Oleh: Dr. Adian Husaini
AMIN al-Hajj Muhammad Ahmad, begitu nama lengkap yang tertulis dalam sejumlah karyanya. Di Sudan, di kalangan mahasiswa Indonesia yang menjadi murid-muridnya, ia biasa dipanggil ‘Syeikh Amin’. Hari Ahad (18/10/2015) lalu, saya bersyukur sempat menghadiri Majlis ilmunya, di sebuah masjid di Khartoum, Sudan. Jaraknya dari rumah kontrakan saya sekitar 1 KM. Ada sekitar 200-an jamaah yang mengikuti majlisnya.
Kitab yang dikaji – secara rutin tiap Ahad, maghrib-Isya – adalah Kitab Hadits Sunan Nasa’i. Ada enam kali Syeikh Amin memberikan kajian rutin mingguan di masjidnya. Tiga kali di waktu subuh, dan tiga kali selepas maghrib.
Para jamaah yang hadir rata-rata mahasiswa internasional dari berbagai negara. Mereka datang dengan membawa Kitab masing-masing. Uniknya, Syekh Amin-lah yang membelikan semua kitab untuk para muridnya itu, meskipun jumahnya sampai ratusan.
Pada kajian malam itu, Syeikh Amin memberikan syarah tiap hadits yang dibaca secara runut oleh salah satu muridnya. Selama lebih dari 10 tahun, sejumlah Kitab telah ditamatkan di Masjid Ali bin Abi Thalib ini, seperti Kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, al-Risalah Imam Syafii, al-Muwaththa’ Imam Malik, dan sebagainya. Tidak banyak ulama yang tekun mengajar dan menulis seperti Syeikh Amin ini.
Bagi banyak masyarakat Indonesia, sosok Syeikh Amin mungkin masih terasa asing. Padahal, ia adalah Ketua Ikatan Ulama Muslimin (Rais Rabithah Ulama Muslimin). Ia pernah berkunjung ke Indonesia dan sempat diwawancara khusus oleh Majalah Suara Hidayatullah (edisi Mei 2012).
Diungkapkan, bahwa ulama kelahiran Sudan, 1 Januari 1947 ini menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Adab Universitas al-Khourtum, Sudan 1969. Ia gemar berguru kepada para ulama; memiliki pengalaman luas dalam mengajar bahasa Arab di berbagai madrasah di Sudan, dan juga di Ma’had Bahasa Arab Ummul Qura, Makkah (1978-2002). Saat ini menjadi salah seorang dosen di International University of Africa, Sudan.
Syeikh Amin menjabat Ketua Umum Rabithah Ulama Muslimin yang didirikan 20-1-2010. Beberapa ulama besar yang tergabung dalam organisasi ini diantaranya, Syeikh Abdul Aziz bin Abdul Muhsin at-Turky, Dr Muhammad Yusri, (Mesir), Dr Mahran Mahir (Sudan), dan Dr Abdullah bin Hamud at-Tuwaijri (Arab Saudi).
Syeikh Amin termasuk ulama yang sangat produktif menulis. Sudah ratusan judul kitab ditulisnya, baik yang berukuran tebal maupun kutaib (kitab kecil). Saat berkunjung ke Sudan kali ini, saya bersyukur mendapatkan hadiah sekitar 30 judul kitab karya beliau, melalui seorang murid dekatnya, seorang mahasiswa asal Tangerang, yang sedang menulis Tesis Master di Sudan. Dalam CAP kali ini, kita akan menelaah, nasehat-nasehat dan uraian Syeikh Amin tentang masalah keilmuan.
Dalam kitabnya yang berjudul: Taujīhātu Da’awiyyah: Yā Syabāb wa-Syābāt al-Da’wah (Kairo:Dar el-Safwah, 2013), Syeikh Amin memberikan nasehat-nasehat penting untuk para pemuda aktivis dakwah. Beliau menekankan agar para aktivis dakwah – laki-laki dan perempuan menyibukkan diri untuk meraih ilmu syar’iy dan ilmu bukan syar’i yang diperlukan oleh umat Islam, dan bergiat dalam usaha pensucian jiwa (tazkiyatun nafs) dan berjihad melawan hawa nafsu (mujahadah ‘alan-nafsi).
Menurutnya, tidak ada jalan kebangkitan umat Islam kecuali dengan adanya kessungguhan dalam mencari ilmu syar’i dan ilmu madaniy. Umat ini tidak akan baik, kecuali dengan hal-hal yang telah membuat umat terdahulu menjadi baik.
Para pemuda aktivis dakwah diimbau agar tidak merasa cukup dengan batas-batas minimal penguasaan ilmu syar’i. Mereka harus berusaha menguasai seluas-luasnya. Bahkan, dianjurkan agar mereka mendalami ilmu-ilmu itu sebelum menikah atau menjadi orangtua.
Imam Abu Hanifah menasehati muridnya, Qadhi Abu Yusuf: “Pertama kali, carilah ilmu, kemudian kumpulkan harta yang halal, lalu sibukkan dirimu dengan urusan keluarga…!”
Karena begitu pentingnya urusan ilmu ini, sebagian ulama kemudian sampai menunda urusan pernikahan mereka. Imam Ahmad bin Hanbal, misalnya, menikah di umur 40 tahun. Adalah keliru memisahkan urusan dakwah dengan masalah keilmuan.
“Kita diperintahkan untuk berdakwah atas dasar ‘bashirah’, dan itu tidak mungkin dilakukan dengan sempurna kecuali dengan mendalami ilmu-ilmu keislaman,” tulisnya.
Syeikh sangat menekankan perlunya mendalami ilmu-ilmu keislaman dalam urusan dakwah, jadi bukan hanya bergiat dalam kegiatan dakwah, tetapi mengabaikan pendalaman keilmuan Islam.
Di dalam kitabnya, al-‘Ilmu, Syeikh Amin menekankan pentingnya keikhlasan niat dalam mencari ilmu, baik bagi murid maupun guru. Sebab, ikhlas adalah asas setiap perbuatan, dan Allah tidak menerima amal yang mengandung unsur syirik. (QS al-Bayyinah:5).
Beberapa hadits Rasulullah mengingatkan, bahwa siapa yang mencari ilmu untuk mencari kehebatan di kalangan ulama dan mencari pujian di kalangan manusia, maka Allah Subhanahu Wata’ala akan memasukkannya ke dalam neraka.
Rasulullah bersabda: “Siapa yang mencari ilmu yang sepatutnya ditujukan untuk mencari keridhaan Allah, lalu ia mencarinya hanya untuk kepentingan dunia semata, maka ia tidak akan mencium bau sorga di Hari Kiamat.” (HR Abu Dawud).
Juga disebutkan sebuah sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, bahwa di Hari Kiamat nanti, manusia pertama yang akan merasakan api neraka adalah orang berilmu yang membaca al-Quran supaya dikatakan sebagai “qari’” (ahli baca al-Quran), dan orang yang mencari ilmu untuk mencari pujian manusia, agar ia dianggap sebagai orang ‘alim.
Dampak langsung dari keikhlasan dalam masalah ilmu adalah pada sikap seorang yang berilmu. Syeikh Amin menekankan perlunya belajar adab sebelum belajar ilmu. Seorang ulama, al-Laits Ibn Sa’ad memberi nasehat kepada para ahli hadits: “Ta’allamul hilm qablal ‘ilmi!” (Belajarkah sikap penyayang sebelum belajar ilmu!)
Para ulama terdahulu lebih banyak belajar adab kepada guru dibandingkan dengan belajar ilmu mereka. Ibnu Wahab mengatakan: “Apa yang aku pelajari dari Imam Malik adalah lebih utama daripada ilmu beliau.” Sejumlah sifat yang harus dimiliki oleh orang berilmu diantaranya: tawadhu’, takut kepada Allah, menjauhi sifat hasad (dengki), zuhud, dan sebagainya.
Syeikh Amin tampak sangat serius dalam masalah pentingnya kesungguhan dalam penguasaan ilmu dalam aktivitas dakwah dan kebangkitan umat Islam. Disamping dua kitab terdahulu, sejumlah kitab telah ditulis terkait dengan tema tersebut, seperti: Lā nahdhiyyah lil-ummah ill bi-nahdhiyyatin ‘ilmiyyah rāsyidah (Kairo: Dar el-Shafwah, 2013), al-Sabīl al-Shahīh ilā Thalabil ‘Ilmi al-Syar’iy (Kairo: Dar el-Shafwa, 2008), Ulamāu al-Sū’, ‘Ulamāu al-Dunyā (Kairo: Dar el-Shafwa, 2009), dan sebagainya.
Dalam Kitab Ulamāu al-Sū’, ‘Ulamāu al-Dunyā, Syeikh Amin memaparkan ciri-ciri ulama al-su’ (ulama jahat),diantaranya: Menyembunyikan ilmu, cinta dunia, dan mengikuti hawa nafsu.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apayang diturunkan Allah berupa al-Kitab dan menjualnya dengan harga murah, mereka itu tidaklah makan sesuatu kecuali api neraka, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka di Hari Kiamat dan Allah tidak mensucikan mereka dan bagi mereka azab yang pedih.” (QS al-Baqarah: 174).* (BERSAMBUNG)
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com