kali melakukan shalat Jumat bersama para pendukungnya pada 26/9/2014 sebagai salah satu bentuk peringatan atas kemenangannya di Sana`a. Walaupun demikian, banyak pengamat setempat memprediksikan bahwa mempertahankan kemenangan tidak semudah menduduki ibu kota sehingga mereka khawatir negeri itu akan terlibat perang sektarian meluas.
Tidak menentu
Banyak pengamat yang memprediksikan berbagai skenario dan kemungkinan yang akan terjadi di negeri Saba itu dalam beberapa bulan ke depan pasca pendudukan al-Hautsi ibu kota negara dengan “dukungan” tersirat militer dan keamanaan. Intinya skenario itu mengarah kepada situasi yang tidak menentu di negeri ujung tenggara Jazirah Arab tersebut.*/bersambung ..Syiah dan skenario Perang saudara di Yaman
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman