Oleh: Dr. Adian Husaini
Hidayatullah.com | HARI Selasa, 10 November 2020, masyarakat Indonesia menyaksikan satu perisiwa langka. Kepulangan seorang tokoh Islam disambut jutaan orang di Bandara Soekarno Hatta dan daerah Ibu Kota lainnya. Ya, sang tokoh itu adalah Habib Rizieq Syihab. Tampak ribuan orang menyambut haru kepulangan Habib Rizieq. Tak sedikit yang meneteskan air mata.
Sambutan umat yang gegap gempita itu menyimpulkan satu hal: Habib Rizieq adalah salah satu pemimpin besar umat Islam Indonesia saat ini. Para penyambut dan pecinta Sang Habib bukan hanya anggota FPI. Banyak anggota organisasi Islam lain, dan yang bukan anggota organisasi Islam mana pun, berduyun-duyun menyambutnya.
Menyimak realitas Habib Rizieq, para pecinta NKRI sepatutnya mulai berpikir serius untuk menggalang dialog intelektual secara nasional. Undanglah para tokoh utama dan para pemikir bangsa ini. Ajak mereka untuk mengemukakan gagasan-gagasan cerdas demi kebaikan Indonesia di masa depan.
Habib Rizieq Syihab – dengan gayanya yang lugas dan tegas – adalah sosok ulama yang keilmuannnya tidak diragukan lagi. Ia pecinta ilmu dan juga buku. Budaya literasinya sangat tinggi. Jenjang pendidikan S1 sampai S3 dijalaninya dengan prestasi tinggi.
Dua kali saya berkunjung ke Pesantren Habib Rizieq di Mega Mendung, Bogor. Di pesantren yang indah itu, berdiri sebuah masjid yang unik. Seluruh dinding dalam masjid itu dipenuhi dengan buku.
Gagasan-gagasan Habib Rizieq Syihab untuk masa depan NKRI telah dikemukakan dengan cukup jelas dalam berbagai ceramah dan tulisannya. Ia mencitakan NKRI bersyariah. Cita-cita itu menurutnya, harus diperjuangkan secara konstitusional.
Di negara demokrasi, berbagai gagasan bisa dipasarkan secara terbuka, legal, dan damai. Orang boleh tidak setuju dengan gagasan Habib Rizieq tentang NKRI bersyariah. Tetapi, ia pun harus mengungkapkan gagasannya secara intelektual pula. Jika menemui jalan buntu, maka ada saluran konstitusional untuk memperjuangkannya.
Kini, di tengah situasi dan kondisi bangsa yang berat, semua warga NKRI tentu berharap ada perbaikan kehidupan. Kita tentu menginginkan agar NKRI menjadi negara yang adil, makmur, kuat, dan diridhai Allah SWT. Inilah salah satu komitmen dakwah Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, yakni: mempererat ukhuwah dan mengokohkan NKRI.
Sejarah emas!
Sebenarnya, Indonesia memiliki sejarah perjalanan intelektual yang membanggakan. Bisa dikatakan, sejarah emas. Menjelang kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, terjadi perdebatan tajam antara sejumlah tokoh bangsa. Para tokoh yang berkumpul di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) mendapat tugas untuk menyiapkan naskah Undang-undang Dasar bagi Negara merdeka.
Terjadi perdebatan keras dan cerdas antar berbagai tokoh dengan latar belakang pemikiran masing-masing. Para tokoh Islam yang menjadi anggota BPUPK mengusulkan agar Negara Indonesia merdeka nantinya berdasarkan kepada Islam dan menerapkan syariat Islam. Sebab, hukum Islam memang sudah berlaku di berbagai wilayah di Indonesia, jauh sebelum kedatangan penjajah Belanda dan lain-lain.
Ki Bagus Hadikusumo, ketua Muhammadiyah, dalam sidang BPUPK tahun 1945, membantah suara-suara yang meragukan syariat Islam: “Seringkali terdengar suara yang mengatakan bahwa hukum Islam itu adalah peraturan yang sudah tua, tidak dapat lagi dilakukan di zaman sekarang ini, buktinya di Indonesia yang kebanyakan penduduknya beragama Islam, tetapi hukum Islam tak dapat berjalan. Memang benar, tetapi tuan-tuan harus ingat juga apa yang menyebabkan hukum Islam tak dapat berjalan dengan sempurna di Indonesia. Sebabnya tiada lain ialah karena tipu-muslihat curang yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda yang menjajah negeri kita ini, yang memang senantiasa berusaha henda melenyapkan agama Islam dari jajahannya oleh karena tahu bahwa selama bangsa Indonesia tetap berpegang teguh kepada agama Islam, tentu tidak menguntungkan dia.” (Dikutip dari buku Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1987), hal. 105).
Akan tetapi, ada juga golongan lain yang menolak ditegaskannya Indonesia sebagai Negara Islam yang menerapkan syariat Islam. Golongan ini ingin, agar negara bersikap netral terhadap agama. Jadi, negara diatur dengan hukum buatan manusia, bukan hukum agama, sebagaimana yang telah terjadi di Negara-negara Barat. Pihak Kristen juga setuju dengan konsep negara sekular ini.
Karena ada dua aspirasi besar tersebut, Bung Karno melakukan terobosan cerdas. Ia membentuk Panitia Sembilan, beranggotakan: Soekarno, Moh. Hatta, Muhammad Yamin, Achmad Subardjo, Haji Agus Salim, KH Wachid Hasjim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, dan MA Maramis. Setelah bermusyawarah, akhirnya, Panitia Sembilan berhasil merumuskan “Piagam Jakarta”, yang dianggap sebagai suatu bentuk kompromi. Soekarno sendiri yang memimpin Panitia Sembilan itu.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Usai menyampaikan naskah Piagam Jakarta kepada para pimpinan dan anggota BPUPK, Soekarno mengatakan: “Maka oleh karena itu, Panitia Kecil penyelidik usul-usul berkeyakinan bahwa inilah preambule yang bisa menghubungkan, mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai.”
Soekarno juga mengajak agar seluruh anggota BPUPK segera bersatu mewujudkan Indonesia merdeka : ‘’Marilah kita sekarang menunjukkan ke hadapan Allah swt dan di hadapan manusia seluruh dunia melintasi lima benua dan tujuh samudra, bahwa bangsa Indonesia telah kuat untuk merdeka, dan oleh karenanya bangsa Indonesia itu bersatu bulat dan tidak ada retak di dalam dada bangsa itu.’’
Begitulah sejarah emas kita: sepenggal kisah perbedaan dan perdebatan tajam di antara para pendiri bangsa. Akhirnya, atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, kita pun meraih kemerdekaan. Kita berdaulat untuk mengatur rumah tangga kita sendiri. Para pemimpin kita masih mampu menjaga keutuhan NKRI, di tengah keragaman.
Karena itu, dalam menghadapi situasi bangsa saat ini, diperlukan kearifan, kecerdasan, dan keikhlasan para pemimpin kita untuk memberi teladan dalam kehidupan, agar kapal NKRI tetap selamat dan sejahtera menuju pantai seberang: Negara adil dan makmur dalam naungan ridho Ilahi.
Saat ini, Habib Rizieq adalah salah seorang yang berpeluang besar memimpin dialog intelektual. Peluang itu, biasanya jarang terulang kembali! Wallahu A’lam bish-shawab.*/ Jakarta, 11 November 2020
Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia