Oleh: Alimin Mukhtar
Hidayatullah.com | ADA serangkaian ayat dalam Surah az-Zukhruf — tepatnya ayat 51-56 — yang bercerita tentang bagaimana kedzaliman muncul, bekerja dan mengakar dalam suatu negeri, masyarakat, komunitas. Contoh kasus terdahulu yang diambil adalah Fir’aun dan rakyatnya. Ayat 55 menyatakan:
فَجَعَلْنَاهُمْ سَلَفًا وَمَثَلًا لِلْآخِرِينَ
“Maka Kami jadikan mereka sebagai (kaum) terdahulu dan contoh pelajaran bagi orang-orang yang kemudian.”
Kedzaliman ternyata memiliki “cara” untuk bersemi, tumbuh dan akhirnya berkuasa. Al-Quran menunjukkannya kepada kita, agar tidak terulang hal yang sama. Ayat 54 menyatakan:
فَاسْتَخَفَّ قَوْمَهُ فَأَطَاعُوهُ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ
“Maka (Fir‘aun) dengan perkataan itu telah mempengaruhi kaumnya, sehingga mereka patuh kepadanya. Sungguh, mereka adalah kaum yang fasik.”
Terjemah ayat ini hanya menceritakan hasil akhirnya, tapi analisis kebahasaan akan memberitahu kita akar kemunculannya dengan terperinci. Kata istakhoffa (استخفّ) berakar dari khiffah (خفّة). Maka harfiahnya “ringan”, kebalikan dari tsaql (ثقل) yang artinya berat.
Baca: Larangan Allah Berbuat Dzalim
Maksudnya ringan akalnya alias bodoh. Tambahan alif-sin-ta’ di awalnya memiliki 5 arti, dan 4 di antaranya relevan dengan konteks kalimatnya.
Pertama, makna takalluf (memaksa, menekan). Kedua, makna tahawwul (mengubah, menjadikan). Ketiga, makna wijdan (mendapati, merasakan, menganggap). Keempat, muthowa’ah (mengikuti atau menjadi akibat dari kata dasarnya). Kelima, tholab (meminta, memohon). Makna kelima kurang pas dengan konteks.
Jadi, ayat itu hendak menunjukkan bahwa kedzaliman penguasa disemai dengan cara menekan dan memaksa kaumnya agar menjadi bodoh. Atau, dengan membodohi dan memperbodoh mereka. Atau, karena penguasa secara cermat menyadari kaumnya memang bodoh dan ‘siap’ dikibuli.
Bagaimana ciri masyarakat yang justru ‘siap’ ditipu dan didzalimi?
Dalam Tafsir Al-Qurthubi, dikutip analisis Ibnul A’rabi bahwa hal itu bermula dari khiffatul ahlam (خفّة الاحلام) dan qillatul ‘uqul (قلّة العقول), alias sangat tidak bijaksana dan bernalar cekak. Ahlam adalah jamak dari hilm (الحلم). Musuh kedzaliman di mana pun tetaplah akal sehat dan kebijaksanaan yang mendalam.
Apakah hilm (الحلم) itu? Kata ini biasanya diterjemahkan sabar, santun atau bijaksana. Menurut Ibnu Manzhur, artinya tenang (al-anaatu), selalu memastikan validitas urusan dengan cermat (at-tatsabbut fil umur), dan akal sehat (al-‘aql), kebalikan dari goblok dan nalar dangkal (as-safah).
Di saat bersamaan, ujung ayat 54 menunjukkan karakter masyarakat dan komunitas yang ‘siap’ didzalimi itu: “sungguh mereka adalah kaum yang fasik.”
Baca: Penguasa Dzalim Lemparkan Ulama ke Kandang Singa, Pertolongan Allah Datang
Kedzaliman tumbuh seperti sebutir benih di tanah basah. Benih itu sendiri punya daya hidup dalam dirinya dan mendapati tanah yang cocok. Saat penguasa, orang kuat, pemimpin, suami, dan semacamnya sudah memiliki keinginan untuk berbuat dzalim dan di saat bersamaan mendapati rakyat, komunitas, masyarakat, istri, dan semisalnya yang bodoh, cekak nalar, suka terburu-buru bertindak, pragmatis, tidak sabaran; ditambah kefasikan yang telah merajalela di tengah-tengah mereka, maka kedzaliman pasti tegak dan dominan.
Maka, musuh penguasa dzalim seperti Fir’aun tetaplah orang seperti Musa dan Harun, ‘alayhimas salam. Keduanya tidak punya tentara atau harta, namun akal sehatnya terjaga, pikirannya jernih menembus jauh ke depan, menolak tunduk pada kebodohan, persekusi, intimidasi dan pembodohan sistematis yang membanjiri masyarakatnya.
Maka, kedzaliman Khalifah Umar tidak mungkin muncul, bahkan seandainya beliau ingin. Sebab ada ribuan manusia berakal tajam yang tidak akan bersedia mematuhi kedzalimannya. Bahkan, saat beliau berpikir bahwa mahar di zaman itu terlalu mahal dan minta dikurangi, yang menegurnya justru seorang wanita yang bukan siapa-siapa, di depan matanya, saat Umar belum turun dari mimbarnya.
Memimpin orang-orang begini — cerdas dan berani — jelas tidak mudah, tapi berujung keselamatan; dibanding mudahnya memimpin serombongan orang cekak nalar, pragmatis, dan ‘siap’ dibodohi tanpa protes sedikit pun. Kejayaan harus diraih dengan memanjat tebing terjal, adapun kejatuhan akan datang bersama laut yang menenggelamkan, seperti ayat 55:
فَلَمَّا آسَفُونَا انْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَأَغْرَقْنَاهُمْ أَجْمَعِينَ
“Maka ketika mereka membuat Kami murka, Kami hukum mereka, lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut).”
Tugas para da’i menjadi berat, seberat tugas kedua Nabi itu menghadapi Fir’aun. Keduanya menghadapi penguasa yang ingin berbuat dzalim sekaligus masyarakat bodoh dan fasik yang sudah bertekuk lutut dan siap didzalimi.*
Pengasuh Pondok Pesantren Hidayatullah Malang