oleh: Muhaimin Iqbal
PADA suatu pagi seorang anak kecil bercerita penuh antusias kepada teman seusianya tentang mimpi indah yang dialaminya tadi malam, dengan polos temannya pun bertanya: “Apakah mimpimu itu tadi berwarna ?” Si empunya mimpi ragu, “Hem, aku tidak ingat – tapi aku tahu pokoknya itu indah.” Percaya atau tidak, bila Anda yang mendapat pertanyaan yang sama tentang warna mimpi Anda – Andapun akan ragu! Bahkan mungkin Anda juga tidak yakin bahwa apakah mimpi Anda berwarna atau hitam putih seperti televisi tahun 60-an!
Begitulah mimpi, tidak terlalu penting apakah berwarna atau tidak – karena mimpi tidak masuk melalui mata, dia langsung ke pikiran bawah sadar kita – sehingga keindahannya (atau keburukannya) dapat langsung kita rasakan. Mimpi juga tidak masuk melalui akal, sehingga tidak penting pula apakah mimpi-mimpi itu masuk akal atau tidak.
Tetapi ada mimpi-mimpi yang begitu detil, termasuk warna-warninya yang oleh seorang penulis buku Book of Dreams – Sylvia Browne’s (Penguin Group, 2002) digambarkannya sebagai prophetic dream atau mimpi kenabian, yaitu mimpi yang menjadi petunjuk untuk sesuatu yang akan terjadi atau sesuatu yang harus dilakukan.
Dalam Islam kita mengenal mimpi nabi Ibrahim yang mengawali syariat berqurban, juga mimpi-mimpi nabi Yusuf yang sampai membawanya menjadi pemimpin di negeri Mesir yang mampu mengantisipasi paceklik panjang dan memakmurkan negerinya ketika negeri lain kekurangan.
Pada umumnya mimpi-mimpi kita adalah mimpi orang kebanyakan, tidak jelas berwarna atau tidak, tidak juga detil dan tidak perlu apakah masuk akal atau tidak – yang jelas mimpi-mimpi tersebut sudah mampu mengharu biru-kan perasaan kita.
Berbeda dengan mimpi, dunia nyata selalu bisa dijabarkan dengan detil. Kalau kita bepergian dari kota A ke kota B, berbagai hal tentang perjalanan ini pasti bisa dijelaskan. Kalau naik mobil misalnya perlu waktu berapa lama, melalui jalan yang mana, melewati apa dst.
Memahami perlunya detil ini bisa memudahkan kita dalam merealisasikan ‘mimpi-mimpi’ kita, juga memudahkan kita dalam mengatasi ‘mimpi buruk’ masalah kita.
Kalau kita punya ‘mimpi’ untuk menjadi pengusaha pada usia tertentu misalnya, maka seluruh perjalanan kesana harus bisa diuraikan dengan detil. Bidang apa usahanya, siapa pasarnya, resources apa yang diperlukan, siapa mitranya, bagaimana model pendapatannya dlsb.dlsb. Selama kita belum bisa menguraikan dengan sedetilnya – maka ‘mimpi’ untuk menjadi pengusaha tersebut masihlah berupa mimpi biasa – belum menjadi visi.
Dalam mengatasi masalah (mimpi buruk) juga demikian. Kita bisa terteror atau bahkan stress untuk masalah-masalah yang dipersepsikan di benak kita sebagai masalah yang gawat. Salah satu cara untuk mengatasi masalah yang ‘gawat’ ini juga melalui menguraikannya secara detil. Setelah diuraikan sebab dan akibatnya, opsi-opsi solusinya, scenario hasilnya dlsb. maka masalah yang semula ‘gawat’ tersebut insyaallah akan menjadi lebih ringan untuk diatasi.
Jadi bila Anda punya ‘mimpi’ ide besar jangan terlalu gembira dengannya bila Anda belum bisa menguraikan detilnya, sebaliknya jangan pula terlalu bersedih dengan ‘mimpi’ buruk masalah gawat yang Anda hadapi – sebab bisa jadi masalah tersebut tidak seburuk awal penampakannya manakala bisa diuraikan dengan detil.
Maka pertanyaan anak kecil kedua di awal tulisan ini menjadi sangat relevan untuk kita semua, apa-pun ‘mimpi-mimpi’ kita, kita perlu tahu detil ‘warna’-nya. Sehingga bila ‘mitra’ yang kita ajak untuk mendiskusikan ide ‘mimpi’ besar kita bertanya : “apa warna mimpi Anda ?” , kita tahu persis jawabannya, merah – kuning – hijaunya sekaya warna pelangi di langit yang biru !. InsyaAllah.*
Penulis adalah Direktur Gerai Dinar, kolumnis hidayatullah.com