HAWA dingin sangat terasa di lereng Gunung Marbabu. Dinginnya suhu mencapai 19 derajat celsius. Menjelang shalat Isya’ kabut mulai turun mengunjungi ruang-ruang warga. Situasi seperti ini membuat warga yang hendak shalat di harus menggunakan jaket super tebal guna menahan rasa dingin.
“Malam hari di desa ini hawanya dingin sekali,” ujar Ustad Sarjono, da’i pesantren Masyarakat Merapi Merbabu yang hari-harinya dihabiskan berdakwah di dusun nan sunyi, cocok dengan nama kampungnya, Desa Sepi, Kecamatan Seloe, Boyolali.
Di dusun ini hanya ada sebuah masjid. Itupun kurang terurus dengan baik. Menurut Sarjono, lebih kurang setahun ini nyaris tidak ada kegiatan.
“Aktivitas dakwah di dusun yang terletak di lereng Merbabu dan Merapi ini sudah lama mati, bahkan dakwah sempat sirna seiring dengan meningkatnya kegiatan misionaris. Masjid Al Ikhlas sudah lama vakum tidak ada kegiatan ibadah, Alhamdulillah sejak dua bulan lalu para da’i sering mengunjungi dusun ini dan kembali menghidupkan kegiatan masjid,” ujarnya.
Keluar dari Islam
Dari informasi sesepuh masyarakat , pasca erupsi hebat gunung merapi yang mengakibatkan warganya Desa Sepi, Kecamatan Seloe, Boyolali mengungsi. Tak hanya ditinggalkan para penduduknya, di tempat ini juga melahirkan cerita kelam. Di mana banyak penduduk setelah musibah itu berpindah agama.
“Pada tahun 2010 lalu, masyarakat di sini hampir semua murtad, berpindah agama,” ungkar Sarjono. Dari 48 KK waktu itu, hanya empat yang masih bertahan pada agama Islam.
Pasca musibah erupsi gunu Merapi, kelompok-kelompok misionaris masuk melalui bantuan kemanudiaan. Mereka menawarkan pertolongan kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan. “Mereka datang memberi bantuan sekaligus penawaran untuk berpindah agama kepada masyarakat,” ujar Sarjono.
Bahkan untuk mempertahankan masyarakat agar terus memeluk agama pendatang itu, mereka langsung membangun dua pusat peribadatan.
“Di sini sudah ada dua gereja, dan akan tambah lagi,” tutur Sarjono.
Bukan hanya membangun fisik rumah Ibadah, tapi juga mengirim penyiar agama untuk memberi pembahaman pada masyarakat.
Menurut Sarjono, keadaan ini rupanya lebih mudah bagi mereka. Maklum, masyarakat yang mayoritas petani sayur ini sebelumnya masih kental dengan ritual-ritual Kejawen dan hal-hal berbau mistis dan syirik.
Bahkan meski mengaku beragama Islam, mereka lebih mengutamakan ritual Kejawen daripada melakukan ibadah wajibnya dalam Islam,” ujar Sarjono.
Namun pasca banyaknya kunjungan para dai, dua bulan ini suasa warga penduduk Sepi nyaris berubah. Satu-persatu penduduk yang dulunya murtad kini kembali merengkuh hidayah. Masyarakat Muslim telah kembali menjadi mayoritas di desa ini, sisanya tinggal 7 KK masih mengikuti agama baru.
Ramadhan di Desa Sepi masih tetap berlangsung semarak, meskipun harus melawan hawa dingin yang menusuk tulang. Masyarakat menyambut bulan istimewa ini dengan antusias.
Shalat tarawih selalu dipadati kaum Muslimin. Mereka datang memenuhi ruangan masjid meski pembangunannya belum jadi.
Minim Sarana Ibadah
Di Desa Sepi telah berdiri masjid sumbangan masyarakat Muslim, namun hingga kini pembangunanya belum tuntas seratus persen. Satu yang sangat diperlukan warga Muslim adalah keberadaan tempat wudhu, WC dan kamar mandi.
“Di sini belum ada tempat wudhu, jadi kalau mau bersuci harus berjalan beberapa ratus meter dulu baru mendapatkan air,” ungkap Sarjono.
Di bulan penuh berkah ini, Sarjono berharap ada sebagian kaum Muslim sempat mengulurkan tangannya.
“Semoga ada di antara saudara kami bisa ikut meraih pahala dengan ikut andil dalam syiar ini, “ ujar Ustad Sarjono sembari memberi nomor kontaknya 085741152955.*/Samsul Bahri