Pakar komunikasi politik mengkritik gaya kepemimpinan Dedi Mulyadi yang dinilai lebih sibuk memburu konten ketimbang mengeksekusi kebijakan nyata
Hidayatullah.com | GUBERNUR Jawa Barat, Dedi Mulyadi (Demul), kembali menjadi perbincangan hangat di ruang publik. Sosok Demul ini dikenal aktif membagikan kegiatan hariannya melalui media sosial seperti Instagram, TikTok, hingga YouTube. Namun, gaya komunikasi publik yang intens di ranah digital ini mulai menuai kritik tajam.
Dalam rapat kerja Komisi II DPR baru-baru ini, Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas’ud, secara terang-terangan menjuluki Dedi sebagai “Gubernur Konten”.
Julukan itu dinilai sebagai sindiran terhadap kegemarannya tampil di media sosial ketimbang menampilkan kinerja birokratis konvensional.
Kritik serupa juga muncul dari berbagai kalangan yang menilai bahwa Dedi lebih fokus membangun citra pribadi ketimbang menyelesaikan persoalan mendasar di Jawa Barat.
Isu ini bahkan berkembang menjadi perdebatan serius tentang etika dan efektivitas komunikasi pejabat publik di era digital.
Gimik Politik, Mengingatkan Aksi Jokowi
Menurut Jamiluddin Ritonga, pengamat komunikasi politik, gaya Dedi mengingatkan pada pola kerja Presiden Joko Widodo di awal masa jabatannya.
Turun langsung ke lapangan, menyapa warga, dan membuat keputusan cepat menjadi daya tarik tersendiri. Namun, Ritonga mengingatkan bahwa cara kerja semacam itu juga menyimpan risiko.
“Awalnya respons publik memang positif, tapi lama-lama muncul anggapan bahwa semua itu sekadar pencitraan. Sama halnya dengan yang kini dialami KDM,” ucapnya dikutip iNews.id.
Ia menambahkan, pengambilan keputusan yang instan di lapangan bisa berujung pada kebijakan yang parsial, tidak sistematis, dan menimbulkan masalah baru di kemudian hari.
Pro Kontra di Medsos: Polarisasi Meningkat
Sebagai catatan, data dari Drone Emprit menunjukkan bahwa Dedi Mulyadi memang menjadi fenomena digital tersendiri. Dalam periode 1 Maret hingga 30 April 2025, namanya disebut dalam 15.309 artikel, 39.847 mentions, dan 21.653 mention di media sosial.
Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit, menyebut bahwa sentimen publik terhadap Dedi di media sosial terbagi: 50% positif, 38% negative, 12% netral.
Sementara di media online, mayoritas publikasi memiliki nada positif (69%), dengan hanya 6% yang bernada negatif.
Namun, lonjakan pembahasan terjadi bukan hanya karena gayanya yang dianggap “merakyat”, tetapi juga kontroversi kebijakan.
Beberapa di antaranya adalah wacana vasektomi bagi penerima bansos dan pengiriman siswa bermasalah ke barak militer, yang memunculkan reaksi keras publik.
“Isu tentang KDM memicu 61.500 mention dan hampir 4 miliar interaksi dalam dua bulan. Polarisasi terlihat jelas,” kata Ismail.
Gubernur Bukan YouTuber
Sebelumnya, dalam sebuah dialog panas di TV One, Guru Besar Komunikasi Politik Prof. Karim Suryadi melontarkan kritik tajam terhadap gaya kepemimpinan Dedi Mulyadi yang dinilai lebih sibuk memburu konten ketimbang mengeksekusi kebijakan nyata sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat.
“Kalau mau tetap di YouTube, silakan saja. Tapi coba fokusnya bukan pada ngejar konten dan engagement semata. Yang dikontenkan itu harusnya adalah reputasi dia sebagai gubernur, bukan sekadar kegaduhan,” tegas Prof. Karim dalam “Apa Kabar Indonesia” di TVOne, Rabu, 30 April 2025.
Menurut Prof. Karim, gaya populis ini justru berpotensi kontraproduktif. “Pemerintahan bukan sekadar mengekspos masalah agar mesin kecemasan terus bekerja. Tapi bagaimana masalah didefinisikan, kebijakan diambil dengan tepat, dan masyarakat diajak bergerak bersama. Kalau tidak, yang dibangun hanya kecemasan, bukan Solusi,” ujarnya.
Ia juga menyoroti inkonsistensi antara janji dan pelaksanaan. “Saya mencatat janji-janji beliau. Misalnya, menjadikan sungai bersih dari sampah, atau menjadikan rumah sebagai tempat pembelajaran karakter. Tapi sampai sekarang belum kedengaran hasilnya.”
Tak hanya substansi, pendekatan Dedi pun dikritisi. Menurut Prof. Karim, pendidikan karakter tak bisa dimulai dari anak usia remaja.
“Teori mana yang mengatakan pendidikan karakter bisa dilakukan di usia SMA? Enggak ada. Pendidikan karakter itu fondasinya usia dini. Kalau sudah remaja, itu sudah soal perilaku, bukan pembentukan karakter dari nol.”
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa kewenangan tidak serta-merta menjadikan seseorang ahli.
“Jadi gubernur bukan berarti otomatis jadi ahli otomotif, jadi ahli pendidikan, atau jadi pakar industri kreatif. Libatkanlah para ahli! Gagasan mentah jangan langsung dilempar ke publik, karena akan membingungkan bahkan menciptakan ilusi solusi.”
Meski demikian, Prof. Karim tak menampik bahwa ia lebih memilih kepala daerah yang aktif bekerja ketimbang yang pasif.
Namun, ia menegaskan, “Ujung-ujungnya tetap akan dinilai dari hasil. Apakah masyarakat merasa lebih adil, lebih sejahtera, dan lebih mampu memberdayakan diri. Kalau tidak, berarti itu hanya riuh di permukaan.”
Di tengah gempuran konten yang terus diproduksi oleh Dedi Mulyadi, kritik Prof. Karim seolah menjadi pengingat penting: bahwa jabatan publik bukan panggung personal, dan kerja pemerintahan tak bisa dikerdilkan jadi strategi media sosial semata.
Investasi Politik atau Gimik Pencitraan ‘Pemimpin Merakyat”
Pakar komunikasi politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, menilai aktivitas Dedi di media sosial bukan sekadar ekspresi personal, tapi bentuk dari “investasi politik jangka panjang”.
Pendapat ini sejalan dengan spekulasi bahwa KDM tengah membangun pijakan untuk langkah politik nasional.
Namun, pengamat kebijakan publik Diding Bajuri memberi catatan tajam. Ia menilai kepemimpinan Dedi terlalu berpusat pada satu figur—“one-man show”—yang berisiko menyingkirkan mekanisme pemerintahan kolektif.
Sementara Demul menjawab semua kritik dengan mengatakan, keaktifannya di media sosial justru memberi manfaat nyata bagi efisiensi anggaran pemerintah.
“Dulu Pemprov Jabar mengalokasikan hingga Rp50 miliar untuk biaya iklan. Sekarang cukup Rp3 miliar karena konten saya sendiri sudah cukup viral untuk menyampaikan program pemerintah,” ujar Dedi.
Peneliti dari Monash University Indonesia, Ika Idris, memberi peringatan tentang bahaya komunikasi prematur yang dilakukan di media sosial seperti ini.
“Jangan sampai kebijakan yang masih tahap ide sudah dilempar ke publik dengan pola komunikasi yang sangat telanjang. Ini berpotensi menimbulkan kegaduhan,” katanya pada BBC.
Menurutnya, polemik seputar “Gubernur Konten” ini mencerminkan dilema yang lebih besar di era demokrasi digital: bagaimana menjaga keseimbangan antara komunikasi langsung ke rakyat dengan kinerja administratif yang substantif.
Apakah Dedi Mulyadi benar-benar membawa inovasi komunikasi pemerintahan? Atau justru hanya menunggangi tren media sosial demi citra politik?
Seperti dikatakan Jamiluddin Ritonga, “akan kita saksikan seiring waktu”.*