Oleh: Muhaimin Iqbal
ADA tiga kata yang sangat populer sebulan terakhir terutama setelah pengumuman hasil Pemilu Presiden oleh KPU 22/07/2014, bahkan tiga kata itu yang coba dibuktikan ke-(tidak)-beradaannya di ruang-ruang sidang DKPP maupun MK. Tiga kata itu adalah Terstruktur, Sistematis dan Masif. Tiga kata yang semula netral atau bahkan cenderung positif, menjadi bermakna negatif ketika digunakan untuk tujuan yang salah. Maka saya membayangkan alangkah indahnya bila bangsa ini menggunakan tiga kata tersebut untuk program dan tujuan yang mulia.
Ambil contoh kasus kemiskinan dan ketiadaan lapangan kerja yang memadai di dalam negeri yang kemudian membuat jutaan wanita Indonesia harus bekerja di luar negeri. Kebepergian mereka ke negeri yang jauh tanpa muhrim saja sebenarnya sudah masalah besar, tetapi mengapa setelah 69 tahun merdeka kita semua seolah membiarkannya ini terus terjadi?
Kita semua seolah memakluminya – sehingga tidak berbuat apa-apa – karena di dalam negeri tidak cukup pekerjaan yang memadai untuk mereka, bahkan seolah negeri ini memanfaatkan mereka untuk perolehan tambahan devisa.
Oknum-oknum tertentu memanfaatkan mereka untuk sumber-sumber penghasilannya sendiri – baik secara kasar melalui pemerasan di bandara, maupun secara sangat halus seperti yang dilakukan perusahaan-perusahaan asuransi yang mengeruk keuntungan dari premi asuransi yang dibayar dengan keringat, air mata dan bahkan juga kadang darah para wanita tersebut.
Karena problem TKW di luar negeri ini adalah problem struktural, sistematis dan masif yang melibatkan jutaan orang dan melibatkan hampir seluruh daerah di negeri ini – maka cara mengatasinya juga harus Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM). Bagaimana konkritnya?
Wanita-wanita tersebut sebenarnya tidak harus bekerja! sebelum mereka diijinkan bekerja – apalagi ke negeri-negeri yang jauh, sebenarnya harus ditanya dahulu dimana bapak-bapak mereka? (karena umumnya mereka adalah anak-anak kecil yang belum menikah), dimana saudara-saudara laki-laki mereka? atau dimana suami-suami mereka? (untuk yang sudah menikah).
Mencari nafkah adalah tugas para laki-laki, para bapak, para saudara laki-laki dan tentu para suami. Bila mereka tidak ada atau tidak berdaya, baru para wanita ini bisa keluar rumah melaksanakan pekerjaan tertentu.
Menariknya Al-Qur’an memberikan contoh langsung untuk ini, coba perhatikan ayat berikut : “Dan tatkala ia (Musa) sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya).
قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاء وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ
Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami (Syuaib) adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”. (QS al-Qashah [28]:23)
Perhatikan penjelasan dan sikap dua wanita putri nabi Syuaib ‘Alaihi Salam tersebut, mereka terpaksa melakukan pekerjaan itu karena orang tua mereka yang sudah lanjut. Kemudian dalam bekerja-pun mereka memisahkan diri, tidak berdesak-desakan dengan para laki-laki yang melakukan pekerjaan yang sama.
Tentu pekerjaan para wanita sekarang tidak harus menggembala, tetapi setidaknya dua prinsip dasar tersebut tetap di jaga.
Yaitu pertama, bila bapak (atau saudara laki-laki/suami) mereka masih bisa melaksanakan tugasnya bekerja, mereka itulah yang utamanya wajib bekerja.
Yang kedua, adalah bila toh para wanita ini harus bekerja di luar rumah, mereka harus bisa ‘memisahkan diri’ dari para laki-laki yang beketja di bidang atau tempat yang sama.
Ayat tersebut di atas bisa juga memberi inspirasi kita pekerjaan yang masih tetap relevan untuk dilakukan para wanita – yang terpakasa bekerja di luar rumah – di jaman ini, yaitu menggembala! Reaksi spontan kita pasti terasa aneh kalau mendengar opsi pekerjaan wanita menggembala di jaman ini.
Wanita Penggembala
Tetapi sekarang coba kita pikirkan dalam-dalam ide ini. Bayangkan ada pekerjaan mulia, pekerjaan ini dahulu dilakukan oleh putri-putri nabi Syuaib ‘Alaihi Salam yang salah satunya kemudian juga menjadi istri nabi Musa ‘Alaihi Salam. Masak pekerjaan putri dan istri nabi ini tidak layak dilakukan wanita-wanita di jaman ini? Pasti layak! dan hingga kini banyak dilakukan wanita-wanita di Asia tengah.
Ini kalau dikaitkan lebih lanjut dengan Surat An-Nahl ayat 10 – 11 di mana mengindikasikan bahwa penggembalaan terbaik adalah di kebun buah segala macam buah, maka akan lahirlah pekerjaan pasangan suami istri terbaik di negeri ini. Sang suami menanam dan mengurusi segala macam tanaman buah-buahan, sang istri membantunya menggembalakan ternak di lokasi yang sama.
Setelah gagasan seperti ini tidak lagi terasa aneh dan tidak terasa muluk-muluk, maka tinggal diimplemantasikan sesuai dengan tiga kata kunci tersebut di atas yaitu secara Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM).
Pemerintah dari pusat sampai daerah mengidentifikasi mana-mana daerah yang menjadi sumber TKW utama, kemudian mensosialisaikan opsi ini lengkap dengan segala macam solusi pelatihan, pembekalan, pengadaan lahan yang dibutuhkan, permodalan, pasar dlsb.
Dengan apa-apa yang sudah kami rintis di JonggolFarm, Lambbank dan insyaAllah dalam waktu dekat juga iGrow maka beberapa pieces dari big puzzle dari solusi TSM yang dibutuhkan untuk masalah TKW tersebut di atas sudah mulai kami kumpulkan, tinggal melengkapi yang belum ada seperti kerjasama pemerintah daerah, tenaga penyuluh atau pendamping lapangan, pasar, modal dlsb. InsyaAllah.*
Penulis adalah Direktur Gerai Dinar