Oleh: Asa Winstanley
Hidayatullah.com | PADA Februari, kepala Mossad, organisasi pembunuh global ‘Israel’, mengunjungi Doha, Ibu Kota Qatar; Yossi Cohen didampingi oleh Mayor Jenderal Herzi Halevi, kepala Komando Selatan tentara ‘Israel’. Mereka pergi atas undangan Emir Tamim Bin Hamad Al-Thani dan bertemu dengan penasihat keamanan nasional Mohammad Bin Ahmed Al-Masnad.
Pertemuan mereka secara efektif merupakan perundingan tidak langsung dengan otoritas penguasa Jalur Gaza, yang dipimpin oleh Hamas. ‘Israel’ dilaporkan berargumen dengan kerajaan yang kaya gas alam untuk terus membayar jutaan dollar bantuan kepada wilayah pantai yang diblokade.
Bahkan negosiasi tidak langsung dan terbatas dengan Hamas – Gerakan Perlawanan Islam yang sayap bersenjatanya menentang serangan militer ‘Israel’ – diperlakukan sebagai skandal kecil di ‘Israel’ di bawah pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Kunjungan ke Qatar diungkapkan oleh saingannya, mantan menteri (dan psikopat anti-Arab) Avigdor Lieberman, yang mengatakan kepada media tentang hal itu untuk mempermalukan Perdana Menteri dalam putaran terbaru dari siklus pemilu yang tampaknya tak berkesudahan di ‘Israel’.
Sayangnya, kontak antara Qatar dan ‘Israel’ ini memiliki preseden. Pemerintah di Doha sebenarnya telah meningkatkan hubungannya dengan ‘Israel’ selama beberapa tahun terakhir.
Dengan biaya jutaan dolar, lobi Qatar di Washington telah berupaya membeli dukungan untuk kebijakannya, atau setidaknya mengurangi dukungan AS untuk Arab Saudi dalam konteks pembekuan diplomatik Saudi-Qatar dan blokade terhadap tetangga kecilnya yang dipimpin Saudi.
Pada tahun 2018, sebagai bagian dari upaya untuk memenangkan dukungan pemerintah AS, Qatar menampilkan kesan pro-’Israel’ yang tidak pernah terjadi sebelumnya, menerbangkan para tokoh konservatif terkemuka dan pro-’Israel’ ke negara itu untuk akses istimewa ke Emir dan tokoh elit kerajaan lainnya.
Para pengunjung ini termasuk “pengacara ‘Israel’” Alan Dershowitz dan bahkan Morton Klein, dari organisasi sayap kanan Zionist Organisation of America (ZOA). Dershowitz kembali dari Doha secara ajaib menyanyikan pujian Qatar: “Qatar dengan cepat menjadi ‘Israel’ di negara-negara Teluk, dikelilingi oleh musuh, menjadi korban boikot dan tuntutan yang tidak realistis, dan berjuang untuk bertahan hidup.”
Langkah Emir Qatar termasuk donasi 100.000 AS Dolar kepada ZOA. Itu mungkin kecil bagi Qatar, namun jumlah yang besar bagi kita semua.
Meskipun jumlah itu dikerdilkan oleh negara Teluk Arab lainnya. Para tiran monarki di Arab ini – alias raja dan amir – sudah sangat erat dan dalam aliansinya dengan ‘Israel’ selama satu dekade terakhir.
Secara khusus Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Bahrain selama beberapa tahun terakhir telah meningkatkan hubungan mereka dengan ‘Israel’, membangun hubungan yang lebih terbuka dengan negara Zionis, meskipun tidak memiliki hubungan diplomatik resmi. Ketiga negara ini telah membuat alasan bersama dengan ‘Israel’ yaitu kebencian mereka terhadap Iran.
Para propagandis ‘Israel’ dan kolega pro-’Israel’ mereka di seluruh dunia saat ini sedang memanfaatkan kesempatan. Dengan setiap hubungan baru antara negara Arab, misalnya Uni Emirat Arab (UEA).
“Kami berharap dapat membuat pernyataan diplomatik bahwa ‘Israel’ adalah negara normal, dan menormalkan citra kami,” kata taipan real estate Kanada-’Israel’ dan “duta besar yang ditunjuk sendiri untuk ‘Israel’” Sylvan Adams ketika ia berada di UEA. Adams bertanggung jawab untuk membayar biaya jutaan dolar penyanyi Amerika Madonna untuk tampil di Eurovision Song Contest di Tel Aviv tahun lalu.
Namun, narasi “pertama” ‘Israel’ ini tidak benar. Seperti yang ditulis oleh akademisi dan intelektual Palestina, Joseph Massad baru-baru ini, citra perlawanan rezim Arab terhadap ‘Israel’, pada umumnya, selalu palsu.
Perkembangan saat ini dalam hubungan antara ‘Israel’ dan negara Teluk “disajikan sebagai beberapa perubahan besar di jantung pihak rezim-rezim Arab, yang tampaknya selalu menghindari hubungan dengan ‘Israel’ untuk kepentingan mempertahankan Palestina,” tulis Massad.
“Ini selalu fiksi. Sebagian besar pemimpin Arab abad ke-20 dan keluarga yang berkuasa mempertahankan hubungan baik dengan ‘Israel’ dan, sebelum itu, gerakan Zionis.”
Artikelnya layak dibaca secara penuh, karena merinci sejarah panjang koordinasi antara ‘Israel’ dan negara-negara Arab yang tidak demokratis, termasuk Yordania, Sudan, Maroko, para pemimpin fasis Maronit di Libanon, Tunisia dan, tentu saja, Mesir.
Dalam banyak hal, ‘Israel’ cocok dengan rezim-rezim ini, karena itu jelas bukan demokrasi yang ramah bagi jutaan rakyat Palestina yang nasibnya dikendalikan dan yang dipaksa untuk hidup di bawah kediktatoran militernya dan penjajahannya di Tepi Barat; di bawah pengepungan dan serangan militer yang berulang-ulang di Gaza; dan di bawah rezim apartheid rasis di dalam ‘Israel’ sendiri.
Ini juga memaksakan pendudukan militer dan aneksasi terhadap warga Suriah yang tinggal di Dataran Tinggi Golan yang diduduki.
Fokus ‘Israel’ pada hubungannya dengan para penguasa militer, raja dan diktator kecil ini tidak akan pernah bisa menebus kenyataan bahwa negara Zionis dan rezim rasisnya yang tidak adil selalu, dan akan selalu, ditolak oleh orang-orang biasa di seluruh wilayah.
Itulah sebabnya kepentingan ‘Israel’ untuk melestarikan kediktatoran di negara-negara ini, karena pemerintah demokratis di tanah Arab akan menolak normalisasi dengan musuh ‘Israel’ dan mengakhiri hubungan seperti itu.*