Hidayatullah.com—“BEFORE we go to home, let say hamdalah. Alhamdulillah, okey, thank you very much, nice to meet you and wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Seperti itulah kalimat rutin yang selalu diucapkan sang tutor kepada murid-muridnya setelah mentransfer ilmu. Aku segera mengayuh sepeda “purbaku”, setelah pulang dari tempat kursus bahasa Inggris Mr. Bob. Aku segera memburu waktu untuk segera kembali kantor BMH Cabang Kediri, yang kini menjadi tempatku bernaung atas seluruh aktivitas keseharianku.
Matahari semakin condong ke ufuk barat. Langit mulai memancarkan pesona kemerahannya. Sore itu, suasana Desa Tulungrejo, Pare, Kediri, Jawa Timur masih ramai dengan aktivitas masyarakat yang berlalu-lalang dengan kesibukannya masing-masing. Bulan puasa tidak menjadi alasan bagi mereka untuk menjalankan aktivitas seperti bulan-bulan lainnya. Bahkan, bagi mereka yang berjiwa bisnis menjadikan bulan Ramadhan sebagai peluang besar untuk berdagang, khususnya di sore hari dengan jajanan buka puasa.
Nampak jelas di pinggir-pinggir emperan jalan raya hampir penuh dengan para pedagang bukaan puasa. Tak heran jika terkadang jalan raya menjadi macet hanya karena antrean panjang para pemburu takjil (istilah populer untuk menu berbuka puasa. Red) yang memarkir kendaraan sembarangan.
Itulah suasana Desa Tulungrejo, Pare, Kediri, Jawa Timur. Pare terletak 25 km sebelah timur laut Kota Kediri atau 120 km barat daya Kota Surabaya. Berada pada jalur Kediri-Malang, jalur Jombang-Kediri, serta Jombang-Blitar.
Di bulan Ramadhan semakin ramai oleh para pembelajar, khususnya yang ingin belajar bahasa Inggris atau bahasa asing dari berbagai daerah dari seluruh nusantara. Tak ayal jika di Tulungrejo, Pare saat ini sering dijuluki “Kampung Inggris”.
Selain banyak orang datang untuk belajar bahasa Inggris dan asing, khususnya di bulan Ramadhan, ada banyak pemandangan baru di berbagai tempat. Semakin banyak pengemis namun semakin banyak pula penderma. Masjid semakin ramai dari bulan biasanya, dan senja yang semakin bermakna.
Pare konon pernah disinggahi oleh seorang antropolog kaliber dunia, Clifford Geertz untuk melakukan penelitian lapangan yang kemudian ditulisnya menjadi sebuah buku yang berjudul “The Religion of Java”. Dalam buku tersebut, Geertz menyamarkan Pare dengan nama “Mojokuto”. Hal ini menjadikan Pare terkenal di seluruh dunia.
Ramadhan di “Kampung Inggris” menjadikannya pantas bagi mereka yang ingin belajar mandiri. Dengan ekonomi yang tergolong sangat murah menjadi pendukung utama belajar di sini. Suhunya yang tidak terlalu panas dan lingkungan yang bersih menambah semangat berpuasa di sini.
Pesona yang Memudar
“Kampung Inggris” tentu bukan hanya sekedar sebagai kampung pembelajar. Buktinya, sejak terbit fajar hingga malam menyelimuti, kampung ini tak pernah sepi dari kegiatan pembelajaran. Brosur, baliho, dan spanduk-spanduk selalu menawarkan beragam program belajar bahasa asing. Grammar, speaking, communication, dan lainnya seolah menjadi bagian penawaran di mana-mana.
Hal ini kian marak dengan berlalu-lalangnya para pejalan kaki, pengayuh sepeda onthel, dan sebagian pengendara sepeda motor yang sesekali berdialog dalam bahasa Inggris. Sehingga banyak yang menjadikan “Kampung Inggris” sebagai salah satu kiblat banyak orang di Indonesia yang ingin menguasai bahasa tersebut.
Namun, seiring berjalannya waktu, semakin banyak para pendatang baru yang bukan hanya berniat belajar bahasa Inggris, akan tetapi mereka memanfaatkan kampung ini sebagai peluang bisnis yang menjanjikan. Banyak kultur dan budaya baru yang masuk dan mewarnai budaya asli “Kampung Inggris” itu sendiri.
Perlahan-lahan kultur baru sedikit mempengaruhi tradisi berkomunikasi dalam berbahasa Inggris yang pernah dibangun oleh Mr. Kalend, nama pendiri “Kampung Inggris”.
Kurangnya tradisi komunikasi dalam bahasa Inggris makin memudar seiring banyaknya peluang membuka kursus bahasa asing. Lihat saja, sampai hari ini, di Desa Tulungrejo dan Desa Palem, telah berdiri kurang lebih 150 tempat kursus berbagai bahasa.
Ada tempat belajar berbagai macam bahasa, mulai bahasa Arab, Jepang, Mandarin dan masih banyak lagi. Namun bagi Anda yang berniat ingin kursus di Pare, Anda harus selektif memilih tempat kursus yang betul-betul menjamin. Sebab tidak sedikit tempat kursus yang hanya sekedar memasang nama atau meraup keuntungan semata.*/Kiriman Sirajuddin Muslim, alumnus MARAMA 2013
Baca juga kisah lainnya: Mujahid yang Terasing di “Cahaya Surga”