Oleh: Abdullah Sholeh Hadromi
SALING bantah membantah atau berdebat itu adalah perkara yang amat sangat mudah dan manusia dalam hal ini terbagi menjadi beberapa kelompok, diantaranya;
Kelompok yang dalam membantah menempuh cara ilmiyah dan elegan, ini adalah kelompok kaum terpelajar, semoga bertambah ilmunya dan Allah memberikan pahala kepada mereka.
Ada juga kelompok yang dalam membantah cenderung mengarah kepada pembunuhan karakter, ini adalah kelompok kaum yang bermasalah dalam kejiwaan dan akhlak, semoga Allah mengampuni dan memberi petunjuk mereka.
Al-Imam Ahmad bin Abdur Rahman bin Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah yang dikenal dengan sebutan Ibnu Qudamah (wafat 689 H), dalam kitabnya “Mukhtashar Minhajul Qashidin” hlm 31 yang telah di tahqiq, ta’liq dan takhrij oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi hafidhahullah menjelaskan tentang bahaya ilmu perdebatan yang bertujuan saling mengalahkan dan berbangga-bangaan, diantaranya;
Pertama, sumber akhlak tercela. Kedua, pelakunya tidak selamat dari kesombongan. Ketiga, merendahkan orang lain yang tidak ikut serta dalam perdebatan. Keempat, pelakunya tidak bersih dari sifat ujub atau bangga diri karena merasa lebih tinggi dari rekan-rekannya. Kelima, pelkunya tidak steril dari riya’ karena kebanyakan tujuannya adalah pamer keunggulan dirinya. Keenam, merasa senang dengan sanjungan dan pujian untuknya. Ketujuh, menghabiskan umur hanya untuk perkara yang menjadikannya ahli dalam berdebat yang tidak berguna di akhirat.
Bahkan beliau menegaskan bahwa orang berilmu yang terlibat dalam perdebatan seperti yang telah disebutkan adalah termasuk kategori orang berilmu yang tidak bermanfaat ilmunya.
Jadi, ilmu saling bantah membantah atau ilmu rudud adalah ilmu yang biasa, namun bukan berarti yang berhasil membantah itu kemudian menang dan yang dibantah itu kalah, bukan seperti ini.
Tapi, ilmu saling bantah membantah atau ilmu rudud itu menunjukkan bahwa ilmu itu luas ibarat lautan tak bertepi sehingga kita harus selalu menambah wawasan dan mencari ilmu terus agar tidak sempit pemahaman kita.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam “Majmu’ Fatawa” mengkisahkan tentang Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah;
وَصَنَّفَ رَجُلٌ كِتَابًا فِي الِاخْتِلَافِ فَقَالَ أَحْمَد : لَا تُسَمِّهِ ” كِتَابَ الِاخْتِلَافِ ” وَلَكِنْ سَمِّه “كتاب السَّعَة”.
“Ada seseorang yang menulis kitab tentang perbedaan pendapat, lalu berkata Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah; jangan kamu beri nama kitab perbedaan pendapat, tapi berilah nama “Kitab Keluasan”.
Inilah ulama yang ilmu dan wawasannya luas sehingga tidak anti dengan perbedaan akan tetapi menganggap perbedaan itu adalah keluasan, bukan kesempitan.
وقال السخاوي في «المقاصد الحسنة» (1/70) :
ومن حديث الليث بن سعد عن يحيى بن سعيد قال:
“أهل العلم أهل توسعة، وما برح المفتون يختلفون فيحل هذا ويحرم هذا، فلا يعيب هذا على هذا، إذا علم هذا”.
As-Sakhawi rahimahullah dalam “Al-Maqashidul Hasanah 1/70” mengatakan, dari hadits Al-Laits bin Saad, dari Yahya bin Said berkata;
“Para ulama adalah orang yang penuh keluasan. Para pemberi fatwa (mufti) selalu saja berbeda pendapat (dalam satu masalah), yang satu mengatakan halal dan yang satunya lagi mengatakan haram, namun mereka tidak saling mencela walau mengetahui bahwa mereka saling berbeda”.
Kebijaksanaan dan hikmah Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah menyikapi perbedaan
يقول يونس الصدفي:
“ما رأيت أعقل من الشافعي، ناظرته يوماً في مسألة ثم افترقنا ولقيته فأخذ بيدي ثم قال:
“يا أبا موسى ألا يستقيم أن نكون إخواناً وإن لم نتفق في مسألة”.
قال الذهبي: “هذا يدل على كمال عقل هذا الإمام وفقه نفسه، فما زال النظراء يختلفون”
[سير أعلام النبلاء 10/16-17].
Berkata Yunus Ash-Sudfy:
“Aku tidak pernah melihat orang yang lebih berakal dari Asy-Syafi’i. Pada suatu hari aku mendebatnya tentang satu masalah kemudian kami berpisah, dan ketika aku berjumpa dengannya ia pegang tanganku seraya berkata:
“Wahai Abu Musa, mengapa kita tidak tetap saja bersaudara walau kita tidak sepakat dalam suatu masalah”.
Adz-Dzahabi memberikan komentar:
“Ini adalah bukti atas kesempurnaan akal imam ini dan pemahamannya akan dirinya, karena sesama ulama itu selalu saja berbeda pendapat”. [Siyar A’lam An-Nubala 16/ 10-17]
Diantara ungkapan masyhur yang dinisbahkan kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dalam menyikapi perbedaan pendapat secara obyektif adalah;
“قولي صواب يحتمل الخطأ، وقول غيري خطأ يحتمل الصواب “.
“Pendapatku benar, ada kemungkinan salah. Dan pendapat selainku adalah salah, ada kemungkinan benar”.
Inilah sikap dewasa dan matang serta obyektif dalam menyikapi perbedaan pendapat.
Kita diuji oleh Allah dengan munculnya kaum yang mengklaim bahwa Allah hanya memberikan petunjuk kepada mereka, tidak kepada yang selain mereka. Sehingga mereka merasa satu-satunya yang mengetahui kebenaran dan menuduh yang selain mereka tersesat. Ini adalah musibah !
Allah mengajarkan kepada kita agar selalu berdoa meminta tambahan ilmu, sebagaimana di dalam Al-Qur’an surat 20 Thaha, ayat 114;
” وقل رب زدني علمًا ”
“Dan berdoalah, Ya Robb tambahlah untukku ilmu”.
Perbedaan itu indah jika kita mampu memahaminya dan menyikapinya dengan baik dan benar karena sesama orang beriman dan Islam adalah bersaudara, ditambah lagi sesama Ahlus Sunnah Wal Jamah.
Buku dibantah buku bukan berarti kalah menang, akan tetapi keluasan ilmu dan menambah wawasan, alhamdulillah.
Semoga Allah buka pemahaman kita agar mampu menyikapi perbedaan secara baik, benar dan bijak, aamiin ya Robb.*
~Bandala Halim Jakarta, Senin 19 Jumadal Ula 1439 / 05 Februari 2018
Akhukum Fillah
@AbdullahHadrami
Penulis buku Mata Air Inspirasi