Oleh: Salim A. Fillah
“Ya Rasulallah”, demikian suatu hari para sahabat memberanikan diri mengajukan pinta, “Sekiranya sudi, berceritalah engkau kepada kami.”
Ini terjadi, demikian Mush’ab ibn Sa’d meriwayatkan dari ayahandanya, Sa’d ibn Abi Waqqash Radhiyallahu ‘Anhu, setelah Al Quran turun beberapa waktu lamanya dan Nabipun membacakan kesemuanya kepada para sahabat.
Inilah kitab yang seandainya diturunkan kepada gunung, niscaya gunung itu pecah berantakan karena rasa takutnya kepada Allah. Maka pasti saja, hati para sahabat itu, sekokoh apapun, merasakan berat tak terperi terhadap kalamNya. Sebab firman itu telah menunjuk mereka untuk menjadi pendamping dan penyokong Muhammad, sang rahmat semesta, pembawa kabar gembira, pemberi peringatan, penyeru ke jalan Allah, dan pelita yang mencahaya. Sebab wahyu itu menunjuk mereka untuk menjadi insan-insan pertama ummat terbaik yang ditampilkan pada manusia, menyuruh pada yang patut, mencegah dari yang lacut, meyakini Allah dan mengingkari thaghut.
Mereka merasakan sesak dan sempit sehingga memerlukan penghiburan dari kisah-kisah ringan. “Ya Rasulallah”, ujar mereka sebagaimana disampaikan Ibn ‘Abbas dan dituliskan Imam Ath Thabary dalam Tafsirnya, “Berceritalah kepada kami.” Lalu turunlah Surah Yusuf, deras bagai hujan mencurahi gersang dalam dada.
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ
“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu..” (QS: Yusuf [12]: 3)
Inilah kisah terbaik. Ialah kisah cinta. Ialah kisah tentang seorang bernasab termulia, Yusuf ibn Ya’qub ibn Ishaq ibn Ibrahim. Juga berparas terindah dan berakhlaq jelita; Yusuf yang digelari Al Khair, si baik, pembawa kebaikan.
Sayang sekali, ketika menyebut nama Yusuf, yang tercetak di benak kita hanya soal ketampanan wajahnya. Kita lupa bahwa dalam karunia ketampanan itu terkandung kasih ayahanda, dengki saudara, pembuangan ke sumur, pertolongan kafilah, dijual jadi sahaya, goda majikan jelita, fitnah dari yang salah, dijadikan bahan balas dendam hingga para wanita mengiris jarinya, memilih masuk penjara daripada berbuat nista, berdakwah di dalamnya, dilupakan kawan, diangkat menjadi pejabat tinggi, sibuk mengurus negara, berjumpa dan menahan diri terhadap saudara, membuat muslihat demi berjumpa orangtua, serta menahan diri dari mengungkit luka ketika mimpi masa kecilnya terbukti nyata.
Kisah terbaik, adalah kisah yang berliku-liku. Cerita terbaik, adalah hidup yang berwarna-warni.
***
“Ihdinash shirathal mustaqim.. Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.”
Tidak sah shalat kita tanpa membaca Surah Al Fatihah di tiap raka’atnya. Dan dalam senarai 7 ayat terdahsyat ini, usai kita memuji Allah, memuliakan, dan mengagungkanNya, dengan tunduk kita menadah karuniaNya. Ialah doa kita agar Allah karuniakan petunjuk ke jalan yang lurus. Kita membacanya setiap hari sekurangnya tujuh belas kali, sebab ialah doa terpenting, permohonan terpokok, dan pinta paling utama.
Jalan yang lurus.
Terjemah itu mungkin membuat sebagian kita membayangkan bahwa jalan lurus itu bagus, halus, dan mulus. Kita mengira bahwa shirathal mustaqim adalah titian yang gangsar dan tempuhan yang lancar. Kita menganggap bahwa ia adalah jalan yang bebas hambatan dan tiada sesak, tanpa rintangan dan tiada onak. Kita menyangka bahwa di jalan itu, segala keinginan terkabul, setiap harapan mewujud, dan semua kemudahan dihamparkan.
Frasa ‘jalan yang lurus’ membuat kita mengharapkan jalur yang tanpa deru dan tanpa debu.
Maka kadang kita terlupa, bahwa penjelasan tentang jalan lurus itu tepat berada di ayat berikutnya. Jalan lurus itu adalah, “Jalan orang-orang yang telah Kauberi nikmat. Bukan jalan orang-orang yang Kaumurkai, dan bukan pula jalan mereka yang sesat.”
Maka membentanglah Al Quranul Karim sepanjang 113 surat bakda Al Fatihah untuk memaparkan bagi manusia jalan orang-orang yang telah diberi nikmat itu. Ialah jalan Adam dan Hawa; jalan Nuh, Hud, dan Shalih; jalan Ibrahim hingga Ya’qub sekeluarga; jalan Musa dan saudaranya; jalan Dawud dan putranya; jalan Ayyub dan Yunus; jalan Zakariyya dan Yahya, serta Maryam dan ‘Isa. Kisah jalan indah itu sesekali ditingkahi gambaran tentang jalan mereka yang dimurka dan sesat; jalan Iblis dan Fir’aun, Samiri dan Qarun, Bal’am dan Haman, hingga Ahli Kitab Yahudi-Nasrani dan Abdullah ibn Ubay ibn Salul.
Ceritera kehidupan Adam hingga ‘Isa itu, adalah lapis-lapis keberkahan.
Kisah mereka berkelindan, mengulurkan makna-makna yang mengokohkan cipta, rasa, serta karsa Sang Rasul terakhir dan ummatnya yang bungsu. Kisah mereka bertautan, melahirkan artian-artian yang menguatkan iman dan perjuangan sang penutup rangkaian kenabian beserta para pengikutnya; menghadapi kekejaman Abu Jahl, kekejian Abu Lahab, keculasan Al ‘Ash ibn Wail, tuduhan Al Walid ibn Al Mughirah, dongengan An Nazhar ibn Harits, rayuan ‘Utbah ibn Rabi’ah, cambukan ‘Umayyah ibn Khalaf, hingga timpukan ‘Uqbah ibn Abi Mu’aith.* (bersambung)
twitter: @Salimafillah