BAGI sebagian atau mungkin semua pencinta alam, mendaki gunung bukan sekadar hobi. Ia tak sebatas menaklukkan ketinggian, tak cuma melawan lelah, pegal, serta beratnya beban.
Mendaki, kata banyak pelakonnya, merupakan momen istimewa. Apalagi saat menyaksikan kekuasaan Tuhan dari puncak nan tinggi, ada kesan tersendiri.
Lebih dari itu, mentadabburi alam dalam pendakian, merupakan suatu lecutan bagi mereka untuk senantiasa beribadah kepada Sang Maha Pencipta.
Itulah yang dirasakan oleh –setidaknya sebagian– Muslim yang mendaki Gunung Prau di dataran tinggi Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah, akhir pekan lalu.
Berada di ketinggian 2.565 meter di atas permukaan laut (mdpl), dengan suhu sangat dingin –tangan serasa membeku pada malam hari–, bukanlah penghalang mereka untuk menghambakan diri kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Seperti momen yang hidayatullah.com jepret pada Ahad (18/10/2015) sekitar waktu Subuh. Tampak seorang pendaki menunaikan shalat dua rakaat di luar tendanya. Sebelumnya, air yang terasa begitu dingin tak menyurutkan pria itu untuk berwudhu.
Pria itu mengenakan jaket bertuliskan ROSPADA (Rohani Islam SMAN 42) di bagian belakang, dan tulisan nama Arbi A… di bagian depannya.
Sementara itu, pada waktu berbeda, sekelompok pendaki Gunung Prau menunaikan shalat Maghrib jamak Isya, beberapa saat sesampainya di puncak, Sabtu (17/10/2015).
Karena keterbatasan alas, 12 anggota Tim Ekspedisi Baitul Maal Hidayatullah itu shalat secara bergantian, dibagi menjadi dua kelompok jamaah. [Baca: Syiarkan Islam, Tim Ekspedisi BMH Mendaki Gunung Prau]
Jadi, memang, bagi mereka yang betul-betul menghayati pendakiannya, naik gunung bisa dibilang sebagai “olahraga religi”. Tak sebatas menyaksikan bentangan keindahan alam. Tak sebatas seperti potongan lagu anak-anak yang mungkin masih Anda ingat ini:
Naik, naik, ke puncak gunung
tinggi – tinggi sekali,
Kiri – kanan kulihat saja
banyak pohon cemara….*