SAMPAI di dalam, tujuan pertamaku adalah charging booth. Telepon genggam sudah lowbat, daya listriknya harus diisi segera.
Sore itu, sepulang dari liputan di sejumlah lokasi di Jakarta Pusat, saya memutuskan untuk segera ke kantor. Namun, sebagaimana biasa pada hari kerja, lalu lintas di Jakarta macet apalagi menuju pinggiran ibukota. Jarak yang dekat jadi lama waktu tempuhnya. Terlambat tiba di kantor = terlambat menggarap berita.
Akhirnya datang ilham; ke stasiun terdekat saja. Nah, cocok. Stasiun Manggarai adalah destinasi yang dimaksud. Sekalian jalan pulang.
Dari gedung Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jalan Latuharhary, Menteng, Jakpus, jarak ke Manggarai cukup dekat. Naik ojek online beberapa menit saja.
Tiba di sana, calon penumpang cukup ramai mengantre untuk membeli tiket, baik di loket manual –dilayani petugas– maupun di mesin khusus pembelian tiket kereta rangkaian listrik, dikenal dengan sebutan commuter vending machine (C-Vim).
Keramaian juga telihat di dalam stasiun, apalagi di sekitar tempat colokan listrik, yang memang disediakan PT Kereta Api Indonesia (KAI) di setiap stasiun, gratis.
Sejumlah pria-wanita tampak khusyuk memainkan gadget masing-masing. Saya menyapa dengan ucapan “Maaf, permisi”. Sebagian mempersilakan, sebagian tak menggubris.
Kebanyakan lubang nge-charge sudah dijamah para pemburu colokan. Syukurnya masih kebagian jatah satu lubang. Handphone berbasis Android-ku pun segera “berbuka puasa” lebih dulu dari majikannya.
Tak menunggu lama, sejumlah berita segera tergarap. Sebelumnya, beberapa berita cepat sudah saya kirim dari lapangan langsung, siang tadi.
Seiring itu, pemburu colokan silih berganti, datang dan pergi, kecuali 2-3 orang yang masih membersamaiku. Tahu-tahu langit semakin gelap dengan lebih cepat. Selain karena sudah mendekati malam, ternyata juga mau hujan. Langit mendung. Hujan pun turun dengan derasnya Cepat kuselesaikan tugas, sambil berkali-kali melirik jam di laptop, memastikan berapa menit lagi masuk waktu magrib.
Jika ada slogan “pantang pulang sebelum menang”, maka bagi jurnalis media online, termasuk hidayatullah.com, slogannya “pantang pulang sebelum kirim berita”. Memang sudah diniatkan menunda pulang sebelum berita hasil liputan hari ini kelar digarap dan dikirim.
Alhamdulillah, target sore itu tercapai. Bersiap menuju mushalla untuk berbuka puasa dan shalat magrib. Di stasiun memang enak. Tempat “nongkrong” ada, tempat shalat tersedia. Asyik deh.
Adzan belum juga terdengar saat laptop kumasukkan ke dalam tas. Namun ternyata, waktu berbuka puasa telah tiba. Dapat diketahui karena tiba-tiba orang-orang di kanan kiriku satu per satu mengeluarkan makanan masing-masing. Rupanya mereka sedari tadi sudah siap memanti waktu berbuka. Sementara suara adzan sepertinya “lenyap” ditelan hujan dan keramaian.
Manggarai begitu ramai. Para pengguna KRL memadati peron-peron stasiun besar ini. Rupanya, mereka atau kami telah ngabuburit bareng, meski sebagian besar mungkin tanpa janjian karena memang tak saling kenal.
Terlihat para KRL mania, baik pria, wanita, orangtua, mulai menyantap makanan dan minuman. Ada yang bawa air minum kemasan, ada yang bawa gorengan dan berbagai jenis kue lainnya seperti lontong, ada yang bawa roti, dan seabrek jenis menu berbuka puasa.
Tenyata seru juga ngabuburit di stasiun transit ini. Keseruan lainnya ini; betapa indahnya tradisi bangsa Indonesia. Muslim-Muslim di sekitar saya bergantian menawarkan hidangan buka puasa. Mulai air mineral gelas sampai kue yang dibungkus plastik.
“Ini, Bang, minumnya!” salah seorang pria menawarkan. Ingin menerimanya, tapi agak sungkan, selain saya juga bawa bekal sebungkus kurma, juga karena minuman yang ditawarkan itu dingin –faktor kesehatan menjadi alasan menolaknya dengan halus, “Terima kasih, Mas! Saya sudah ada.”
Begitu pula, orang-orang di sekeliling yang saya tawarin kurma juga menolak dengan halus. Kami saling memberi sekaligus saling menolak. Masya Allah deh, tenteram dan adem rasanya kalau satu negara begini akhlaknya. (Aamiin)
Sementara itu, seantero stasiun riuh rendah dengan acara buka puasa bareng. Termasuk yang sedang di dalam gerbong-gerbong KRL. Larangan makan dan minum di dalam kereta tidak diberlakukan bagi yang berbuka puasa Ramadhan, selama ini memang begitu kebijakan PT KAI.
Makan berjamaah jadi pemandangan unik, “dijamin” hanya ada di bulan puasa Ramadhan. Ada yang lesehan, ada yang duduk di kursi, ada yang berdiri, sebagian sambil ngobrol, yang lainnya makan-minum sembari berjalan, ya begitulah….
Selepas buka puasa singkat tadi, sebagian peserta bukber bergegas ke mushalla. Ternyata shalat magrib berjamaah sudah berlangsung. Tempat shalat padat. Sebagian jamaah menunggu giliran.
Magrib itu entah ada berapa “kloter” jamaah yang bergantian shalat magrib di mushalla. Dalam hitungan saya, setiap “kloter” ada sekitar 100 orang lebih.
Menurut Dadang, salah seorang petugas keamanan dalam di Stasiun Manggarai, suasana di mushalla stasiun termasuk ngabuburit tadi sudah rutin berlangsung selama Ramadhan itu.
“Apalagi pas hujan begini (tambah ramai),” ujarnya kepadaku di sela-sela dia menjaga jamaah shalat.
Usai menghadap Allah lewat sujud dan rukuk, sebagian jamaah menuju ke peron untuk menunggu KRL masing-masing. Baik yang ke arah tujuan akhir Jawa Barat seperti Bekasi maupun Bogor, maupun ke arah Jakarta Kota, Tanah Abang, Tangerang, dan sebagainya.
Pada salah satu gerbong KRL tujuan Jawa Barat, isinya tidak terlalu penuh. Berbeda dengan waktu sore jelang magrib, biasanya selalu sangat sesak. Biasanya pula, selama Ramadhan, kereta akan kembali agak padat selepas waktu isya.
Mungkin pula yang lainnya melahap kabar-kabar politik yang tengah menghangat, termasuk berita demo ratusan massa di depan gedung Bawaslu, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, beberapa jam sebelumnya, Kamis (09/05/2019) siang itu, dimana massa mendesak badan pengawas pemilu agar menindak KPU atas dugaan kecurangan pemilu.
Ini demo yang saya liput siang-sore tadi, dengan kondisi kepala nyut-nyut bin pening, entah kenapa, mungkin karena panasnya isu, atau panasnya cuaca, atau karena lapar dan haus. Yang jelas, pemilu sekarang ini bikin pusing banyak kepala. Ya, enggak?!*