Bersambung artikel PERTAMA
Oleh: Dr. Adian Husaini
Bahkan, ada yang menyebut, keyakinan beragama sebagai sumber konflik umat beragama. Disebarkanlah paham pluralisme yang meminta umat Islam mengakui kebenaran semua agama; atau minimal ‘pluralisme kewargaan’ yang mengajak umat Islam memiliki pandangan dan sikap bahwa keimanan, kesesatan, dan kekufuran harus diperlakukan sama di ruang publik; diberikan perlakuan dan anggaran yang sama. Katanya, itu demi HAM dan kebebasan beragama; Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) mereka pandang lebih suci dan lebih tinggi martabatnya dibandingkan dengan al-Quran. Dengan alasan, negara Indonesia bukan negara Islam. Mereka tidak ridho jika umat Islam punya iman yang kokoh, karena dianggap membahayakan eksistensi dan kenyamanan kekufuran.
Semoga kita masih berakal sehat. Jika seorang yang mengaku muslim menyatakan, bahwa iman dan kufur, tauhid dan syirik adalah sama saja, lalu apa artinya keimanan bagi dirinya? Jika ada polisi mengatakan, bahwa korupsi dan tidak korupsi sama saja, maka apa artinya ia jadi polisi? Maka, sungguh aneh jika para para ulama dan pejabat yang muslim berdiam diri ketika ada seorang kepala daerah dengan sengaja dan terang-terangan mengembangkan paham kemusyrikan, dengan alasan mengembangkan kebudayaan atau kebijakan lokal (local wisdom).
Padahal, setiap hari, seorang muslim senantiasa memanjatkan doa untuk Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim a.s. dalam shalatnya. Ketangguhan dan kegigihan Nabi Ibrahim a.s. dalam melawan kemusyrikan sungguh luar biasa. Beliau harus berhadapan dengan raja, masyarakat, dan bahkan orang tuanya sendiri. Nabi Muhammad pun memberikan keteladanan bagaimana membersihkan patung-patung di dalam Ka’bah. Apa yang akan dikatakan sang kepala daerah dan pejabat yang mengaku muslim kepada Allah Subhanahu Wata’ala di akhirat nanti jika mereka ditanya tentang maraknya pembuatan dan penyembahan patung-patung? Belum lagi pertanggungjawaban penggunaan anggaran negara yang seharusnya memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pokok, seperti pendidikan, pekerjaan, pangan, sandang, papan, dan seterusnya.
Nativisasi
Dalam buku Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak, Mohammad Natsir menyebutkan, ada tiga tantangan dakwah yang dihadapi umat Islam Indonesia saat ini, yaitu (1) Pemurtadan, (2) Gerakan sekularisasi dan (3) gerakan nativisasi. Dalam nasehat yang disampaikan kepada M. Amien Rais dan kawan-kawan, Pak Natsir mengingatkan perlunya umat Islam mencermati dengan serius gerakan nativisasi yang dirancang secara terorganisir, yang biasanya melakukan koalisi dengan kelompok lain yang juga tidak senang pada Islam, apakah golongan Kristen maupun golongan sekularis sendiri.
Nativisasi adalah usaha untuk mengecilkan peran Islam dalam sejarah dan pembangunan bangsa. Digambarkan seolah-olah Islam adalah biang keladi kehancuran kejayaan bangsa yang disimbolkan dengan kejayaan Majapahit. Gara-gara perkembangan dakwah Islam – yang dilakukan terutama oleh Wali Songo – Majapahit hancur. Maka, secara diam-diam dan terus-menerus, dirancang strategi untuk merusak keimanan umat Islam dengan cara mengembangkan paham syirik dengan aneka rupa istilah indah-indah, sejenis ”local wisdom” dan sebagainya. Islam diletakkan sebagai ”virus asing” yang bertentangan dengan budaya lokal. Uniknya, pengembangan tradisi syirik di tengah kaum muslim, tak jarang mendapat sokongan pejabat dan pihak asing.
Sebagian kalangan Hindu, bahkan bernafsu ingin mengambalikan orang Jawa agar memeluk kembali agama Hindu. Majalah Media Hindu (Oktober, 2011) menulis: “Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi Negara Adidaya ke depan, karena hanya Hindu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan Jatidiri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi negara maju.”
Salah satu proyek nativisasi yang terkenal adalah diterbitkannya kitab Darmogandul yang sangat melecehkan Islam. Dalam Tesis masternya di Program Magister Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, Susiyanto menunjukkan beberapa paragraf dalam Kitab Darmogandul, yang secara tersurat mencita-citakan kekristenan orang-orang Jawa: “Serat ‘Arab djaman wektu niki,sampun mboten kanggo,resah sija adil lan kukume, ingkang kangge mutusi prakawis, Serate Djeng Nabi, Isa Rahu’llahu. Artinya, Serat Arab jaman waktu ini sudah tidak terpakai, hukumnya meresahkan dan tidak adil, yang digunakan untuk memutusi perkara Serat Kanjeng Nabi Isa Rahullah. ”Wong Djawa ganti agama, akeh tinggal agama Islam bendjing, aganti agama kawruh, …. Yang artinya, “Orang Jawa berganti agama, besok banyak yang meninggalkan Islam, berganti (menganut) agama kawruh (agama budi)”.
Kitab Darmogandul yang tidak diketahui penulisnya hingga kini, adalah kitab yang ditujukan untuk melecehkan Islam, dan mengagungkan budaya lokal. Para Wali Songo digambarkan sebagai manusia-manusia yang tidak tahu balas budi yang mengkhianati Raja Majapahit. Prof. HM Rasjidi, Menteri Agama Pertama RI, pernah menulis dan menerjemahkan Darmogandul yang banyak memuat pelecehan terhadap Islam. Dalam salah satu bait Pangkur-nya serat ini menulis:
“Akan tetapi bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan zikir mereka. Mereka menyebut nama Allah Subhanahu Wata’ala, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, dalam hakekatnya mereka itu terasa pahit dan masin.”
Ada lagi ungkapan dalam serat ini: “Adapun orang yang menyebut nama Muhammad, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, nabi terakhir. Ia sesungguhnya melakukan zikir salah. Muhammad artinya Makam atau kubur. Ra-su-lu-lah, artinya rasa yang salah. Oleh karena itu ia itu orang gila, pagi sore berteriak-teriak, dadanya ditekan dengan tangannya, berbisik-bisik, kepala ditaruh di tanah berkali-kali.”
“… Saya mengira, hal yang menyebabkan santri sangat benci kepada anjing, tidak sudi memegang badannya atau memakan dagingnya, adalah karena ia suka bersetubuh dengan anjing di waktu malam. Baginya ini adalah halal walaupun dengan tidak pakai nikah. Inilah sebabnya mereka tidak mau makan dagingnya.”
Menyimak berbagai peristiwa yang menimpa umat Islam di Indonesia dan berbagai dunia, patutlah kita merenung, apakah kondisi kita saat ini seperti yang sudah dinubuatkan oleh Nabi Muhammad ? Jika benar, kita patut melakukan diagnosa yang menyeluruh, untuk menemukan sumber penyakitnya, dan kemudian kita lakukan terapi kausalis dan simptomatis sekaligus! Tujuannya, agar penyakit itu tidak kambuh lagi di masa depan. Allahu A’lam.*/Depok, 4 Desember 2015
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com