Oleh: Musthafa Luthfi
Sebenarnya tidak ada yang baru dari dokumen Wikileaks (WL) yang dibocorkan baru-baru ini, tentang dahsyatnya kehancuran dan korban jiwa yang diakibatkan pendudukan Iraq oleh tentara sekutu pimpinan AS. Tidak ada juga yang baru menyangkut satuan-satuan pembunuh dan penyiksaan tahanan tak berdosa serta penjarahan uang negara pasca pendudukan di negeri babilonia itu.
Semua yang disampaikan oleh dokumen tersebut sudah menjadi rahasia umum bahkan masih banyak aksi-aksi biadab dan korban jiwa yang belum terungkap. Itulah konsekwensi dari sebuah peperangan yang dipaksakan meskipun ditentang oleh hampir seluruh masyarakat internasional untuk kepentingan pihak tertentu dalam hal ini sudah pasti Zionis Israel.
Perang atau lebih tepat disebut sebagai invasi atas negeri Babilonia itu sebagai salah satu target lama negara-negara Barat pendukung mutlak Zionis untuk mencoba menyusun kembali peta politik di kawasan kaya minyak Teluk yang makin memperkokoh posisi Israel sebagai penentu keputusan di masa mendatang mengantisipasi “kemerdekaan” Palestina.
Dokumen sebanyak 400 ribu data itu tentunya lebih kecil dibandingkan apa yang dirasakan bangsa Iraq sesungguhnya sejak pasukan AS bersama sekutu-sekutunya menginjakkan kakinya pada 2003. Apa yang dipunyai pemilik dokumen tersebut yang belum diumumkan jauh lebih banyak dari data yang disebarluaskan bahkan di luar khayalan manusia atas pembunuhan, penyiksaan, pembantaian dan kehancuran yang terjadi di negeri Abbasiyah itu.
Banyak pihak di Arab mempertanyakan, sedemikian perlukan kita menunggu dokumen WL ini untuk mengkonfirmasi kekejaman dan kebiadaban kejahatan yang menimpa rakyat Iraq. Dokumen tersebut intinya lebih ditujukan kepada pemerintahan negara-negara Barat yang terlibat dalam kejahatan di negeri 1001 malam itu untuk mempermalukan mereka di hadapan rakyatnya yang masih memiliki nurani yang hidup.
Adapun bangsa Iraq sendiri dan bangsa Arab pada umumnya sudah demikian mafhum dengan tragedi kemanusian yang menimpa mereka akibat invasi pasukan pendudukan tersebut. Juga keterlibatan agen-agen rahasia Iran mempersenjatai milisi-milisi sekte tertentu dalam “menghabisi” ulama dan tokoh-tokoh Sunni juga tokoh Syiah Arab anti campur tangan asing, sudah menjadi rahasia umum sejak lama.
Demikian pula halnya dengan peran dan keterlibatan PM sekarang Nouri Al-Maliki dalam penangkapan serampangan terhadap warga sipil yang tidak mengerti apa-apa, penyiksaan, pembangunan penjara-penjara rahasia, diskriminasi terhadap warga Sunni, menyuburkan konflik antar golongan dan balas dendam membabi buta terhadap simpatisan bekas Partai Ba`ath serta pejuang-pejuang anti pendudukan asing yang sejak lama tidak bisa ia tutupi.
Namun paling tidak, dimunculkannya dokumen tersebut dapat menghalau pembelaan demi pembelaan yang dilakukan oleh para pelaku dan otak intelektual dibalik pelumpuhan bangsa Iraq tersebut. Biasanya, pembelaan mereka selama ini menghadapi setiap dokumen kekejaman mereka yang disebarkan di publik adalah cap terorisme bagi siapa saja yang berani menyebarkan dokumen tentang kekejaman dan barbarisme yang mereka lakukan.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, seperti disebutkan sejumlah analis Arab, cap bagi para penentang invasi, dan penentang bercokolnya pendudukan asing di negeri produsen minyak terbesar kedua di dunia itu, adalah pendukung pemerintahan diktator (bekas rezim Saddam). Cap sebagai anti demokrasi dan HAM juga dijadikan perisai menghadapi seruan-seruan anti pendudukan, padahal sejatinya pasukan pendudukan justeru sedang melakukan pembunuhan demokrasi dan pelanggaran HAM yang sangat kejam.
Para penentang perang di dunia Arab dan dunia Islam bahkan masyarakat dunia pada umumnya sejatinya bukanlah pendukung setia diktator Saddam yang juga banyak berlumuran darah warga Iraq yang tak berdosa. Namun para penentang sangat mafhum bahwa invasi tersebut selain bertujuan melumpuhkan bangsa yang diduduki juga melumpuhkan keseimbangan strategis kawasan.
Para penentang perang di dunia Islam sangat mengerti bahwa invasi bukan bertujuan sebatas melumpuhkan negeri Babilonia itu yang memang sudah lumpuh sejak diembargo dari tahun 1990. Tujuan lebih utama adalah melumpuhkan bangsa Arab yang menjadi bagian paling penting dari tubuh dunia Islam, sehingga tetap sebagai bangsa yang terpuruk dan hilang wibawa serta harga diri.
Lebih penting
Yang jelas momentum pembocoran dokumen tersebut ke publik sengaja dipilih waktu yang tepat dengan pertimbangan sangat matang. Ada upaya untuk mempolitisir bocoran tersebut untuk tujuan tertentu dengan mengorbankan atau paling tidak memojokkan pihak tertentu yang terlibat dalam pemusnahan bangsa Iraq.
Ibaratnya maling teriak maling, karena pihak yang memberikan lampu hijau untuk membocorkannya adalah mereka yang terlibat penghancuran Iraq. Target yang akan “ditohok” juga yang ikut membuat lautan darah di negeri 1001 malam tersebut setelah bentrok kepentingan antar mereka tak dapat dikompromikan lagi.
Yang pasti lagi adalah, data-data dalam dokumen WL tersebut dibuat AS, pihak yang memberikan lampu hijau juga dipastikan dari negeri yang disebut adidaya itu sementara yang membocorkannya juga dari mereka. Sehingga kesimpulan pastinya adalah ada target khusus dari bocoran yang dimunculkan dalam situasi Iraq saat ini.
Iran adalah salah satu target dari bocoran tersebut karena dalam dokumen itu, negeri Mullah ini disebutkan terlibat langsung dalam berbagai aksi berdarah. PM Nouri Al-Maliki juga target penting karena dia tokoh yang dibesarkan oleh Iran dimana di negeri itulah dia mendirikan markas partai Dakwah yang dipimpinnya.
Al-Maliki dan kawan-kawan adalah tokoh oposisi penentang rezim Saddam menjelang invasi untuk menjatuhkannya. AS berharap dapat memanfaatkan mereka untuk mengusung kepentingannya setelah tumbangnya rezim lama namun kenyataannya malah berbalik sebab mereka justeru mengusung kepentingan Iran.
Ibaratnya hampir semua upaya-upaya AS dengan biaya sangat besar selama ini akhirnya dimanfaatkan para pemimpin Iraq pro Iran untuk kepentingan negeri Persia itu sehingga seolah-olah Teheran berhasil memperdaya Washington dan sekutu-sekutunya termasuk dari dunia Arab tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun.
Bila bocoran ini dimaksudkan untuk mendukung mantan PM Iraq, Ayad Allawi yang lebih pro AS dan sekutu-sekutunya di Arab untuk berkuasa kembali, juga tidak akan mendatangkan perbaikan bagi bangsa Iraq. Siapa yang tidak mengenal Allawi yang juga tak kalah kejamnya dan sebagai front terdepan dalam invasi terhadap negerinya.
Banyak pihak di Barat dan terakhir dari Dewan Kerjasama Teluk (GCC) yang minta dilakukan penyelidikan oleh PBB atas kejahatan perang di negeri Babilonia itu pasca bocoran itu. Seandainya memang dapat dilakukan penyelidikan, namun tidak bisa banyak berharap dari badan dunia itu karena selama ini dijadikan alat bagi kepentingan negara-negara besar terutama AS.
Bila bertolak dari teori konspirasi maka dokumen tersebut tak lebih sebatas dokumen “marginal” untuk memperkuat suatu data yang sudah menjadi rahasia umum. Justeru yang lebih penting adalah dokumen konspirasi yang hampir dipastikan dimiliki WL untuk mengungkapkan konspirasi banyak pihak, termasuk tokoh-tokoh Iraq dan sejumlah penguasa Arab lewat provokasi Zionis internasional yang diterjemahkan oleh AS dan Eropa.
Memang tidak ada yang tidak mungkin, namun hampir mustahil dokumen konspirasi tersebut akan dibocorkan oleh WL yang bisa membeberkan pihak-pihak yang terlibat kejahatan perang di negeri Iraq.
“Kita tidak akan mendapatkan bocoran yang dimaksud, mimpi untuk mendapatkannya tidak akan menjadi kenyataan karena saat ini sedang kuat-kuatnya persekutuan antara Arab, AS dan Zionis,” papar Al-Habib Al-Aswad, salah seorang analis Arab di situs alarabonline, Minggu (24/10).
“Apalagi bila yang terlibat adalah Zionis Israel karena negeri ini ibarat sapi yang disucikan yang tidak boleh diusik oleh pihak manapun. Bocoran dokumen konspirasi itu mungkin tidak akan pernah kita dapatkan baik dari Wikileaks atau situs lainnya,” papar Abdul Bari Athwan, analis Arab lainnya.
Susulan
Kenyataan memang demikian, Iraq bukanlah target terakhir, akan ada target-target susulan. Bila diibaratkan dokumen tersebut adalah data dari korban gempa yang dahsyat hasil rekayasa Zionis-Barat yang menimpa Iraq, maka masih akan ada gempa-gempa susulan lainnya dari pelaku yang sama yang bakal menimpa dunia Arab dalam waktu dekat bila para pemimpin Arab tetap tidak miliki sense of conspiracy dari musuh.
Diantara negara Arab yang bakal mengalami gempa susulan adalah Sudan yang dikhawatirkan akan menghadapi perang saudara lagi setelah sempat terlibat perang saudara selama lebih dari 20 tahun (terlama di benua Afrika dengan jutaan korban jiwa) sehubungan dengan keinginan pisah pemimpin Sudan Selatan, yang mayoritas Kristen yang mendapat dukungan Barat dan Israel.
Tidak ada prasangka bahwa kemerdekaan Sudan Selatan merupakan target Barat sehingga berhasil memaksakan referendum pada 2005 untuk memberikan kesempatan kepada warga selatan menentukan nasib sendiri 5 tahun kedepan sejak 2005 setelah lima tahun berdamai dengan utara. Pada 9 Januari 2011 ditentukan waktu untuk referendum apakan selatan pisah atau masih tetap mempertahankan keutuhan persatuan.
Namun jauh-jauh hari suara-suara untuk berpisah makin kencang seolah-olah sebagai kampanye anti integrasi yang tidak sesuai dengan kesempakan semula agar semua pihak tidak mendahului hasil referendum. Namun para pemimpin selatan kelihatannya tidak bergeming karena mendapat dukungan kuat dari Barat.
Presiden AS, Barack Obama dalam salah satu pernyataannya tentang situasi di Sudan belum lama ini mengatakan “hanya dua pilihan pemisahan Sudan atau perang dengan jutaan korban“. Tentunya sudah cukup sebagai lampu hijau bagi para pemimpin selatan untuk memilih pisah, sementara bagi pemimpin utara sebagai lampu hijau untuk bersiaga kembali mengangkat senjata.
Masih banyak masalah pending dan sangat substansi yang belum terselesaikan yang dapat menyulut kembali perang saudara. Seperti demarkasi tapal batas sepanjang 2 ribu km, status wilayah Abiye yang kaya minyak, kesepakatan kategorisasi pelaksanaan referendum secara transparan, kompromi pembagian sumber alam bersama seperti air Sungai Nil, kompromi status warga utara yang tinggal di selatan dan warga selatan yang tinggal di utra dan masalah-masalah lainnya.
Pemerintah pusat di utara nampaknya tidak gentar atas gertakan Barat dan siap berperang lagi bila masalah-masalah substansi tidak terselesaikan. Pernyataan Wakil Tetap Sudan di PBB, Dafullah AL-Hajj Ali Osman, Senin (25/10) di New York secara tegas mengatakan bahwa referendum tanpa kesepakatan kedua belah pihak adalah meletusnya kembali perang.
Bagi dunia Barat dan Zionis, pemisahan atau perang sama-sama menguntungkan karena bila pemisahan terjadi negara balita itu dapat dijadikan sekutu untuk melemahkan negara induk yang selama ini dikenal tak bersahabat dengan Barat. Bila perang saudara berkecamuk lagi juga menguntungkan karena akan menghancurkan negeri itu lalu memunculkan pemimpin-pemimpin baru yang pro Barat.
Gempa susulan lainnya yang mungkin terjadi adalah “gempa” Libanon sehubungan dengan kemungkinan Mahkamah Internasional menuduh anasir dari Hizbullah terlibat dalam pembunuhan mantan PM Rafiq Hariri. Hizbullah memang sudah lama jadi target Israel karena menjadi satu-satunya gerakan perlawanan yang menjadi momok negeri Yahudi itu.
Bila keputusan politis mahkamah yang dikomandoi Zionis itu benar-benar mengalamatkan tuduhan ke Hizbullah maka besar kemungkinan akan terjadi bentrokan intern Libanon yang bisa mengarah ke perang saudara seperti tahun 1975. Tentunya situasi ini yang diidam-idamkan Israel sehingga tidak perlu bersusah payah melumpuhkan gerakan perlawanan paling menakutkan itu.
Singkatnya, rekayasa Zionis-Barat untuk iraqisasi negara Arab yang kurang bersahabat dengan Barat dan Zionis akan terus berlanjut setiap mendapat peluang. Dan tidak ada yang dapat menutup rapat peluang tersebut kecuali negara-negara Arab sendiri, tapi mampukah dalam kondisi lemah saat ini? [Sana`a, 18 Zulqa`dah 1431 H/hidayatullah.com]
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, kini sedang berdomisili di Yaman