Oleh: Musthafa Luthfi
SEJAK terjadi insiden serangan Suriah atas sebuah desa di tapal batas dengan Turki pada 3 Oktober lalu yang dilanjutkan dengan serangan timbal balik di perbatasan kedua negara setelahnya, sempat mengundang kekhawatiran kemungkinan pecah perang terbuka antara dua negara tetangga tersebut, masih menjadi buah bibir warga Turki baik di tingkat resmi, media maupun warga kebanyakan.
Sebagaimana diketahui sejumlah roket pasukan rezim Bashar Assad pada awal bulan ini menghantam kota kecil Akcakale, Turki, menyebabkan sedikitnya lima warga Turki tewas dan beberapa orang dilaporkan luka. Suriah dilaporkan melakukan serangan dari lota perbatasan Tall al-Abyad dan serangan balasan Turki dilaporkan menewaskan beberapa tentara rezim Suriah.
Meskipun insiden saling serang di perbatasan mulai surut, namun kemungkinan pecah lagi insiden serupa sehingga berpeluang menyeret kedua negara ke perangkap perang terbuka tetap menjadi topik pembicaraan hangat di negeri bekas pusat Khilafah Othmaniyah itu. Apalagi pada Rabu (17/10/2012), pasukan Turki kembali menyerang daerah perbatasn Suriah sebagai balasan atas jatuhnya mortar Suriah di salah satu desa Turki.
Menurut kantor berita Turki, Anatolia, artileri Turki menyerang kembali di wilayah Suriah setelah sebuah bom mortir Suriah mendarat di tepi Sungai Orontes, yang mengalir melalui kedua negara, di provinsi Hatay Turki yang untungnya, tidak ada yang tewas atau terluka oleh bom mortir itu. Pasukan Turki juga kerap melakukan operasi mendadak guna mencegah pengejaran tentara Suriah pada para pengungsi ke dalam wilayah Turki.
Tentunya yang paling merasakan langsung dampak krisis Suriah yang telah berlangsung sekitar 20 bulan itu adalah PM Recep Tayyip Erdogan, meskipun negara-negara sekitar juga merasakan dampaknya setelah adanya peringatan dari Utusan Khusus Sekjen PBB, Lakhdar Brahimi bahwa krisis negeri Syam itu tidak hanya berlangsung di dalam akan tetapi akan menjalar keluar.
Ibaratnya, api krisis di negeri tetangganya tanpa diduga sudah menyambar langsung baju Bung Erdogan dibandingkan negara tetangga lainnya. Bila ia tidak lihai menghadapi dampaknya bisa jadi mukjizat ekonomi yang dicapai Turki (salah satu anggota G-20 negara-negara ekonomi terbesar di dunia) selama 10 tahun lebih masa pemerintahannya, terancam erosi.
Api krisis tersebut telah menyeret PM Erdogan Turki dalam masalah sangat serius seperti meningkatnya serangan Partai Buruh Kurdi (PKK) di wilayah tenggara, perbatasan dengan Suriah terus meradang dengan tembak menembak timbal balik, lalu oposisi Turki, yang dipimpin oleh Partai Rakyat kembali ke permukaan dengan kuat setelah menemukan dalam krisis Suriah “amunisi”yang telah hilang selama bertahun-tahun untuk secara efektif digoreskan ke wajah Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP).
Presiden Bashar Assad yang sebelumnya sebagai sahabat karib telah berubah menjadi musuh bebuyutan Erdogan, setidaknya hingga saat ini sukses memprovokasi bekas sahabatnya ke perangkap reaksi yang memang diinginkan rezim Assad. Diantara reaksi yang menonjol selain balasan serangan ke perbatasan Suriah, adalah perintah paksa mendaratnya pesawat sipil Suriah di Ankara yang datang dari Rusia belum lama ini dengan alasan membawa bahan-bahan militer terlarang.
Nampaknya pemaksaan tersebut bukanlah semata-mata karena kecurigaan bahwa pesawat penumpang sipil Suriah itu membawa bahan terlarang, namun sebagai bentuk pembalasan atas tertembak jatuhnya pesawat pengintai Turki pada bulan Mei lalu yang menewaskan pilotnya. Pasalnya bila Rusia memasukkan senjata ke Suriah, tentulah melalui jalur udara langsung kedua negara tanpa melalui wilayah udara Turki.
Intinya provokasi tersebut telah mengenyampingkan sikap pemerintahan Erdogan selama ini yang dikenal bijaksana. Banyak pihak di dalam negeri yang menilai kebijakan Erdogan keliru ketika terlalu merasuk ke dalam debu Suriah yang bergerak kesana kemari sambil membawa bara api yang siap menyambar negara-negara jiran sementara banyak negara sahabat termasuk sekutunya dalam NATO hingga saat ini hanya berpangku tangan.
Krisis ganda
Setelah insiden pemaksaan pesawat sipil Suriah mendarat di Ankara, pemerintah Turki saat ini menghadapi krisis ganda karena bukan hanya menghadapi krisis hubungan dengan Suriah saja akan tetapi juga dengan Rusia. Moskow yang marah dengan reaksi Ankara tersebut minta penjelasan segera dan memuaskan terhadap pemaksaan mendarat pesawat sipil tersebut yang dinilai membahayakan jiwa 17 orang penumpang warga Rusia di dalamnya.
Sikap marah Rusia itu juga dapat dilihat dari pembatalan kunjungan Presiden Vladimir Putin yang sedianya dijadwalkan berlangsung pada bulan Oktober ini. Sebagaimana diketahui antara Turki dan Rusia telah ditandatangani persetujuan perdagangan bilateral senilai milyaran dolar sekitar tiga pekan lalu.
Diperkirakan krisis hubungan kedua negara akibat masalah Suriah bisa jadi menjadi kendala pelaksanaan persetujuan dagang tersebut. Namun nampaknya bagi Turki sendiri yang sudah menempuh separo perjalanan mendukung oposisi Suriah untuk menjatuhkan rezim Assad sudah terlanjur “basah” sehingga besar kemungkinan akan melanjutkan aliansi dengan negara-negara Arab dan Barat mendukung oposisi menghadapi rezim Assad.
Sejumlah analis Arab menilai bahwa pemerintahan Erdogan terlanjur berdiri di atas drum-drum berisi bahan peledak sehingga sulit untuk mundur setelah lebih separo perjalanan ditempuh mendukung oposisi anti rezim. Sementara negara-negara sekutunya cukup memantau dari jauh dengan membiarkan Turki yang terjun langsung di lapangan.
Erdogan sepertinya berjuang sendirian, tidak terdengar lagi konferensi sahabat-sahabat Suriah dan AS pun masih enggan mendukung kebijakan zona larangan terbang bagi pesawat tempur rezim Assad yang semakin ganas menyerang target-target sipil setiap hari. Selain itu, AS juga dilaporkan masih melarang pengiriman roket canggih anti pesawat tempur untuk melumpuhkan pesawat-pesawat rezim.
Sikap AS dan Barat yang masih “plin-plan” itu barangkali disebabkan oleh laporan semakin meningkatnya pengiriman relawan-relawan yang dikategorikan sebagai “militan” Islam yang sejak krisis meletus sudah berada di garis depan menghadapi pasukan rezim. Mereka dilaporkan cukup handal menghadapi pasukan Assad di medan pertempuran.
Adapun oposisi dengan sekian banyak faksi baik di dalam maupun luar negeri masih sangat sulit disatukan dibawah satu komando. “AS kelihatannya lebih khawatir terhadap para petempur kelompok-kelompok Islam itu dibandingkan rezim setelah kerepotan menghadapinya di Afghanistan, Iraq dan Somalia,“ papar seorang analis Arab.
Ketegangan di perbatasan dan “pembajakan” atas pesawat sipil Suriah lebih menguntungkan rezim Assad ketimbang Turki dan bahkan rezim Suriah akan sangat diuntungkan bila meletus perang terbuka kedua negara. Perang akan menimbulkan bencana bagi perekonomian Turki dan akan menghancurkan prestasi yang telah dicapai dan menghapus konsep “zero problem” dengan negara-negara jiran yang diusung Menlu Ahmet Davutoglu.
Barangkali kekeliruan besar dari Erdogan adalah perkiraannya yang tidak tepat bahwa perang di Suriah akan berakhir dalam beberapa minggu saja dan dapat menumbangkan rezim. Kekeliruan lainnya adalah keyakinan dengan adanya aliansi Arab-Barat yang dapat mempercepat kejatuhan rezim Assad sebagaimana halnya di Libya.
Giliran Libanon
Assad yang “terluka” dan terkepung oleh revolusi bersenjata di dalam negeri, kelihatannya tidak akan tinggal diam dan tidak menginginkan negeri-negeri jirannya tenang bertepuk tangan atas kejatuhannya. Setelah “mengganggu” jiran Turki di utara, sekarang giliran Libanon di sebelah barat.
Sebuah ledakan bom mobil di Distrik Ashrafiyah, Beirut, Jum`at (19/10) menewaskan 8 orang termasuk Kepala Intelijen Tentara Keamanan Libanon, Jenderal Wissam al-Hassan yang disebut memiliki relasi dengan kamp anti-Suriah. Dilaporkan 86 orang lainnya luka-luka dan Presiden Assad pun dituding berada di balik serangan itu.
Sejumlah tokoh Libanon menuding aksi peledakan tersebut didalangi oleh rezim Assad yang masih meninggalkan pengaruh besar di Libanon. Pemimpin kelompok Sunni Saad Hariri (putra mendiang PM Rafiq Hariri) dan sekte Druze, Walid Jumblatt langsung menuding rezim Assad yang mendalangi serangan bom tersebut.
Apabila pejabat sekaliber Jenderal Wissam yang dianggap terkuat di jajaran Badan Keamanan Libanon demikian mudah “dihabisi” hanya sehari sejak kembali ke Beirut dari tugas luar, maka para pelaku ledakan itu, juga akan demikian mudah mencapai sasaran lainnya seperti sejumlah tokoh politik dan pejabat tinggi yang anti rezim Assad.
Intinya pesan yang disampaikan rezim Suriah kepada Libanon dan negara-negara jiran lainnya bahwa perang di Suriah akan diekspor keluar. Lewat ledakan tersebut, Suriah seolah-olah menyampaikan pesan juga bahwa pihaknya mampu melakukannya kapan saja diinginkannya sehingga menimbulkan kekhawatiran para tokoh politik dan tokoh oposisi Suriah yang tinggal di Libanon.
Ibaratnya lagi bahwa api perang saudara di Suriah sudah mulai menyambar sebagian dari “baju” para pemimpin Libanon dan tidak menutup kemungkinan runtuhnya pengamanan dapat mengarah kepada perang “pembunuhan” dan kontra pembunuhan yang dapat menjurus pula ke perang saudara sebagaimana pengalaman pada perang saudara menghancurkan yang meletus tahun 1975 dan berlangsung sekitar 15 tahun.
Sebagaimana dimaklumi semua, Libanon selama ini sering sebagai arena proxy war (perang atas nama negara lain) khususnya antara Israel dan Suriah. Dengan terjadinya ledakan tersebut, nasib negeri yang pernah menjadi sekutu kuat Suriah itu terbuka dengan segala kemungkinan terutama bila krisis di negeri jirannya berlarut-larut.*/Sana`a, 4 Zulhijjah 1433 H
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman