WAKTU menjadi kuli keyboard, saya pernah bertemu dan mewawancarai Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Kiai Salahuddin Wahid (Gus Solah). Kepadanya saya bertanya tentang pilihannya di pilpres tahun lalu.
“Gus dukung 01 atau 02?”
“Tentu saya punya pilihan. Tapi saya tidak boleh menyampaikan saya ikut ke mana. Dan pesantren tidak boleh memihak capres menurut saya.”
“Kriteria calon presiden yang layak dipilih menurut Gus seperti apa?”
“Mempunyai visi, kompeten, rekam jejak yang bagus, keberanian, dan berkarakter. Karakter itu mencakup amanah, siddiq, fathanah, dan tabligh.”
“Kriteria itu ada di 01 atau 02 Gus?” Saya coba memancingnya supaya tahu pilihannya 01 atau 02. Tapi sayangnya
beliau tidak terpancing.
Beliau jawabnya, “Saya pikir semua sama. Ada kurang lebih lah.”
Jawaban yang aman. Entah maksud beliau kedua capres sama-sama tidak sesuai kriteria atau sama-sama sesuai kriteria. Masih misteri. Saya tidak menanyakan itu lebih lanjut. Sehingga hanya beliau dan Allah subhanahu wata’ala yang tahu maksudnya. Beliau rupanya memang benar-benar enggan mengumumkan pilihannya. Beliau ogah pesantren terseret arus politik praktis.
Bukan sekali waktu saja saya mewawancarai cucu pendiri NU itu. Tapi cukup sering saya meminta pandangannya tentang isu-isu keumatan dan kebangsaan. Responsnya hangat, bersemangat, dan ramah. Jawabannya rasional, proporsional, bernas, tidak emosional, tidak pelit ngomong, nada bicaranya tidak sombong, moderat, kritis dan mencari solusi.
Hal lain yang membuat saya salut dengan beliau adalah, di usia senjanya, beliau masih cukup produktif menulis artikel di koran nasional. Saya membaca beberapa artikelnya di sejumlah koran nasional. Artikel terakhirnya tentang refleksi 94 tahun NU, dimuat oleh koran Kompas. Koran ini mencatat total artikelnya yang dimuat sebanyak 78. Belum tulisan-tulisan beliau yang dimuat di koran lain. Luar biasa. Banyaknya artikel yang ditulis menunjukkan beliau kaya gagasan, luas wawasan, dalam renungan, kritis menganalisis, serta peduli dengan masalah umat dan bangsa.
Bagi generasi muda Muslim seperti saya, yang sedang belajar memahami jati diri atau identitas Indonesia, Gus Solah adalah seorang guru bangsa. Beliau kerap mengajarkan kepada kita tentang relasi Islam dan negara. Menurutnya, Indonesia itu bukan negara sekular (memisahkan politik dari Islam secara tajam) dan bukan pula negara Islam (menjadikan Islam sebagai dasar negara). Melainkan, kata beliau, negara yang religius, yang landasan kesatuannya Pancasila atau negara kesatuan yang religius, yang ditengahi oleh Pancasila. “Kata kuncinya kan, bagaimana kita menafsirkan Pancasila,” ujarnya saat diwawancarai majalah Suara Hidayatullah, pada Februari 1999.
Pancasila, lanjutnya, sudah menjadi konsensus nasional dan titik temu berbagai kalangan. Walaupun tidak semua puas dengan hasilnya. Tapi, kata adik Gus Dur ini, itu adalah hasil maksimal yang bisa kita capai sebagai bangsa.
Anak Kiai Wahid Hasyim ini melihat, telah terjadi perubahan penafsiran Pancasila dari dalam diri kalangan Islam. Jika sebelum proklamasi (dalam sidang BPUPK dan PPKI) lalu berlanjut pada sidang Majelis Konstituante sampai sebagian masa Orde Baru, tokoh-tokoh Islam menganggap Pancasila itu sekular, tapi begitu tahun 1974, ketika UU Perkawinan disahkan dan di dalamnya bisa dimasuki ketentuan syariat Islam, maka, kata beliau, penafsiran para tokoh Islam terhadap Pancasila mulai berubah menjadi sesuatu yang religius (Salahuddin Wahid dalam buku Syariat Islam Yes Syariat Islam No, 2001).
Dalam UU Perkawinan disebutkan, perkawinan dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Sebelumnya, rumusan awal UU Perkawinan itu bilang, perkawinan dianggap sah apabila sesuai UU ini. Artinya, tidak apa-apa atau tidak masalah menikah meskipun bertentangan dengan hukum Islam. Asal sesuai UU tadi. Ini yang ditolak pimpinan Syuriah PBNU, Kiai Bisri Syansuri, murid Kiai Hasyim Asy’ari. Beliau, tutur Gus Solah, mengusulkan agar rumusan itu diganti menjadi, perkawinan dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Presiden Soeharto lalu menyetujui usulan para tokoh Islam.
Kata Gus Solah, salah satu hal yang ikut mendorong ormas Islam dan Partai Islam bersedia menerima Pancasila sebagai dasar negara ialah diundangkannya UU Perkawinan pada 1974. UU itu, jelasnya, memberi kesempatan bagi diterimanya ketentuan syariat Islam ke dalam sistem hukum nasional.
“Para tokoh Islam menyadari, tanpa Islam menjadi dasar negara, ternyata ketentuan syariat Islam bisa masuk ke dalam UU,” tuturnya (Koran Republika 7/12/2016). UU lain yang memuat ketentuan syariat Islam, tambahnya, antara lain UU Peradilan Agama, UU Perbankan Syariah, UU Zakat, UU Haji, UU Wakaf, dan UU Jaminan Produk Halal. Terbaru UU Pesantren.
Formalisasi agama
Dengan adanya ketentuan syariat Islam dalam UU tersebut, menunjukkan bahwa Islam sudah menjadi sumber hukum perundang-undangan.
Gus Solah termasuk yang pro dengan formalisasi agama. Dulu, tuturnya, ia pernah ditanya oleh anak-anak Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). “Kenapa kita harus melakukan formalisasi agama?” tanya mereka.
“Formalisasi agama itu seperti apa?” tanya balik beliau.
“Itu perundang-undangan.”
“Lho, sekarang saya tanya, apa Anda mau menikah dianggap sah oleh Undang-Undang tapi tidak sah menurut Islam?” Mereka enggak mau.
“Lho, kalau aturan agama tidak diformalkan ya akan begitu” (Majalah Suara Hidayatullah, Februari
1999).
Berpadunya Keislaman dan Keindonesiaan
Selain UU Perkawinan dan UU tadi di atas, yang menjadi contoh berpadunya keindonesiaan dan keislaman, Gus Solah menyebutkan beberapa contoh lainnya. Yang pertama, kakeknya, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari pernah mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Fatwa ini menggerakkan para pemuda Muslim untuk memerangi tentara sekutu pada 10 November 1945. Jihad, sebuah istilah agama Islam, tapi kata Gus Solah, digunakan untuk perjuangan bersifat kebangsaan.
Lalu contoh kedua, para tokoh Islam di masa silam, mendirikan Departemen Agama pada Januari 1946. Keberadaan Departemen Agama, terang Gus Solah, juga merupakan salah satu titik temu antara negara sekular dengan negara agama.
Selanjutnya, contoh ketiga, ayahnya, Kiai Wahid Hasyim, yang dulu menjadi Menteri Agama, bersama Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Bahder Johan, pada 1951 membuat nota kesepahaman tentang pendirian madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah. Selain itu, mata pelajaran agama diberikan di sekolah-sekolah negeri.
Contoh keempat, pemerintah pada awal 1980-an berusaha agar Pancasila menjadi satu-satunya asas bagi parpol dan ormas yang ada di Indonesia. Menghadapi hal ini, Syuriah PBNU membentuk sebuah tim untuk mengkaji hubungan antara Islam dan Pancasila. Tim ini dipimpin Kiai Ahmad Siddiq yang pernah mengaji langsung ke Kiai Hasyim Asy’ari. Hasilnya Muktamar NU 1984 di Situbondo memutuskan untuk menerima secara resmi Pancasila sebagai dasar negara. Langkah itu lalu diikuti PPP dan semua ormas Islam kecuali beberapa ormas yang jumlahnya sangat sedikit.
Dengan berhasilnya keindonesiaan dan keislaman berpadu, beliau berpesan agar kita jangan lagi mempertentangkan keislaman dan keindonesiaan. Juga, kata beliau, jangan lagi memperdebatkan kita orang Indonesia yang beragama Islam atau orang Islam yang tinggal di Indonesia.
“Kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam, sekaligus orang Islam yang berbangsa Indonesia,” tegasnya (Republika, 7/12/2016). Baginya, faktor utama persatuan Indonesia adalah berpadunya keindonesiaan dan keislaman. Maka mari kita rawat itu.
Kepergian beliau tentu membuat warga NU sangat berduka. Di saat NU sedang memperingati miladnya yang ke-94, tokohnya justru pamit.
Warga Muhammadiyah juga tentu sangat terharu. Karena jembatan NU dan Muhammadiyah ini telah mengembuskan napas terakhir.
Sebelumnya, pondok Gus Solah bekerja sama dengan Lembaga Seni, Budaya, dan Olahraga (LSBO) Muhammadiyah membuat film “Jejak Langkah Dua Ulama”. Dua ulama itu adalah Pendiri NU Hadratus Syaikh Kiai Hasyim Asy’ari dan Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan.
Beliau ingin anak-anak bangsa mengenal kedua tokoh itu. Sayang, beliau sudah keburu dipanggil. Sehingga tidak sempat menyaksikannya. Nanti kita akan tonton filmnya, Gus. Selamat jalan Gus. Kita kehilangan. Alfatihah.*
Andi Ryansyah