Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Dr. Adian Husaini
Tentu saja, nasehat ini juga begitu berharga untuk kita semua. Betapa pentingnya masalah niat mencari ilmu itu mendapatkan perhatian kita. Sebab, hadits Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam pun mengingatkan, bahwa sesungguhnya nilai suatu amal itu bergantung pada niatnya. Perbuatan bisa sama bentuknya. Tetapi, niat yang berbeda, menjadikan nilai amal itu berbeda pula. Sama-sama berjilbab; yang satu berjilbab karena terpanggil oleh kesadaran kewajiban menutup aurat; satu lagi berjilbab karena tuntutan peran dana syuting sinetron.
Karena itu, hati-hatilah dalam soal niat mencari ilmu. Sama-sama nyantri, sama-sama sekolah, sama-sama kuliah, belum tentu nilai dan hasilnya sama. Itu tergantung niat mencari ilmu. Di dalam kitabnya, al-‘Ilmu, Syaikh Amin al-Hajj al-Sudaniy menekankan pentingnya keikhlasan niat dalam mencari ilmu, baik bagi murid maupun guru. Sebab, ikhlas adalah asas setiap perbuatan, dan Allah tidak menerima amal yang mengandung unsur syirik. (QS 98:5).
Beberapa hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam mengingatkan, bahwa siapa yang mencari ilmu untuk mencari kehebatan di kalangan ulama dan mencari pujian di kalangan manusia, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka. Rasulullah Shalallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “Siapa yang mencari ilmu yang sepatutnya ditujukan untuk mencari keridhaan Allah, lalu ia mencarinya hanya untuk kepentingan dunia semata, maka ia tidak akan mencium bau sorga di Hari Kiamat.” (HR Abu Dawud).
Beberapa tahun lalu saat mengisi sebuah acara khutbatul wada’ di sebuah Pesantren di Garut, pimpinan Pesantren bercerita bahwa guru beliau dulu sangat enggan memberikan ijazah kepada santri-santrinya. Pernah, katanya, sang guru memberikan ijazah sambil berkata, “Mudah-mudahan ijazah ini tidak laku!” Kiai tersebut melakukan tindakan itu karena khawatir ilmu yang telah diberikan akan digunakan tidak pada tempatnya. Ilmu bukan untuk beribadah kepada Allah, menegakkan ajaran Islam, tetapi digunakan untuk mencari keuntungan dunia.
Di buku biografi KH Imam Zarkasyi, salah satu pendiri Pesantren Gontor Ponorogo, dikisahkan, ada seorang santri yang sudah lulus, lalu ditanya oleh Sang Kiai, “Apa kamu sudah mengajar?” Dijawab oleh santri, “Belum, Pak Kiai!” Maka, keluarlah pernyataan tajam Pak Kiai, “ Mati kamu!”
Itu bermakna, Kiai tidak ridho jika ilmu yang sudah diajarkan di pesantren tidak diamalkan dan diajarkan oleh para santri. Karena itu, kita jumpai satu tradisi yang baik di pondok-pondok pesantren dulu, bahwa “sejelek-jeleknya santri, jika pulang ke kampungnya, cita-citanya adalah mengajarkan ilmunya.” Tradisi semacam inilah yang selama beratus-ratus tahun menghidupkan budaya ilmu dan dakwah di tengah masyarakat kita. Betapa pun penjajah kafir berusaha mengganti agama penduduk Indonesia, masyarakat muslim tetap lebih taat kepada Kiai ketimbang kepada penguasa.
Demi waktu
وَالْعَصْرِ
إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi waktu, sungguh manusia itu dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan saling menasehati dalam kebenaran dan dalam kebenaran.” (QS: al-‘Ashr).
Kita sangat akrab dengan Surat al-‘Ashr tersebut. Betapa berharganya waktu bagi kita, dan bagi manusia. Karena itu, sangatlah aneh, jika dalam sistem pendidikan kita, anak-anak kita diajari berbagai ilmu yang tidak bermanfaat dan mereka dipaksa selama bertahun-tahun menjadi anak-anak. Padahal mereka, sejatinya, sudah dewasa (akil-baligh).
Kini, karena mengikuti konsep psikologi perkembangan yang “aneh”, anak-anak pada jenjang pendidikan SMP-SMA, dipaksa untuk menjadi anak-anak. Mereka dianggap sebagai “remaja” yang (harus) labil kejiwaannya dan (dianggap) belum bisa menentukan sikap sendiri. Ini aneh. Sebab, labil atau tidaknya jiwa seseorang tergantung dari proses pendidikan yang diterimanya. Lucunya, meskipun sudah bisa memperkosa dan membunuh dengan biadab, masih juga dianggap sebagai anak-anak.
Seharusnya, sistem pendidikan nasional kita konsisten dengan tujuan Pendidikan Nasional, yaitu membentuk manusia beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, dan seterusnya. Untuk mencapai tujuan itu, maka haruslah disusun kurikulum pendidikan yang berbasis kepada wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Jika tujuannya membentuk manusia beriman dan bertaqwa, maka logikanya, kurikulum yang disusun adalah “kurikulum taqwa”. Yakni, kurikulum yang mengarahkan anak didik menjadi manusia beriman dan taqwa. Itulah manusia yang mulia.
Selanjutnya, Standar kompetensi lulusan setiap jenjang pendidikan, juga ditentukan berdasarkan ketentuan standar adab dan ilmu yang ditentukan oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Itu yang paling utama. Jika tidak begitu, lalu untuk apa Tuhan Yang Maha Esa dibawa-bawa dalam Konstitusi dan UU Pendidikan Nasional? Bukankah Tuhan Yang Maha Esa telah mengirim utusan-Nya yang terakhir untuk menjadi suri tauladan (uswah hasanah) dan rahmah untuk seluruh manusia?
Karena itulah, mengingat begitu berharganya WAKTU bagi anak-anak kita, seharusnya kita berpikir serius, selama 14 tahun anak-anak menempuh pendidikan (TK-SD-SMP-SMA), ilmu apakah yang sudah mereka dapatkan? Apakah masa belajar yang begitu panjang itu lebih banyak digunakan untuk meraih ilmu yang bermanfaat atau bahkan ilmu yang tidak bermanfaat dan merusak? Adalah sangat menyedihkan, jika sampai lulus pendidikan tingkat SMA, anak-anak muslim masih belum tahu, ilmu apa yang harusnya dia cari ketika memasuki jenjang pendidikan tinggi!
Cobalah kita pikirkan, ratusan juta rupiah telah digelontorkan untuk biaya sekolah; bertahun-tahun anak-anak diajar dan dilatih menjawab soal-soal ujian supaya bisa diterima di Perguruan Tinggi favorit; tetapi kemudian, ketika ditanya, untuk kamu kuliah, mau kemana setelah kuliah, dan sebagainya, si anak tidak mampu menjawab dengan baik. Lebih memilukan jika bertahun-tahun belajar di sekolah, dia tidak mengenal asal-usulnya sendiri, tidak mencintai Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, tidak kenal sahabat Nabi, tidak kenal para ulama dan para tokoh pendidikan Islam.
Adalah ironis, anak-anak muslim diwajibkan memperingati Maulid Ki Hadjar Dewantara setiap 2 Mei, tetapi tidak mengenal sosok dan perjuangan para tokoh pendidikan sejati seperti Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Yusuf Maqassari, KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Buya Hamka, Mohammad Natsir, KH Imam Zarkasyi dan sebagainya.
Jadi, kembali kepada nasehat Imam al-Ghazali, bahwa diantara tanda-tanda berpalingnya Allah dari seseorang, adalah orang itu menyibukkan diri dalam hal yang tidak bermanfaat. Maka, betapa berartinya sang waktu. Jangan sampai anak-anak mendapatkan pendidikan yang begitu banyak buang-buang waktu percuma; mempelajari ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat; yang ujung-ujungnya mencetak generasi bingung, generasi aji-mumpung, dan generasi lemah bermental “lempung”.
Ingatlah pesan penyair terkenal Mohammad Iqbal:
“Oleh sebab wujudmu belum masak,
Kau menjadi hina-terlempar
Oleh sebab tubuhmu lunak,
Kau pun dibakar orang,
Jauhilah ketakutan, duka dan musuh hati,
Jadilah kuat seperti batu, jadilah intan.”
(Dr. Moh. Iqbal, dari puisi bertajuk “Kisah Intan dan Batu Arang”, terjemah Kol. Drs. Bahrum Rangkuti dalam buku Asrari Khudi, Rahasia-Rahasia Pribadi, (Jakarta: Pustaka Islam, 1953). (Yogyakarta, 13 Juli 2016).*
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com