Puasa Arafah dan Asyura adalah dua momentum agung yang menghubungkan awal dan akhir tahun hijriah dengan ketaatan, sebagai wujud kesinambungan risalah para nabi dan peneguhan identitas umat Islam
Oleh: Muh. Kurdi Arifin
Hidayatullah.com | BULAN MUHARRAM bukan sekadar pembuka kalender Hijriah. Ia adalah simbol pembuka lembaran baru dalam kehidupan spiritual seorang Muslim. Tidak heran jika Muharram kerap dikaitkan dengan kelahiran kembali manusia yang suci, sebagaimana para jamaah haji pulang dari tanah suci dalam keadaan bersih dari dosa, layaknya bayi yang baru lahir.
Momentum ini selaras dengan sejarah ditetapkannya penanggalan Islam oleh Khalifah Umar bin Khattab. Kalender Islam dimulai dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad ﷺ, meski secara fisik hijrah ke Madinah terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal. Penetapan dimulai dari Muharram karena perencanaan hijrah telah dimulai pada bulan Dzulhijjah, saat terjadinya Bai’atul ‘Aqabah.
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari menjelaskan bahwa awal gerakan hijrah bermula pada Dzulhijjah, dan Muharram menjadi bulan pertama umat Islam mulai melangkah dalam lembaran baru itu.
Imam al-Baihaqi juga meriwayatkan bahwa Allah bersumpah dalam surah Al-Fajr:
وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Demi fajar. Dan demi malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1–2)
Menurut beliau, fajar di ayat ini adalah fajar pada hari pertama bulan Muharram, menandai munculnya cahaya hidayah dari hijrah Nabi ﷺ — cahaya yang menerangi seluruh perjalanan umat Islam hingga kini.
Dalam Lathaif al-Ma’arif, Imam Hasan al-Bashri mengatakan:
إِنَّ اللَّهَ افْتَتَحَ السَّنَةَ بِشَهْرٍ حَرَامٍ وَخَتَمَهَا بِشَهْرٍ حَرَامٍ، وَلَيْسَ شَهْرٌ فِي السَّنَةِ بَعْدَ رَمَضَانَ أَعْظَمَ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ مُحَرَّمٍ
“Sesungguhnya Allah memulai dan menutup tahun dengan bulan yang suci. Tidak ada bulan yang lebih agung setelah Ramadhan selain bulan Muharram.”
Muharram bahkan dijuluki “Syahrullāh al-Aṣamm” (Bulan Allah yang Bisu) — karena kerasnya larangan maksiat di dalamnya, sampai seolah-olah bulan ini diam dari segala dosa.
Keutamaan Puasa di Bulan Allah: Muharram
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ
“Puasa paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram.” (HR. Muslim, no. 1163)
Imam An-Nawawi menyimpulkan bahwa ini menunjukkan keutamaan besar puasa sunnah di bulan Muharram. Maka, siapa yang menutup tahun dengan puasa Dzulhijjah dan membuka tahun dengan puasa Muharram, berarti telah mengisi awal dan akhir tahun dengan ketaatan.
“Barangsiapa yang memulai dan mengakhiri sesuatu dengan kebaikan, maka diharapkan seluruh pertengahannya akan dicatat sebagai kebaikan.”
Dua Momentum Besar
Rasulullah ﷺ bersabda:
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ، وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
“Puasa hari Arafah menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang, sedangkan puasa hari Asyura menghapus dosa setahun yang lalu.”
(HR. Muslim, no. 1162)
Mengapa Arafah lebih utama? Karena hari Arafah adalah harinya Nabi Muhammad ﷺ, sedangkan Asyura adalah harinya Nabi Musa dan Nabi Nuh ‘alaihimassalam. Maka keutamaannya pun berbeda, sesuai dengan maqam kenabian masing-masing.
Asal-usul Puasa Asyura: Warisan Para Nabi
Ibnu Abbas RA meriwayatkan:
قَدِمَ النَّبِيُّ ﷺ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ: مَا هَذَا؟ قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ، هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ، فَصَامَهُ مُوسَى، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: أَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ، فَصَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
“Ketika Nabi tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya, ‘Hari apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Ini hari Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa sebagai tanda syukur.’ Lalu Nabi berkata, ‘Aku lebih berhak mengikuti Musa daripada kalian.’ Maka beliau berpuasa dan memerintahkan umat Islam untuk ikut berpuasa.”(HR. Bukhari, no. 3943).
Riwayat lain menyebutkan bahwa pada hari itu pula kapal Nabi Nuh berlabuh di Gunung Judi, dan beliau juga berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah.
Untuk membedakan dengan kaum Yahudi, Rasulullah ﷺ bersabda:
لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
“Jika aku masih hidup hingga tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan (Tasua).” (HR. Muslim, no. 1134)
Meskipun beliau wafat sebelum sempat melaksanakannya, para ulama menyunnahkan puasa:
- Tanggal 9 dan 10 (Tasua & Asyura), atau
- Tanggal 10 dan 11
- Minimal: tanggal 10 saja (Asyura)
Hikmah Kesinambungan Dua Puasa Ini
Puasa Arafah dan Asyura menunjukkan kesinambungan risalah kenabian: dari Nuh dan Musa hingga Muhammad ﷺ. Ini menjadi bukti bahwa Islam menghormati sejarah kenabian terdahulu sekaligus memperkuat identitas umat Islam dengan penyesuaian syariat yang lebih sempurna.
Menariknya, Rasulullah ﷺ tidak melaksanakan puasa Arafah saat Haji Wada’ karena beliau sedang wukuf. Ini isyarat penting bahwa puasa ini bukan wajib, tetapi sunnah yang sangat dianjurkan.
فَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Maka ikutilah dia (Nabi Muhammad), agar kamu mendapat petunjuk.”(QS. Al-A’raf: 158)
Penutup
Mari kita isi dua momentum ini — puasa Arafah dan Asyura — sebagai penutup dan pembuka tahun yang penuh ketaatan. Karena sebagaimana awal dan akhir ditulis dengan kebaikan, maka di antara keduanya pun akan penuh dengan rahmat Allah.*
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Asy-Syarif, Kairo, Mesir