ABDULLAH Ihsan kaget. Seorang jamaahnya menelepon, mengajaknya bertemu. Sebenarnya tak ada yang aneh. Dai yang aktif berdakwah di Pulau Dewata, Bali, ini memang sering ditelepon jamaahnya.
Namun saat itu, yang meneleponnya seorang wanita. Ihsan diminta mendatanginya di rumah si penelepon. Dia mengaku sedang ditinggal suami.
“Suami saya lagi ke Surabaya,” ujar wanita tersebut.
Justru di situ masalahnya, Ihsan menolak ke rumah jamaah tersebut lantaran suaminya sedang tak ada. Si penelepon pun mengatakan jika dia tidak sendiri, tapi ditemani kakaknya yang juga wanita.
Tetap saja Ihsan enggan. Lantas dia jelaskan, kedatangannya ke rumah wanita itu tidak boleh dan tidak pantas karena tanpa muhrim.
“Kalau mau datang ke pondok, silahkan!” ujar pengurus Pesantren Hidayatullah, Jalan Pemogan, Gang Taman, Denpasar Selatan, ini kepada jamaah tersebut. Baru wanita tadi paham.
Kisah di atas diceritakan Ihsan saat berbagi pengalamannya di depan ratusan jamaah shalat Shubuh Masjid Ummul Quraa, Cilodong, Depok, Jawa Barat, Sabtu, 19 Muharram 1435 H (23/11/2013).
Sebagai seorang dai, Ketua Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) Hidayatullah ini mengaku kerap dijadikan tempat curhat para jamaahnya. Baik melalui telepon maupun yang langsung menyambanginya.
Mereka curhat bukan persoalan harta, tapi persoalan orientasi hidup yang salah. Yang membuat Ihsan mengelus dada, rata-rata jamaah yang curhat padanya tergolong kalangan berpunya.
“Beberapa hari ini (banyak) tamu datang ke pondok itu, rintihan dan keluhannya bukan karena kurangnya fasilitas, bukan karena kurang lancar rezeki. Tapi rata-rata karena masalah risaunya hidup itu, gara-gara melanggar aturan-aturan Allah,” ujarnya dari atas mimbar.
Pernah pula suatu ketika, tutur Ihsan, dia hendak pergi mengisi sebuah pengajian. Baru akan berangkat, tahu-tahu dia ditelepon oleh jamaah lain, juga seorang Muslimah. Kepadanya, jamaah tersebut curhat masalah pribadinya.
“(Dia) orang kaya, jamaah, mau berangkat pengajian (saya) ditelepon, ‘Ustadz, (waktunya) sebentar ustadz, daripada rumah tangga saya berantakan’,” tuturnya menirukan penelepon.
Wanita itu bercerita kepada Ihsan, dia dan suaminya telah berumahtangga selama 7 tahun. Mereka baru dikaruniai anak pada usia 4 tahun pernikahan. Namun, rupanya suaminya punya kelainan seksual, yaitu homoseks. Suaminya menjalin cinta dengan seorang lelaki.
Yang membuat Ihsan tambah miris ketika wanita itu ternyata seorang penyuka sesama jenis juga. Jamaahnya itu mengaku, dia tidak cemburu jika saja suaminya selingkuh dengan wanita lain.
“Saya tidak cemburu sebagai sesama wanita, tapi cemburu karena laki sama laki,” ujar penelepon seperti ditirukan Ihsan.
Orientasi Hidup
Dari fenomena itu, Ihsan kerap berpesan kepada para jamaahnya untuk selalu menjaga orientasi hidup. Di masa kini, kerisauan hidup umat sudah luar biasa.
“Maka kita luruskan orientasi ini untuk Allah ta’ala,” pesannya.
Orientasi itu, kata dia, harus terus dijaga setiap pribadi Muslim-Muslimah, tak terkecuali seorang aktivis dakwah.
Seringnya dia menerima telepon dari para jamaah terutama wanita, secara pribadi dia anggap sebagai ujian keimanan.
“(Pernah) ditelepon malam-malam, (padahal) bukan saya orang yang bisa mengobati. Lagi di jalan ada yang sapa, ‘Ustaadzz!’. Ujian iman semakin kuat. Kalau kita nggak kuat, bisa cemburu istri,” ungkap pria 53 tahun ini sembari tertawa ringan.
Menurutnya, jika tidak kuat menjaga orientasi dakwah, seorang dai pun dikhawatirkan terganggu kondusifitas keluarganya. Maka seorang Muslim harus menguasai dunia, jangan sampai diperbudak oleh dunia.
“Kita akan merasakan nikmatnya hidup di dunia ini bilamana kita tahu tentang makna hidup. Dan memahami terhadap tujuan Allah menghidupkan kita. Kalau kita tidak tahu terhadap tujuan Allah menghadirkan kita di muka bumi ini, maka kita akan dikuasai dunia ini, bukan kita yang menguasai dunia,” pesannya.
Menurutnya, 2 hal yang mesti dipenuhi dengan baik oleh orang Islam. Yang pertama sebagai Khalifatullah, Khalifah Allah. Yang kedua sebagai ‘Abdullah, hamba Allah, di muka bumi.
Di antara cara menjaga kedua fungsi tersebut, pesan Ihsan, yaitu dengan menjaga amalan sehari-hari. Termasuk ibadah sunnah seperti tahajud.
“Bilamana orientasi hidup kita belum lurus sesui dengan kehendak Allah, sungguh kita masih belum jauh berbeda dengan saudara-saudara kita yang akan kita berikan pencerahan,” tandasnya.
Kepada para santri Hidayatullah Depok pun, dia meyakini mereka akan menjadi generasi yang mampu memadukan antara tugas “khalifah” dan tugas “abdullah”.
“Saya optimis. Yakin! Selama kita jadi orangtua betul-betul mengorientasi hidup (untuk Allah. Red),” pungkas pria ramah senyum ini.*