Pernyataan Pers: AJI-PWI-IJTI
RUU INTELIJEN MENGANCAM KEBEBASAN PERS
DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah berencana mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Intelijen dalam waktu dekat ini. Setelah melakukan pengkajian konsekuensi RUU tersebut terhadap kebebasan pers di Indonesia, kami para pelaku pers yang tergabung dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menemukan beberapa masalah mendasar dalam RUU Intelijen tersebut, antara lain:
Pertama, adanya kewenangan badan intelijen untuk melakukan intersepsi tanpa persetujuan pengadilan. Hal ini mengancam kebebasan pers, karena intelijen dapat melakukan intersepsi terhadap komunikasi pekerja pers dengan narasumber, yang bisa jadi bersifat rahasia. Pasal tersebut membuka peluang badan intelijen untuk menyalahgunakan kekuasaan untuk memata-matai wartawan. Padahal, dalam menjalankan tugasnya, wartawan sering melakukan komunikasi dengan narasumber secara terselubung. Bahkan wartawan berkewajiban melindungi identitas narasumber konfidensial, jika diperlukan.
Kedua, adanya pasal mengenai pembatasan informasi merupakan ancaman bagi hak untuk memperoleh informasi. Sebagaimana diamanatkan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, wartawan memiliki kebebasan dalam mencari, memperoleh, dan menyebarkan informasi. Dengan demikian, adanya pembatasan informasi intelijen berpotensi mengebiri hak dan kewajiban pers sebagaimana diatur UU Pers tersebut.
Sementara itu, UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjamin setiap orang, termasuk wartawan, untuk memperoleh informasi dari badan-badan publik. Untuk informasi yang berkategori rahasia, telah diatur dalam pasal 17 UU ini.
Dengan adanya pembatasan informasi itu, maka RUU Intelijen berpotensi mengebiri UU KIP yang baru mulai berlaku tanggal 30 April tahun lalu.
Ketiga, adanya pasal yang memberi wewenang badan intelijen negara untuk melakukan penangkapan selama tujuh hari merupakan ancaman terhadap seluruh warganegara, termasuk wartawan. Pasal ini dapat disalahgunakan untuk menangkap pekerja pers yang memiliki informasi yang dianggap membahayakan negara. Padahal, pekerja pers selalu bergumul dengan informasi, termasuk informasi yang terkait dengan kemanan negara. Penangkapan hanyalah wewenang aparat penegak hukum, bukan intelijen negara, dengan prosedur sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) dan hukum acara pidana lain yang berlaku.
Kami menilai, UU Intelijen semestinya dibuat untuk mengontrol aktivitas intelijen agar tidak bertindak melampaui wewenang, bukan malah untuk untuk melegitimasi tindakan intelijen yang melampuai hukum. Undang-undang Intelijen seharusnya dibuat berdasarkan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan negara hukum dengan tetap menghormasi Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Pers, dan UU Keterbukaan Informasi Publik.
Jakarta, 12 Mei 2010
1. Margiono, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat
2. Nezar Patria, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
3. Imam Wahyudi, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)