Oleh: Musthafa Luthfi
REFERENDUM rancangan konstitusi yang mengundang kontroversial terutama di kalangan kubu Liberal Mesir akhirnya berlangsung lancar dalam dua gelombang, Sabtu (15/12/2012) dan Sabtu (22/12/2012). Ketua Komisi Tinggi Pemilu, Samir Ahmed Abul Maathi telah mengumumkan hasil resmi Selasa (25/12/2012), yang tidak jauh berbeda dari perkiraan semula sesuai hasil hitung cepat.
Sebelum mengumumkan hasil referendum tersebut, Abul Maathi terlebih dahulu menjelaskan sejumlah laporan tentang pelanggaran yang terjadi yang intinya tidak mempengaruhi hasil final. Dari sekitar 51 juta warga yang memiliki hak pilih, sebanyak 17 juta lebih yang menggunakan hak pilihnya (sekitar 32 %) dengan suara mendukung rancangan konstitusi 10 juta lebih (63,8 %) dan yang menolak 6 juta lebih (sekitar 36,3 %).
Hasil referendum tersebut, tidak bisa dikatakan sebagai kemenangan bagi Presiden Mursy dan kekalahan bagi oposisi. Tapi paling tidak sukses pelaksanaannya sebagai kemenangan bagi rakyat Mesir dan sukses bagi sebagian besar pemimpin negeri itu menghindar dari malapetaka perang saudara yang hampir meletus beberapa pekan sebelum referendum berlangsung.
Meskipun pelaksanaan referendum berlangsung aman dan lancar ternyata masih belum melapangkan jalan negeri Lembah Nil itu untuk menfokuskan diri pada pembenahan persoalan yang lebih penting yakni pemulihan situasi perekonomian negara dan pengadilan atas petinggi-petinggi rezim lama yang menyebabkan negeri terbesar Arab itu terpuruk selama tiga dekade belakangan ini.
Kubu Islam dari al Ikhwan al Muslimun dan Salafy menyambut hangat hasil referendum tersebut, namun sebaliknya kubu penentang terutama partai-partai liberal dan kiri yang tergabung dalam Front Penyelamatan Nasional (FPN) mengancam akan melakukan demo besar di Bundaran Tahrir, pusat kota Kairo untuk menentang konstitusi baru itu. Kubu pemuda yang tergabung dalam kubu 26 April juga mengancam akan melakukan demo besar-besaran pada 25 Januari mendatang untuk “menjatuhkan” konstitusi tersebut.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa partisipasi FPN yang sempat melegakan hati rakyat negeri Piramida itu dalam referendum, ternyata masih belum mampu mempersempit kesenjangan sikap dua kubu (Islamis dan Liberal). Hasil referendum yang mengesahkan konstitusi ternyata masih tetap memperlebar kesenjangan tersebut.
Hanya yang masih menenangkan hati bahwa masing-masing kubu tetap mengedepankan cara-cara damai untuk memperjuangkan sikap mereka. Meskipun demikian, kontroversi konstitusi yang terus berlanjut hingga pelaksanaan pemilu legislatif (dua bulan setelah referendum), menjadi kendala besar Presiden, Dr. Mohammad Mursy untuk melaksanakan program pemerintah.
Semula referendum konstitusi baru yang dinilai sebagai konstitusi terbaik yang pernah dimiliki negeri Lembah Nil itu, sebagai titik perubahan menuju pembangunan negara madani yang sehat serta sebagai sarana pemulihan negara yang telah dirusak oleh rezim lama. Namun yang terlihat bahwa harapan itu masih sulit diwujudkan setelah hasil referendum diumumkan.
Sejak hasil hitung cepat referendum gelombang pertama diumumkan oleh sejumlah media setempat yang menunjukkan dukungan mayoritas kecil atas konstitusi, perpecahan dua kubu (Islamis dan Liberal) semakin menjadi-jadi. “Perbedaan kecil antara suara mendukung dan menolak konstitusi menjadi salah satu penyebab perpecahan kedua kubu semakin menjadi,” papar sejumlah analis.
Tapi ketegangan antara dua kubu sejak semula memang sudah diawali dengan benturan antara lembaga yudikatif dan eksekutif yang ditandai dengan penolakan mayoritas hakim menjadi pengawas referendum. Penolakan mayoritas hakim itulah sebagai alasan mengapa referendum dilakukan dua tahap bagi 27 provinsi negeri itu karena tidak cukupnya jumlah hakim yang akan mengawasi bila dilaksanakan satu tahap seperti tuntutan oposisi.
Berbagai upaya untuk menggagalkan pelaksanaan referendum akhirnya tidak tercapai sehingga oposisi tampaknya tidak ada pilihan lain kecuali ikut dalam referendum dengan harapan suara menolak konstitusi unggul. Namun setelah pengumuman resmi, suara yang mendukung konstitusi menang mutlak hampir dua pertiga suara warga Mesir yang menggunakan haknya.
Salah perhitungan
Sehari setelah pengumuman tersebut, Presiden Mursy mengundang Majelis Permusyawaratan untuk melangsungkan sidang perdana pasca referendum dan sekaligus mengambil alih lembaga legislatif dari Presiden hingga pelaksanaan pemilu anggota parlemen dua bulan ke depan. Sidang akhirnya berjalan lancar, Rabu (26/12/2012), namun ketegangan antara dua kubu masih belum ada indikasi akan segera berakhir.
Sebab utamanya adalah penolakan berkelanjutan oposisi terhadap konsitusi yang mereka anggap dipaksakan oleh kubu Islamis (Al-Ikhwan dan Salafy) lewat cara-cara yang tidak sejalan dengan kesepakatan semula. Di lain pihak, kubu Islamis merasa telah memberikan konsesi diantaranya pembatalan Dekrit Presiden tanggal 22 November lalu yang menyulut unjukrasa besar, kemudian kesediaan untuk membahas kembali pasal-pasal yang masih diperdebatkan lewat parlemen terpilih mendatang.
Tapi konsesi yang telah dilakukan kubu Islamis, tidak banyak membawa perubahan bagi kalangan oposisi, kecuali sebagian tokoh oposisi yang menyambut baik semisal Ayman Noor, Ketua Partai al-Ghad (Hari Esok) dan Abdel Munim Abul Futuh, Ketua Partai al-Mashri al-Qawi (Strong Egypt). Sedangkan sebagian besar tokoh oposisi lainnya masih pada sikap semula yakni akan melanjutkan usaha mereka untuk “menjatuhkan“ konstitusi tersebut.
Pidato kenegaraan Presiden Mursy, Rabu (26/12/2012), yang antara lain mengajak semua kekuatan politik berdialog di Istana Negara yang disponsorinya langsung juga belum mendapat sambutan positif sebagian besar tokoh oposisi. Namun ada laporan media, yang menyebutkan kemungkinan banyak tokoh oposisi akhirnya akan bersikap fleksibel (melunak) dengan ajakan ini diantaranya disebutkan Amr Moussa, Ketua Partai al-Dustur (Konstitusi).
Intinya, sulitnya mempertemukan dua kubu setidaknya hingga saat ini, lebih disebabkan adanya salah perhitungan dari kedua belah pihak sehingga mereka melakukan kesalahan tak terduga. Oposisi misalnya melakukan kesalahan besar ketika menolak beberapa kali ajakan dialog oleh Presiden Mursy sebelum referendum berlangsung untuk membahas pasal-pasal yang masih diperdebatkan.
Oposisi tampaknya salah perhitungan dengn sikap keras tersebut, karena mereka memperkirakan sikap teguhnya yang menolak berunding sebelum dekrit dicabut dan referendum ditunda, akan menyebabkan kubu lain melunak. Tapi kenyataannya, pelaksanaan referendum tetap berlangsung sesuai jadwal yang justru menyulitkan posisi oposisi sendiri.
Di lain pihak kubu Islamis juga tampaknya melakukan salah perhitungan yang sama dengan oposisi karena memprediksikan pelaksanaan referendum dengan hasil apapun akan mengurangi kesenjangan sikap dua kubu. Karenanya, kubu Islamis mendesak agar jadwal referendum tidak diubah tanpa mempertimbangan masukan sejumlah pihak yang menginginkan agar pasal-pasal yang masih diperdebatkan dibawas terlebih dahulu dengan oposisi guna mencapai titik temu.
Bila hasil referendum tersebut juga dimanfaatkan oleh kubu Islamis untuk memperoleh keuntungan politis dengan mengorbankan kubu lainnya tanpa mempertimbangkan sikap oposisi, tentunya akan terus memupuk ketegangan. Secara demokratis, memang kubu yang memenangkan referendum berhak memetik keuntungan politis.
Tapi melihat kondisi negara yang ibaratnya baru dalam tahap pemulihan dari menyakit kronis warisan rezim lama, kompromi merupakan jalan terbaik untuk mengatasi kesenjangan sikap akibat krisis konstitusi tersebut. Bila kompromi gagal, dikhawatirkan pengkubuan yang saat ini masih di tingkat elit politik akan melebar menjadi pengkubuan di tingkat bawah yang akhirnya menjadikan unjukrasa massa sebagai kartu penekan yang bisa mengarah ke bentrokan besar.
“Meskipun hanya sebatas unjukrasa, namun tetap akan menjadi kendala besar bagi pemerintah untuk melaksanakan programnya,” papar sejumlah tokoh independen Mesir menanggapi pengkubuan yang masih berlanjut pasca referendum. Demikian pula halnya dengan mayoritas rakyat negeri itu yang tidak menggunakan hak pilihnya, tidak ingin melihat konstitusi revolusi yang dihasilkan referendum akan menjadi pintu masuk perpecahan berkelanjutan.
Kompromi Nasional
Mengingat hasil referendum sebagaimana dikemukakan sebelumnya belum berhasil mengatasi perpecahan dua kubu yang saling bersebrangan, maka ide kompromi nasional semakin keras gaungnya. Diantara pihak yang menggaungkan ide ini adalah Lembaga Al-Azhar, sejumlah tokoh independen, kalangan ulama dan bahkan Presiden Mursy sendiri seperti yang ditegaskan kembali dalam pidatonya Rabu (26/12/2012).
Al-Azhar misalnya, langsung mengeluarkan pernyataan beberapa saat setelah pengumuman hasil referendum berisi ajakan semua kekuatan politik dan tokoh nasional agar segera duduk bersama untuk membahas berbagai hal yang masih diperdebatkan dalam konstitusi. Lembaga Islam paling berwibawa di Mesir ini berharap agar hasil dialog tersebut dapat mencapai kompromi nasional guna menghentikan ketegangan saat ini.
Sebenarnya banyak tokoh oposisi yang menyambut baik ide kompromi tersebut, namun mereka masih meragukan mekanisme dan agenda yang akan disodorkan pemerintah. Disinilah, peran penengah dari tokoh-tokoh independen dan lembaga semacam Al-Azhar untuk melobi tokoh-tokoh dari kedua kubu terutama oposisi untuk bersedia duduk di meja perundingan.
Selain Grand Syeikh Al-Azhar para tokoh dan pakar semacam Prof. Dr. Ahmed Kamal Aboul Magd, Prof. Dr. Mohammed Salim al-Awaa, Kanseler Tareq al-Bashri, pakar undang-undang terkemuka Mesir dan Prof. Dr. Abdel Aziz Hejazi, mantan PM Mesir era Presiden Anwar Sadat, setidaknya dapat berperan besar dalam meletakkan dasar, mekanisme dan agenda dialog yang akan ditawarkan kepada Presiden Mursy.
Presiden Mursy sendiri senantiasa membuka tangan (menyambut) setiap upaya penengah sehingga berdasarkan usul pakar-pakar tersebut Presiden dapat mengundang berdialog seluruh ketua parpol, tokoh-tokoh politik berpengaruh, perwakilan dari para hakim, tokoh pemuda serta pakar ekonomi. Peran penengah, pasca referendum ini, semakin disuarakan oleh sejumlah tokoh berpengaruh dan analis terkemuka negeri itu.
Jalan menuju dialog dan kompromi sebenarnya telah terbuka lebar karena Presiden selalu membuka tangan, sebagian tokoh oposisi terkemuka juga sebenarnya secara prinsip tidak menolak dialog asalkan agenda dan mekanismenya jelas atau menurut mereka tidak didekte oleh kelompok tertentu (maksudnya Al-Ikhwan). Sikap terbuka Presiden dan prinsip sebagian tokoh oposisi terkemuka ini setidaknya akan membuka jalan menuju tercapainya kompromi nasional baik sebelum atau setelah pemilu parlemen.
Mayoritas rakyat negeri Piramida itu yang memang enggan terlibat dalam perseteruan politik saat ini memilih diam alias tidak menggunakan hak pilih mereka dalam referendum karena mereka hanya berharap agar hingar binger perseteruan ini segera berakhir. Jumlah mereka ini lebih dari 33 juta orang dari total 51 juta orang yang memiliki hak pilih atau sekitar 68 %.
Harapan dan doa mereka dapat dilihat dari ungkapan yang sering mereka sampaikan melihat masih hingar bingarnya perseteruan politik meskipun referendum telah usai. Mereka umumnya mengungkapkan kalimat “Masr Allah Ma`ak” (semoga Allah selalu bersamamu Mesir).
Ungkapan tersebut sebagai bentuk kekhawatiran bila perseteruan itu berlanjut, dapat mengakibatkan sesuatu yang tidak diinginkan, apalagi Mesir sebagai negara terbesar Arab adalah contoh bagi perubahan sukses “musim semi Arab”. Melihat sikap Presiden dan tokoh-tokoh politik baik kubu Islamis maupun Liberal yang secara prinsip bersedia mewujudkan kompromi nasional, banyak yang optimis bahwa negeri Lembah Nil itu dapat mengatasi krisis konstitusi ini.*/Sana`a, 13 Shafar 1434 H
Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman