Sambungan artikel Pertama
Oleh: Dr. Adian Husaini
Perhatikanlah bagaimana bangsa-bangsa penjajah Kristen yang telah menaklukkan negeri-negeri Islam, yang mula-mula mereka kerjakan dengan sungguh-sungguh ialah mengajarkan bahasa mereka, supaya rakyat Islam yang terjajah itu berpikir dalam bahasa bangsa yang menjajah, lalu mereka lemah dalam bahasa sendiri dan terpengaruh dengan peradaban dan kebudayaan bangsa Kristen yang menjajahnya itu. Kian lama kian hilanglah kepribadian umat yang terjajah tadi, hilang pokok asalnya berpikir dan hilang perkembangan bahasanya sendiri. Lalu yang dipandangnya tinggi ialah bangsa yang menjajahnya itu. Hal ini telah kita alami di zaman penjajahan Belanda di Indonesia dan penjajahan Perancis di Afrika Utara, dan penjajahan Inggris di Tanah Melayu dan India. Maka orang yang pangkalannya berpikir masih dalam Islam, merasa rumitlah menghadapi orang-orang yang mengaku Islam ini, sebab dan telah berpikir dari luar Islam.
Bertahun-tahun lamanya kita yang memperjuangkan Islam musti memberikan kepada mereka keterangan agama sepuluh kali lebih sulit daripada memberi keterangan kepada seorang Amerika atau Eropa yang ingin memeluk Islam. Sebab rasa cemooh kepada agama, sinis, acuh tak acuh telah memenuhi sikapnya; mereka itu menamai dirinya Kaum Intelek yang meminta keterangan agama yang masuk akal.
Padahal akalnya itu telah dicekok oleh didikan asing, sehingga kebenaran tidak bisa masuk lagi. Kadang-kadang terhadap orang seperti ini, seorang Muslim yang taat harus bersikap seperti “Menatang minyak penuh”, sebab batinnya pantang tersinggung. Bukan akal mereka yang benar cerdas atau rasionalis melainkan jiwa mereka yang telah berubah, sehingga segala yang bagus adalah pada bangsa yang menjajah mereka, dan segala yang buruk adalah pada pemeluk agamanya sendiri.
Orang semacam inilah yang disebutkan oleh Ibnu Khaldun didalam Muqaddimah tarikhnya, (Pasal ke II, Kitab Pertama, no. 23). Kata beliau, “Orang yang kalah selalu meniru orang yang menang, baik dalam lambangnya, atau dalam cara berpakaian, atau kebiasaannya dan sekalian gerak-gerik, dan adat-istiadatnya. Sebabnya ialah karena jiwa itu selalu percaya bahwa kesempurnaan hanya ada pada orang yang telah mengalahkannya itu. Lalu dia menjadi penurut, peniru. Baik oleh karena sudah sangat tertanam rasa pemujaan atau karena kesalahan berpikir, bahwa keputusan bukanlah karena kekalahan yang wajar, melainkan karena tekanan rasa rendah diri yang menang selalu benar!”
Barangsiapa yang mengangkat pemeluk agama lain itu jadi pemimpin tidaklah berarti bahwa mereka mengalih agama. Agama Islam kadang-kadang masih mereka kerjakan, tetapi hakikat Islam telah hilang dari jiwa mereka. Saking tertariknya dan tergadainya jiwa mereka kepada bangsa yang memimpinnya tidaklah mereka keberatan menjual agama dan bangsanya dengan harga murah.
Ketika Belanda sudah sangat kepayahan menghadapi perlawanan rakyat Aceh mempertahankan kemerdekaan mereka sehingga nyaris gagal maka yang menunjukkan cara bagaimana memusnahkan dan mematahkan perlawanan itu ialah seorang jaksa beragama Islam yang didatangkan dari luar Aceh. Dia memberikan advis supaya Belanda mendirikan tentara Marsose yang selain dari memakai bedil dan kelewang, hendaklah mereka memakai rencong juga, sebagaimana orang Aceh itu pula, buat memusnahkan pahlawan Muslimin Aceh yang masih bertahan secara gerilya. kononnya beliau dalam kehidupan pribadi adalah seorang Islam yang taat shalat dan puasa. dan dia mendapat bintang Willemsorde dari Belanda karena jasanya menunjukkan rahasia-rahasia umatnya seagama itu.
Orang seperti ini banyak terdapat dalam sejarah. Negerinya hancur, agamanya terdesak dan buat itu dia diberi balas jasa, yaitu bintang! Maka tepatlah apa yang dikatakan oleh sahabat Rasulullah saw tadi, yaitu mereka telah menjadi Yahudi, dan disini telah menjadi Nasrani, padahal mereka tidak sadar.”
“Sesungguhnya Allah tidaklah memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (ujung ayat 51)
Maka orang yang telah mengambil Yahudi atau Nasrani menjadi pemimpinnya itu nyatalah sudah zalim. Sudah aniaya, sebagaimana kita maklum kata-kata zalim itu berasal dari zhulm, artinya gelap. mereka telah memilih jalan hidup yang gelap, sehingga terang dicabut Allah dari dalam jiwa mereka. mereka telah memilih musuh kepercayaan, meskipun bukan musuh pribadi. padahal di dalam surah al-Baqarah ayat 120 telah diperingatkan Allah bahwa Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha, selama-lamanya tidaklah mereka ridha, sebelum umat Islam menuruti jalan agama mereka. Mereka itu bisa senang pada lahir, kaya dalam benda, tetapi umat mereka jadi melarat karena kezaliman mereka. Lantaran itu selamanya tidak akan terjadi kedamaian.”
****
Demikian penjelasan Buya Hamka tentang makna QS al-Maidah:51. Selama puluhan tahun, tidak ada satu makhluk pun di Indonesia yang menuduh Buya Hamka telah membohongi dan membodohi umat Islam, menggunakan QS al-Maidah:51. Barulah, pada 27 September 2016, beredarlah pidato di Pulau Seribu yang sangat bersejarah itu. Ini masalah serius. Masalah iman Islam, dan masalah kehormatan al-Quran dan para pewaris Nabi. Terlalu remeh, jika kasus ini dikaitkan dengan Pilkada DKI.
Siapakah manusia-manusia yang dengan suka cita dan bangga telah menjadikan kaum Yahudi-Nasrani sebagai pemimpin, dengan mengabaikan kaum muslimin? Jawabannya, ada pada ayat berikutnya: “Maka akan engkau lihat orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, berlomba-lombalah mereka kepada mereka, berkata mereka: “Kami takut bahwa akan menimpa kepada kami kecelakaan.” Maka moga-moga Allah akan mendatangkan kemenangan atau suatu keadaan dari sisi-Nya. Maka jadilah mereka itu, atas apa yang mereka simpan-simpan dalam hati mereka, menjadi orang-orang yang menyesal.” (QS al-Maidah: 52).
Buya Hamka menjelaskan makna ayat ini: “Inilah kalimat yang tepat. Bahwasanya yang mau menjadikan Yahudi dan Nasrani menjadi pimpinan, tidak lain daripada orang yang di dalam hatinya telah ada penyakit. Penyakit, terutama yang pertama ialah munafik. Yang kedua ialah agamanya itu hanya sekedar nama sebutan belaka, sebab mereka kebetulah keturunan orang Islam. Bagi mereka sama saja, apakah pimpinan itu Islam atau Yahudi atau Nasrani, asal ada jaminan hidup. Bahkan, sampai kepada zaman kita telah merdeka sekarang ini, masih belum sembuh benar penyakit itu.”
Setelah kasus Basuki Tjahaja Purnama, semoga nanti tidak muncul pula orang-orang yang mengaku munafik dan menuduh Buya Hamka serta para ulama Islam telah membohongi umat Islam dengan memakai al-Maidah:52. Namun, kita pun diingatkan al-Quran, agar tidak perlu risau dengan berbagai ucapan aneh-aneh yang mengajak kepada keraguan dan kekufuran. Mereka akan berhadapan dengan Allah. “Maka janganlah ucapan mereka itu merisaukan kamu. Sesungguhnya Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan.” (QS Yasin: 76).
Kewajiban kita hanyalah mengingatkan, melanjutkan misi dakwah para Nabi. Kita akan bertanggung jawab terhadap pilihan dan amal perbuatan kita masing-masing. Wallahu A’lam.*/ Depok, 13 Oktober 2016
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com