Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Dr Adian Husaini
Dalam menjalankan misinya, van Lith pun sangat fanatik terhadap budaya dan bahasa Jawa sembari mengritik keras pengembangan bahasa Melayu di Jawa. Padahal, saat itu, bahasa Melayu semakin menjadi sarana penting untuk menumbuhkan identitas nasional di antara gerakan-gerakan nasional. Akan tetapi, menurut van Lith, bahasa Melayu tidak akan berkembang, dan perannya akan digantikan dengan bahasa Belanda. Dalam sebuah kongres bahasa Jawa, van Lith memperingatkan agar orang Jawa berbangga dengan bahasa Jawa dan menghapus bahasa Melayu dari sekolah-sekolah. Ia berpegang pada pepatah: “sebuah bangsa yang tidak memiliki karya sastranya sendiri akan tetap tinggal sebagai bangsa kelas dua.” (Ibid, hal. 173).
Saat Kristen atau Katolik menjalankan misinya di Tanah Jawa, sebenarnya penduduk Jawa sudah muslim. Setidaknya, budaya Islam sudah berakar di Tanah Jawa. Bahkan, pemerintah penjajah Belanda pun menganggap “semua Jawa adalah muslim”. Karena itu, Belanda hanya memberikan wewenang kepada penghulu untuk mencatat perkawinan di Jawa. Ketika itu, pemuda Jawa yang berpindah agama menjadi Kristen/Katolik sampai mengalami kesulitan dalam mengurus pencatatan perkawinan. Dalam suratnya kepada Mgr. E. Luypen, tahun 1902, van Lith menyebutkan, bahwa pemuda Katolik yang menikah akhirnya meninggalkan Gereja Katolik karena setelah perkawinan mereka, “mereka menjadi bagian dari kawanan muslim.” Untuk itu, van Lith meminta ijin pemerintah Belanda, agar ia dibolehkan melakukan pencatatan perkawinan. (Ibid, hal. 234-235).
Contoh lain kuatnya pengaruh Islam dalam budaya Jawa adalah masalah khitan. Kaum Katolik pada umumnya, berpegang kepada surat Paulus kepada penduduk Galatia (Gal 5, 2): “Sesungguhnya aku, Paulus, berkata kepadamu: jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu.” Dengan berbagai pertimbangan, van Lith tidak menentang praktik sunat di kalangan Katolik di Jawa, karena sunat itu tidak lagi memiliki makna keagamaan. Akan tetapi, van Lith menentang tambahan doa Arab dalam sunatan atau sunat sebagai bentuk pertobatan menjadi Muslim.
Sejak tahun 1876, seluruh misi Katolik dipercayakan kepada Jesuit Belanda meskipun Vikarisnya masih tetap seorang diosesan. Tahun 1893, diangkatlah seorang Jesuit, Mgr. W. Staal, sebagai Vikaris Batavia. Saat itu ada sekitar 30 Jesuit yang bekerja di wilayah Indonesia. “Mgr. Soegijapranata merupakan salah satu dari Jesuit-jesuit pertama yang lulus dari Kolese Xaverius Mantilan.” (hal. 91)
Mgr. I. Suharyo, dalam tulisannya bertajuk “Refleksi Perjalanan dan Arah ke Depan Keuskupan Agung Semarang” menyebutkan bahwa Soegija sangat mencitakan terwujudnya Gereja yang mengakar dalam budaya setempat. Tahun 1956, Soegija mengizinkan penerimaan sakramen baptis dengan menggunakan bahasa Jawa atau Indonesia. “Kesenian tradisional seperti wayang, ketoprak, slawatan digunakan sebagai media untuk pewartaan. Gamelan dianjurkan digunakan dalam liturgi. Segala usaha ini didukung dengan memajukan bidang pendidikan yang tetap sebagai bidang pelayanan yang akan berdampak jauh ke masa depan.”
Lalu, disimpulkan: “Yang dicita-citakan adalah Gereja yang dengan bahasa Injil, benar-benar menjadi garam di dalam masyarakat. Dan tidak boleh dilupakan, Gereja di wilayah Keuskupan Agung Semarang ini berkembang secara menakjubkan berkat darah para martir yang telah menyuburkan benih-benih iman, harapan, dan kasih Kristiani yang telah disebarkan oleh begitu banyak orang.” (Lihat buku Bercermin pada Wajah-wajah Keuskupan Gereja Katolik Indonesia, ed. Dr. F.Hasto Rosariyanto SJ, Yogya: Kanisius, 2001, hal. 292).
Demikianlah semangat misi Kristen untuk mengubah agama orang Jawa, dari Islam menjadi Kristen. Berbagai cara telah dan terus digunakan untuk menjalankan misi tersebut, khususnya dengan media budaya Jawa. Tokoh utamanya adalah Frans van Lith. Kini, tokoh pemurtadan orang Muslim di Jawa itu diberi penghargaan oleh Kementerian Pendidikan dan Budaya RI, karena dianggap berjasa dalam pengembangan budaya di Indonesia.
Kaum Muslim senantiasa memandang bahwa upaya-upaya penyesatan atau pemurtadan terhadap kaum Muslim adalah hal yang sangat serius, karena terkait dengan keselamatan iman. Disebutkan dalam al-Quran, yang artinya: “Dan mereka akan selalu memerangi kamu, sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), jika mereka sanggup.” (QS Al Baqarah:217). “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi penyesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka jahannam orang-orang kafir itu akan dikumpulkan.” (QS Al Anfal:36).
Dalam menafsirkan ayat tersebut, Prof. Hamka menulis dalam Tafsir al-Azhar Juzu’ IX):
“Perhatikanlah betapa zending dan misi Kristen dari negara-negara Barat memberi belanja penyebaran agama Kristen ke tanah-tanah dan negeri-negeri Islam. Diantara penyebaran Kristen dan penjajahan Barat terdapat kerjasama yang erat guna melemahkan keyakinan umat Islam kepada agamanya. Sehingga ada yang berkata bahwa, meskipun orang Islam itu tidak langsung menukar agamanya, sekurang-kurangnya bila mereka tidak mengenal agamanya lagi, sudahlah suatu keuntungan besar bagi mereka. Jika bapa-bapanya dan ibu-ibunya masih saja berkuat memegang iman kepada Allah dan Rasul, moga-moga dengan sistem pendidikan secara baru, jalan fikiran si anak hendaknya berubah sama sekali dengan jalan fikiran kedua orang tuanya.”
Semoga umat Islam Indonesia bisa mengambil hikmah dari kisah sejarah Frans van Lith ini. Sebab, umat Islam juga mendapat amanah untuk melanjutkan dakwah para Nabi; yakni menegakkan kalimah Tauhid, dan meruntuhkan kemusyrikan atau kekufuran. Namun, umat Islam perlu paham, bahwa kaum Kristen/Katolik juga merasa berkewajiban menyebarkan agama mereka. Bahkan, semangat untuk mengkristenkan Indonesia begitu besar digelorakan oleh kaum Kristen evangelis.
Sebuah buku berjudul Transformasi Indonesia: Pemikiran dan Proses Perubahan yang Dikaitkan dengan Kesatuan Tubuh Kristus (Jakarta: Metanoia, 2003), menulis, bahwa Indonesia kini telah siap melakukan transformasi menjadi Kristen. Katanya, kesempatan emas saat ini tidak boleh disia-siakan, karena batas waktunya bisa lewat, sebagaimana pernah terjadi di masa Soeharto:”Tuhan memberikan kesempatan yang luar biasa kepada orang Kristen dan China, karena pada waktu Suharto menjadi Presiden, ia begitu dekat dengan orang Kristen dan China. Kesempatan demi kesempatan diberikan kepada orang China dan Kristen untuk melakukan bisnis di berbagai bidang. Trio RMS (Radius, Mooy, Sumarlin) di bidang ekonomi beragama Kristen. Itu kesempatan yang diberikan kepada orang Kristen supaya bangsa ini menjadi bangsa yang mengenal Tuhan, tetapi orang Kristen dan gereja tidak siap, sehingga pada tahun 1990-an, waktu Suharto melirik kelompok lain, kelompok tersebut menuding bahwa dua kelompok (Kristen dan China) adalah biang keladi segala persoalan yang ada.” (hal. 45).
Kaum Kristen misionaris ini pun menegaskan: ”Umat Tuhan harus setia memberikan yang terbaik, baik uang, pikiran, daya, atau apa pun dan menyerahkannya kepasa Tuhan agar Ia menjamahnya sehingga terjadi multiplikasi sumber daya yang luar biasa. Umat Tuhan, inilah waktunya. Inilah saatnya janji Tuhan digenapi di Indonesia.” (hal. 51)
Semoga Allah Subhanahu Wata’ala menyelamatkan umat dan bangsa Indonesia dari paham-paham dan gerakan pemurtadan. Amin.*/Surabaya, 23 September 2016
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com