Oleh: James Denselow
SEBUAH laporan dari lembaga penelitian AS, Institute for the Study of War, menjelaskan bahwa Iran adalah bagian dari sebuah “rencana yang besar, mahal, dan terpadu untuk mempertahankan Presiden Bashar al-Assad di kursinya.”
Akan tetapi, minggu lalu Bloomberg melaporkan bahwa menurut seorang pejabat AS, mereka melihat adanya penurunan signifikan dalam hal jumlah serta aktivitas angkatan bersenjata Iran di Suriah.
Washington menyatakan bahwa ini adalah momen dimana Iran mundur dari Suriah, setelah kini mereka berdarah-darah kehilangan pejabat militer senior – serta dana yang tidak sedikit – dalam mempertahankan rezim Assad. Akan tetapi, dalam perang di Suriah yang masih terus berlangsung, ini tidak menjadi satu-satunya alasan bagi Iran untuk merubah strateginya, dan skenario-skenario lainnya patut untuk diinvestigasi.
Ini menunjukkan bahwa Iran memiliki cukup posisi dan pengaruh untuk terlibat dalam diskusi mengenai masa depan Suriah, namun tidak memerlukan terlalu banyak keterlibatan militer di negara tersebut.
Perjanjian nuklir pada bulan Juli adalah momen signifikan bagi Iran keluar dari sarangnya dan ditambah dengan diundangnya mereka pada diskusi perdamaian di Wina pada bulan Oktober.
Teheran telah menyatakan berulang kali bahwa hal tersebut tidak terkait dengan Bashar al Assad secara pribadi dan dapat merasakan bahwa pengaruhnya diantara para aktor politik yang akan membentuk pemerintahan transisional, bahwa di masa depan dia tidak akan lebih penting dari di masa lalu.
Sebagai tambahan, kita tidak boleh lupa bahwa konflik regional yang lebih besar antara Riyadh dan Teheran telah mempengaruhi banyak rencana tersembunyi Timur Tengah selama satu dekade terakhir.
Fakta bahwa kedua negara duduk di meja yang sama mendiskusikan Suriah dan bukannya menegosiasikan tentang konflik yang terjadi di sana adalah sebuah sukses yang signifikan, dan tidak terlaporkan, di Wina.
Eskalasi dramatis keterlibatan militer Rusia di Suriah telah menggiring banyak pihak untuk menyimpulkan bahwa pemerintahan Suriah tidak lagi dibawah ancaman kekalahan, meski banyak pertanyaan mengenai bisa tidaknya Assad mengklaim kembali wilayah-wilayah yang hilang.* (BERSAMBUNG)
James Denselow adalah penulis masalah-masalah politik dan keamanan Timur Tengah dan seorang partner peneliti di Foreign Policy Centre. Tulisan dimuat di laman Al Jazeera