Oleh: Dr. Adian Husaini
Hidayatullah.com | RENCANA Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor untuk memakai nama KH Abdullah bin Nuh akhirnya dibatalkan. Rabu (16/6/20201) malam ini, saya menerima kiriman pernyataan KH Musthafa Abdullah bin Nuh, bahwa GKI Yasmin Bogor batal memakai nama KH Abdullah bin Nuh.
Pernyataan KH Musthafa – Ketua MUI Kota Bogor dan seka”ligus putra KH Abdullah bin Nuh – itu mengakhiri kehebohan tentang penggunaan nama ulama untuk sebuah gereja. Pada 15 Juni 2021 situs https://koran.tempo.co menurunkan berita berjudul “Menanti Kehadiran Gereja Abdullah bin Nuh”.
Berita inilah yang antara lain memicu kehebohan di jagad berita. Banyak ulama bereaksi. Dua ulama terkenal Bogor, yaitu KH Didin Hafidhuddin dan KH Muhyidin Junaedi membuat pernyataan yang menolak penggunaan nama KH Abdullah bin Nuh untuk sebuah gereja. Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Kota Bogor juga secara resmi memohon kepada KH Musthafa untuk tidak menyetujui penggunaan nama KH Abdullah bin Nuh untuk gereja.
Tampaknya, begitu banyak masyarakat muslim yang memprotes penggunaan nama ulama besar asal Bogor itu. Dan alhamdulillah, akhirnya secara resmi KH Musthafa mengumumkan bahwa GKI Yasmin membatalkan rencana penggunaan nama KH Abdullah bin Nuh untuk gerejanya.
Alasan penggunaan nama KH Abdullah bin Nuh untuk GKI Yasmin Bogor memang didasarkan pada lokasi gereja yang berada di Jalan KH Abdullah bin Nuh, Bogor. Mungkin nama lengkapnya: “Gereja Jalan KH Abdullah bin Nuh”. Tapi, nama yang beredar sesuai pemberitaan media massa adalah “Gereja Abdullah bin Nuh”.
*****
Protes keras umat Islam terhadap penggunaan nama KH Abdullah bin Nuh untuk sebuah gereja tentu terkait dengan kecintaan mereka kepada ulama besar itu. KH Abdullah bin Nuh bukanlah ulama sembarangan. Beliau adalah seorang ulama, pejuang kemerdekaan, sastrawan, sejarawan, dan juga penulis produktif.
Nama KH Abdullah bin Nuh tidak bisa dipisahkan dari nama al-Ghazali. Beliau juga dikenal sebagai penerjemah buku-buku al-Ghazali dan secara rutin mengajarkan Kitab Ihya’ Ulumiddin di “Majlis al-Ghazali” yang berlokasi di Kota Bogor. Abdullah bin Nuh lahir di Cianjur, Jawa Barat, pada 30 Juni 1905 (26 Rabiul Tsani 1323H). Ia wafat di Bogor pada 26 Oktober 1987.
umur belia, Abdullah bin Nuh telah menghafal kitab Nahwu Alfiyah Ibn Malik. Ia juga pintar bergaul, santun dan ramah. Pendidikan formalnya ditempuh di Madrasah I’anat ath Thalibin Muslimin, Cianjur. Madrasah ini didirikan oleh ayahnya. Keluarganya menanamkan percakapan bahasa Arab di rumah sejak kecil. Hingga ia mengusai bahasa Arab baik lisan maupun tulisan. Disamping itu, Abdullah bin Nuh juga menguasai bahasa Inggris, Belanda, Jerman dan Perancis secara autodidak.
Kemampuannya dalam bahasa Arab memang mengagumkan. Abdullah bin Nuh mampu menggubah syair-syair dalam bahasa Arab. Ia juga menulis sejumlah buku dalam bahasa Arab. Mantan Menteri Agama, M. Maftuh Basyuni, yang pernah menjadi mahasiswanya di Jurusan Sastra Arab Universitas Indonesia, menceritakan bagaimana tingginya kemampuan bahasa Arab Abdullah bin Nuh.
Di awal tahun 1960-an, Maftuh sempat membantu dosennya itu dalam menyiapkan naskah-naskah radio berbahasa Arab. Naskah yang disiapkan Maftuh selalu mendapat koreksi yang sangat teliti dari Abdullah bin Nuh. “Beliau sangat membimbing dan memberi semangat dalam mengkoreksi. Padahal, banyak sekali kesalahan yang saya buat,” kata Maftuh.
Pada masa mudanya, Abdullah bin Nuh juga gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia pernah menjadi anggota Pembela Tanah Air (PETA), 1943-1945, wilayah Cianjur, Sukabumi dan Bogor. Tahun 1945-1946 ia memimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada tahun 1948-1950, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta. Saat di Yogyakarta itu ia juga menjadi Kepala Seksi Siaran Bahasa Arab pada Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta dan Dosen Luar Biasa pada Universitas Islam Indonesia (UII).
Pada tahun 1950-1964 Abdullah bin Nuh menjabat Kepala Siaran Bahasa Arab pada RRI Jakarta. Ia juga seorang Lektor Kepala Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Lebih dari 20 buku telah dihasilkan oleh KH Abdullah bin Nuh dalam berbagai bahasa. Diantara karyanya yang terkenal adalah : (1). Kamus Indonesia-Inggris-Arab (bahasa Indonesia), (2) Tafsir al-Qur’an (bahasa Indonesia), (3). Studi Islam dan Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Zaman Keemasan Banten (bahasa Indonesia), dan sebagainya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Satu karya besarnya dalam Bahasa Arab adalah kitab “Ana Muslimun Sunniyun Syafi’iyyun”. Sekitar tahun 1985-1987, bersama sejumlah mahasiswa IPB saya secara rutin mengkaji kitab Ana Muslimun Sunniyyun Syafi’iyyun.
Yang masih sangat berkesan adalah cara KH Abdullah bin Nuh menyikapi masalah-masalah khilafiah. Ketika memasuki pembahasan masalah-masalah khilafiah, beliau mengatakan, “Ini pendapat Mamak, terserah Ananda untuk mengambil pendapat yang lain.”
Mamak adalah sebutan akrab untuk KH Abdullah bin Nuh. Saya menyaksikan, bahwa beliau juga tetap berusaha melaksanakan shalat berjamaah di mushalla Majlis al-Ghazali, meskipun sambil duduk. Kadangkala rakaat pertama masih berdiri, tapi rakaat kedua sudah shalat sambil duduk.
Begitulah sekilas sosok kehidupan, pemikiran, dan perjuangan KH Abdullah bin Nuh. Begitu banyak murid beliau yang tersebar ke berbagai pelosok Indonesia. Karena itu, bisa dipahami, mengapa umat Islam sangat mencintai KH Abdullah bin Nuh dan berkeberatan namanya digunakan untuk ditempelkan pada sebuah gereja. (Depok, 16 Juni 2021).*
Pengasuh Attaqwa College (ATCO), Depok, Jawa Barat. www.adianhusaini.id