Oleh: Dr. Adian Husaini
MALAM itu, Kamis (7/11/2013), ruang Mahoni Kampus Magister Bisnis IPB Bogor menjadi saksi penting lahirnya sebuah deklarasi yang kemudian dikenal sebagai “Deklarasi Bogor”. Isi deklarasi sarat dengan makna dan cita-cita tinggi; sebuah komitmen untuk melanjutkan proses Islamisasi dan membangun tradisi ilmu di alam Tamadun (Peradaban) Melayu. Usai mengikuti pelatihan pemikiran dan kepemimpinan selama 5 hari, sebanyak 37 mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Malaysia dan 45 mahasiswa asal Indonesia, bersepakat melahirkan “Deklarasi Bogor” tersebut.
Untuk lebih menghayati maknanya, silakan disimak isi deklarasi Bogor tersebut:
“Menyadari betapa pentingnya untuk meneruskan Peradaban dan tradisi keilmuan di dunia Islam pada umumnya, dan Alam Melayu khususnya; dan pada masa yang sama menginsafi cabaran-cabaran semasa yang bersifat benturan pandangan alam; kami Pemuda Pemudi Melayu dengan ini bersetuju dan bertekad:
1. Menjunjung tinggi akidah ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai asas Peradaban di Alam Melayu.
2. Menjadikan ilmu yang benar sebagai landasan gerakan Pemuda Pemudi Melayu.
3. Menjadi pemimpin yang berlandaskan Pandangan Alam Islam.
4. Menggali kembali dan melestarikan khazanah keilmuan Islam dan tradisi kesarjanaan melalui karya-karya agung daripada ulama-ulama agung masa lampau di Alam Melayu.
5. Mendukung dan memberi sumbangan ke arah rencana pengislaman ilmu-ilmu masa kini dalam menempatkan ilmu dan kefahaman Islam sebagai landasan kegiatan ekonomi, social, politik, dan kebudayaan di Rantau Melayu.
6. Memelihara dan memperkukuhkan semula unsur-unsur kesatuan dan perpaduan Rumpun Melayu dari segi agama, bangsa, bahasa dan budaya.
7. Mempererat ukhuwwah ilmiyyah berdasarkan Adab di antara Pemuda Pemudi Melayu agar dapat mencantumkan kembali tali sejarah baru dan lama, mengikat dan mempereratkan kembali tali perhubungan antara generasi. Semoga Allah Swt meridloi ikhtiar kita.”
*****
Adalah menarik, bahwa para pemuda Indonesia dan Malaysia di Tanah Melayu ini berkomitmen menjadikan aqidah Islam, Ahlus Sunnah wal-jamaah sebagai asas peradaban. Aqidah ini adalah aqidah wasathiyah, “moderat”, tidak ekstrim. Tidak terjebak pada ekstrimitas jabbariyah yang menafikan potensi kasab manusia, dan tidak juga terperangkap dalam ekstrimitas mu’tazilah yang menafikan campur tangan Allah dalam proses kehidupan. Aqidah ini pula yang selama ratusan tahun berhasil membangun rasionalitas di alam Melayu, dengan tetap menjunjung tinggi pedoman wahyu dari Allah.
Pakar sejarah Melayu Prof. Naquib al-Attas mengritik pendapat para orientalis yang berusaha menggambarkan bahwa kebangkitan rasionalitas Melayu baru terjadi setelah masuknya penjajah dari tamadun Barat. Al-Attas menyebutkan bahwa dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut. (the coming of Islam seen from the perspective of modern times … was the most momentous event in the history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan “bahasa Muslim” kedua terbesar di dunia Islam. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur, 1993)).
Sebab itu, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional. Al-Attas mencatat masalah ini: “Together with the historical factor, the religious and language factors began setting in motion the process towards a national consciousness. It is the logical conclusion of this process that created the evolution of the greater part of the Archipelago into the modern Indonesian nation with Malay as its national language… The coming of Islam constituted the inauguration of a new period in the history of the Malay-Indonesian Archipalego” (Ibid, 178)
Al-Attas menolak keras teori para sarjana Barat yang menganggap kehadiran Islam di wilayah Melayu-Indnesia ini tidak meninggalkan sesuatu yang berarti bagi peradaban di wilayah ini. Ia menulis: “Banyak sarjana yang telah memperkatakan bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam struktur masyarakat Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan terkupas menonjolkan kehinduannya, kebudhaannya, dan animismenya. Namun menurut saya, paham demikian itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam lagi hanya merupakan angan-angan belaka.” (Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung, 1990).
Al-Attas juga menekankan kekeliruan hasil penelitian ilmiah Barat yang meletakkan serta mengukuhkan kedaulatan kebudayaan dan peradaban Jawa sebagai titik tolak permulaan kesejarahan Kepulauan Melayu-Indonesia. “… anggapan seperti inilah hingga dewasa ini masih merajalela tanpa gugatan dalam pemikiran kesejarahan kita.” (ibid, hal. 40-41).
Komitmen untuk menegakkan paham ahlus sunnah wal-jamaah di alam Melayu menjadi sangat mendasar, sebab aqidah menentukan pola pikir dan pengembangan suatu bangsa atau peradaban, Peradabana yang dibangun di atas landasan tauhid akan sangat berbeda coraknya dengan peradaban yang mengutamakan nilai-nilai materialisme dan sekulerisme. Peradaban semacam ini akan mengarahkan masyarakat berperilaku dan berpola hidup seperti binatang yang tujuan hidupnya hanya untuk mengejar pemuasan syahwat, bukan untuk mengejar kebahagiaan yang hakiki dengan bertaqarrub, mendekatkan diri kepada Allah.
*****
Komitmen pemuda Melayu untuk menegakkan aqidah Ahlus Sunnah wal-Jamaah, mengingatkan kembali pada komitmen para ulama di alam Melayu yang tidak mengembangkan paham-paham lain, seperti Jabbariah, Mu’tazilah, atau pun Syiah. Hingga kini, di Malaysia, masih dilakukan pendekatan yang secara tegas berusaha mencegah pengembangan paham-paham aqidah yang bertentangan dengan Ahlus Sunnah wal-Jamaah.
Dalam ceramahnya di hadapan peserta pelatihan kepemimpinan muda Muslim Indonesia-Malaysia di Bogor tersebut, Menteri Dalam Negeri Malaysia, Dr. Ahmad Zahid Hamidi menjelaskan tentang sikap pemerintahnya yang melarang penyebaran ajaran Syiah di Malaysia. Itu dilakukan untuk menjaga keamanan negara. Kalau masalah kesesatan ajaran Syiah ditetapkan kedudukannya oleh Jakim (Jabatan Kemajuan Islam Malaysia) dan Jabatan-jabatan agama Negeri.
“Kita tidak ingin berlaku perpecahan antar masyarakat seperti yang terjadi di Bahrain, Irak, dan beberapa negara Muslim lainnya,” kata Zahid Hamidi di Bogor (6/11/2013). Zahid Hamidi – yang pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan Malaysia – menyebutkan, bahwa pengikut Syiah di Malaysia saat ini ada sekitar 300.000 orang. Mereka terus dipantau dengan ketat dan dilarang jika menyebarkan ajaran-ajarannya secara terbuka. Jika perpecahan dan konflik terus terjadi seperti yang terjadi di berbagai negara, maka tentu saja, negara tersebut tidak akan sempat melaksanakan pembangunan.
Menteri Zahid Hamidi menyampaikan pandanganya tersebut saat menjawab pertanyaan peserta acara Pelatihan yang berujung dengan penandatanganan Deklarasi Bogor tersebut. Acara pelatihan itu dilaksanakan atas kerjasama Sekretariat Transformasi Serantau (STS), Center for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilization-Universiti Teknologi Malaysia (Casis-UTM), dan Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor.
Dalam dialog dengan peserta Pelatihan, Zahid menyampaikan harapan dan optimismenya, bahwa kebangkitan Islam akan muncul dari Indonesia dan Malaysia. Karena itulah penduduk di kedua wilayah ini harus bekerja keras meningkatkan kualitasnya dan jangan sampai mau dipecah belah dan diadu-domba. Dalam masalah paham keagamaan, ia berharap, paham keagamaan yang dikembangkan di wilayah Nusantara adalah paham Ahlus Sunnah wal-Jamaah dan menolak paham liberalisasi keagamaan.
Dalam kaitan itulah, ia mendukung gerakan Islamisasi ilmu untuk dikembangkan di alam Melayu. Ia hadir ke Bogor juga dalam rangka peluncuran buku berjudul “Islamisasi Ilmu-ilmu Kontemporer dan Peran Universitas Islam dalam Konteks Dewesternisasi dan Dekolonisasi” karya Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, yang diterbitkan Center for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilization-Universiti Teknologi Malaysia (Casis-UTM) dan Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor. Buku ini diharapkan dapat menjadi pedoman dalam pengembangan program dan kurikulum pendidikan berbasis tradisi keilmuan Islam di berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan Malaysia.
****
Gerakan Islamisasi ilmu, khususnya di Indonesia dan Malaysia, saat ini sepertinya sudah tidak terbendung lagi. Bahkan, gerakan itu sudah masuk ke kampus yang sebelumnya sama sekali tidak dikenal memiliki cita-cita pengembangan sains Islam. Itu terjadi, misalnya, di Universitas Airlangga Surabaya dan Unikom Bandung. Pada tanggal 2 November 2013, saya bersama Dr. Syamsuddin Arif dan Adnin Armas MA diundang di Universitas Airlangga Surabaya untuk acara bedah buku Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam dan sekaligus acara workshop tentang Filsafat Islam dan Barat di Aula Perpustakaan Universitas Airlangga. Acara ini cukup semarak. Hadir juga sejumlah mahasiswa dan dosen dari beberapa universitas di Surabaya, Malang, Jombang, dan sebagainya. Dalam dialog dengan peserta, tampak keinginan yang kuat untuk mewujudkan gagasan Islamisasi ilmu tersebut.
Pada 7 November 2013, Unversitas Komputer Indonesia (Unikom) Bandung, menggelar acara menarik: “Seminar Nasional Pendidikan Sains Islam”. Ini acara menarik. Sekitar 150 orang guru menghadiri acara itu. Lalu, pada 15 November 2013, saya mendapakan kesempatan untuk menjadi pembicara utama dalam Konferensi Pendidikan Nasional di Universitas Pendidikan Nasional (UPI) Bandung. Kembali, saya berkesempatan menyampaikan paparan tentang konsep dan aplikasi Pendidikan Islam di Indonesia, khususnya dalam tataran Perguruan Tinggi.
Dalam acara di Unikom tersebut, saya membahas tentang definisi “Sains Islam” dan perlukah ada “Sains Islam”. Sebab, tidak sedikit orang yang masih berpendapat, bahwa Sains itu netral sifatnya. Tidak bersifat Islam, Kristen, Yahudi, atau Hindu. Buktnya, kata mereka, jika kyai atau pastor dilempar dari pesawat terbang, pasti akan mati. Saklar listrik dipencet oleh siapa pun — mukmin atau kafir — akan berdampak sama pada bola lampu salurannya. Benarkah begitu?
Istilah “sains Islam” sebenarnya bukan hal yang aneh. Saat ini, kita sudah mengenal berbagai istilah yang menempelkan kata “Islam” di belakangnya, semisal: ekonomi Islam, asuransi Islam, bank Islam, sekolah Islam, rumah sakit Islam, universitas Islam, partai Islam, dan sebagainya. Nah, apakah salah, jika kata “Islam” juga ditempelkan pada kata “Sains”, sehingga menjadi istilah baru “Sains Islam”. Sebagaimana kata-kata lainnya, “Sains Islam” memiliki makna yang berbeda dengan sains sekuler yang sudah populer dengan sebutan “western science” atau “Sains Barat”.
Sudah banyak ilmuwan yang memberikan kritik terhadap sains Barat sebagai pembawa bencana bagi umat manusia. Salah satu yang cukup vokal dalam menyurakan hal ini adalah Seyyed Hossein Nasr. Ia mencatat: “To day more and more people are becoming aware that the applications of modern science, a science witch until a few decades ago was completely Western and which has now spread to other continents, have caused directly or indirectly unprecedented environmental disasters, bringing about the real possibility of the total collapse of the natural order.” (Lihat, Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science, (New York: State University of New York Press, 1993)
Jadi, kata Hossein Nasr, kini makin banyak orang yang sadar akan aplikasi sains modern yang total bersifat Barat (western) yang secara langsung atau tidak telah menyebabkan kehancuran lingkungan, bahkan berimplikasi pada kehancuran tatanan alam secara total. Jadi, memang ada “Sains modern”, “Sains Barat”, yakni sains yang dipandang bertanggung jawab terhadap kerusakan di alam ini. Sains Islam tentu berbeda dengan sains seperti itu. Apa itu?
Sains sejatinya bukan sekedar fakta ilmiah. Tapi, sains juga melibatkan manusia yang memiliki cara pandang tertentu terhadap fakta. Orang Muslim memandang bahwa alam semesta, termasuk dirinya sendiri, adalah “ayat-ayat Allah”. Ia sadar dirinya adalah hamba Allah dan khalifatullah. Banyak ayat al-Quran memerintahkan agar manusia menggunakan akal, mata, dan telinganya untuk memahami ayat-ayat Allah, sehingga ia mencapai ma’rifatullah; ia dapat mengenal Allah melalui ciptaan-Nya.
Manusia yang gagal mengenal Tuhannya, meskipun rajin mengamati fenomena alam, maka akan jatuh martabatnya ke derakat binatang ternak; bahkan lebih hina lagi. (QS 7:179). Jika ia seorang ilmuwan, maka kelasnya setingkat dengan kelas binatang ternak; atau ilmuwan kelas kambing, dan jenis-jenis ternak lainnya. Ilmuwan yang gagal menemukan dan mengenal Tuhan, akan menjalani kehidupan laksana binatang ternak: hanya mengejar syahwat demi syahwat; tak kenal kebahagiaan sejati dalam ibadah kepada Sang Pencipta.
Sungguh ironis, jika pelajaran sains di sekolah-sekolah dan kampus dijauhkan dari Tuhan. Itulah sains ateis, sains sekuler, yang menjauhkan manusia dari Tuhannya. Para ilmuan yang dihasilkannya tidak mengakui wahyu Allah sebagai sumber ilmu. Mereka hanya mengenal sumber ilmu dari panca indera (ilmu empiris) dan akal (rasional). Akibatnya, mereka tidak semakin dekat (taqarrub) kepada Allah.
Sains sekuler atau Sains ateis seperti itu sangat tidak kondusif untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang bertujuan membentuk manusia beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia, sebagaimana ditegaskan dalam UU No 20 tahun 2003. Juga, UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mengemanahkan: Pendidikan Tinggi bertujuan, antara lain: berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.
Sains Islam sangat tepat untuk mencapai tujuan pendidikan nasional semacam itu. Ilmuwan yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia, hanya mungkin terwujud jika ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu yang benar; ilmu yang membawa manusia kepada ketundukan kepada Allah; bukan ilmu yang membawa manusia kepada kesombongan, seperti sifat Iblis. Dengan kata lain, Sains Islam sebenarnya adalah jawaban untuk mewujudkan terbentuknya muslim Indonesia yang adil dan beradab.
Karena itu, sungguh luar biasa isi dan makna Deklarasi Bogor, yang isinya secara tegas memberikan dukungan kepada gerakan Islamisasi ilmu: “Mendukung dan memberi sumbangan ke arah rencana pengislaman ilmu-ilmu masa kini dalam menempatkan ilmu dan kefahaman Islam sebagai landasan kegiatan ekonomi, social, politik, dan kebudayaan di Rantau Melayu.” Semoga Allah SWT meridhai cita-cita dan usaha yang sangat agung ini. Amin.*/Depok, 21 November 2013
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com