Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Dr. Adian Husaini
Jadi, sejak duduk di bangku SMP, anak-anak kita sudah dijejali dengan pola pandang yang materialistik dan sekuleristik. Padahal, para pejabat, guru, dan para siswa itu hafal betul isi syair lagu Indonesia Raya: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!” Di mana letak kemajuan pembangunan jiwa diletakkan sebagai salah satu kriteria dalam menentukan kemajuan bangsa? Harusnya, bangsa Indonesia memiliki konsep Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) yang berbeda dengan konsep negara-negara sekuler.
Sungguh tampak aneh, sejak duduk dibangku SMP, anak-anak sudah dijejali pemahaman yang menyatakan, bahwa kemajuan satu bangsa dikaitkan semata-mata dengan kesadaran hukum, kesetaraan gender, dan penghormatan terhadap HAM. Tidak ada aspek keimanan dan akhlak yang dijadikan kriteria kemajuan insan dan bangsa kita. Padahal, aspek iman dan akhlak itu ditegaskan dalam UUD 1945 dan UU Sisdiknas. Dalam al-Quran ditegaskan bahwa negara yang baik (maju) adalah negara yang rakyatnya beriman dan bertaqwa. Negara seperti itulah yang dijanjikan akan diberi limpahan berkah Allah dari langit dan bumi (QS 7:96).
Orang yang beriman pastilah orang yang sadar hukum, bersikap adil pada sesama, dan menghormati hak-hak manusia, sesuai dengan ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang beriman dan berkhlak mulia, pasti tidak mau korupsi atau mengambil hak orang lain. Penguasa yang taqwa pastilah lebih mementingkan kebutuhan rakyatnya ketimbang kepentingan dirinya sendiri. Dibuangnya aspek iman dan akhlak dalam pelajaran semacam ini menunjukkan masih adanya penyimpangan materi ajar di sekolah dari landasan konsttitusional dan juridis formal Pendidikan Nasional.
Menyimak fakta-fakta semacam itu, maka menjadi tanggung jawab orang tua untuk memberikan pemahaman yang benar kepada anak-anaknya, agar mereka tidak keliru dalam memahami dirinya, tujuan hidupnya, dan juga kewajiban kehidupannya di dunia ini. Sebab, sabda Nabi Muhammad saw, setiap anak lahir dalam kondisi fithrahnya. Orang tualah yang bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya, sehingga menjadikan anak-anaknya sebagai Majuzi, Yahudi, atau Nasrani.
Dalam kaitan inilah, orang tua tidak boleh terjebak dalam paham sekolahisme. Orang tua tidak boleh hanya sibuk memikirkan dan mencari sekolah untuk anak-anaknya, dan merasa kewajibannya mencari ilmu telah selesai, bersama selesainya program kuliah di Perguruan Tinggi. Orang tua harus tetap sibuk memikirkan kurikulum untuk dirinya sendiri, bukan hanya memikirkan kurikulum pendidikan anak-anaknya.
Orang tua wajib terus mencari dan berburu ilmu, khususnya ilmu-ilmu fardhu ‘ain untuk dapat menjaga dan menguatkan iman, melaksanakan ibadah dengan benar, meningkatkan kualitas akhlak mulia, ilmu untuk membersihkan jiwanya (tazkiyatun nafs), dan juga ilmu untuk dapat mendidik anak-anaknya dengan baik dan benar. Suami-istri sebaiknya berbagi tugas dalam thalabul ilmi, jika mereka sangat sibuk dalam urusan mencari nafkah. Sebab, mencari ilmu seperti itu sama wajibnya dengan kewajiban mencari nafkah keluarga.
Dalam kesempatan berdialog dengan sejumlah aktivis pengajian di Bangkok, seusai shalat subuh di sebuah masjid, saya menyampaikan pentingnya kita memahami sejarah dengan benar. Sebagian besar isi al-Quran adalah sejarah. Pemahaman sejarah yang benar akan memberikan arah yang benar pula bagi kita – baik sebagai individu muslim, keluarga, atau pun sebagai bangsa. Bahwa, sesuai penjelasan al-Quran, kita adalah keturunan Nabi, bukan keturunan monyet. Tugas Nabi berbeda dengan tugas monyet. Para Nabi berjuang membangun peradaban tinggi, yakni peradaban Tauhid, yang membebaskan manusia dari perhambaan terhadap hawa nafsu, setan, atau pun penguasa-penguasa zalim.
Al-Quran mengajarkan, bahwa garis sejarah kaum muslimin – dimana pun berada — adalah sejarah perjuangan para Nabi. Para ulama dan pejuang yang datang ke Nusantara ini memenuhi panggilan Rasulullah saw untuk menyampaikan Risalah Kenabian kepada seluruh umat manusia. Karena itulah, mereka sangat bersungguh-sungguh dan terencana dalam melaksanakan dakwah di seluruh pelosok Nusantara.
Sungguh prestasi dakwah yang luar biasa, wilayah seluas ini, dengan ribuan pulau, ratusan suku dan bahasa, bisa disatukan dengan satu agama dan satu bahasa (Melayu-Indonesia). Prof. Dr. Naquib al-Attas, dalam bukunya, Historical Fact and Fictions (Casis-UTM, 2013), telah menjelaskan dengan terperinci, betapa sistematisnya proses Islamisasi di wilayah Nusantara ini. Proses dakwah di Nusantara ini tidak berlangsung sambilan, disampaikan para pedagang dari Gujarat, seperti yang digambarkan pada sebagian buku pelajaran.
Dengan memahami sejarah yang benar seperti itu, maka anak-anak didik kita di sekolah, seharusnya memahami, bahwa tugas dan kewajiban mereka yang utama adalah melanjutkan perjuangan para Nabi dan para ulama untuk menegakkan peradaban Tauhid; bukan justru menjadi bagian upaya pelestarian peradaban syirik dan kemaksiatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sungguh ironis, jika anak-anak muslim terjebak ke dalam pemahaman yang salah tentang sejarah, sehingga tidak memahami tujuan dan tugas hidupnya yang hakiki. Jelas ini menjadi tanggung jawab orang tua; bukan hanya tanggung jawab guru dan pemerintah.
Dalam kesempatan pengajian di KBRI Bangkok, saya menyampaikan harapan, semoga para pemimpin negara kita yang muslim, tidak segan-segan untuk menjadikan nilai-nilai dan ajaran Islam dalam merumuskan kebijakan pendidikan dan pembangunan pada umumnya. Khususnya yang terkait dengan umat Islam. Sebab, itulah amanah Pancasila, dan juga amanah konstitusi, dan lebih penting lagi, itu adalah amanah Tuhan Yang Maha Esa. Sungguh tidak mudah dicerna akal sehat, jika kita mengaku beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi menolak menjadikan wahyu-Nya (al-Quran) sebagai dasar dan sumber dalam merumuskan kebijakan pendidikan.
Di akhir sesi pengajian, saya sempat menyampaikan kata-kata penutup: “InsyaAllah, jika saya menjadi Presiden tahun 2019 nanti, saya akan ubah kebijakan pendidikan nasional, agar sesuai dengan konsep-konsep yang dicontohkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassalam.”
Meskipun saya agak bercanda, ternyata banyak juga yang mengaminkan kata-kata saya itu. Tentu saja, saya paham diri saya dan apa yang saya ucapkan itu.
Itulah sejumlah masalah yang saya sampaikan dalam beberapa acara silaturrahim dengan warga muslim di Bangkok. Waktu terasa sangat singkat. Banyak hal yang belum sempat didiskusikan lebih mendalam. Semoga di waktu lain ada kesempatan untuk bersilatrrahim kembali.
Alhamdulillah, catatan ini ditulis dalam penerbangan Bangkok-Cengkareng, dan selesai tepat ketika pesawat dari Bangkok bersiap-siap mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, pukul 21.17 WIB. (Bangkok-Jakarta, 14/2/2016).*
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com